Rabu, 27 Maret 2013 | 06:59 WIB
JAYAPURA, KOMPAS.com--Balai Arkeologi (Balar) Jayapura mengemukakan pentingnya pelestarian rumah pohon atau rumah tinggi Suku Korowai di Distrik Kaibar, Kabupaten Mappi, Papua.
"Tradisi rumah pohon perlu dilestarikan, salah satu hal yang utama adalah menggali dan mengangkat nilai-nilai budaya positif Suku Korowai sebagai bagian dari pengajaran kurikulum sekolah," kata Staf Peneliti Balai Arkeologi Jayapura Hari Suroto di Jayapura, Selasa.
Ia menjelaskan Suku Korowai di Distrik Kaibar, Kabupaten Mappi yang sebelumnya tinggal terpencar-pencar di hutan-hutan rawa antara Sungai Dairom Kabur dan Sungai Sirek, telah dimukimkan kembali oleh pemerintah setempat di Kampung Basman.
Suku Korowai di Kampung Basman mulai menempati rumah relokasi secara gratis berupa rumah panggung beratap seng dan berdinding papan.
"Dengan program ’resetlement’ ini dikhawatirkan tradisi membangun rumah pohon Suku Korowai akan hilang," katanya.
Ia mengemukakan kearifan membangun rumah pohon bisa menjadi kajian menarik untuk perkembangan ilmu pengetahuan moderen. Rumah pohon mereka dibuat sebagai upaya menghindari serangan musuh, binatang buas, dan nyamuk malaria.
Rumah-rumah Suku Korowai dibangun di atas pohon-pohon yang ketinggiannya bisa mencapai 30-70 meter. Semakin tinggi rumah pohon anggota Suku Korowai, semakin aman keluarga yang tinggal di dalamnya dari ancaman serangan musuh.
"Rumah pohon hanya berfungsi sekitar dua hingga tiga tahun. Hal ini karena konstruksi kayu mulai lapuk," katanya.
Pada awal Februari 2013, seorang dosen Universitas Cenderawasih (Uncen) Hanro Jonathan Lekitoo meluncurkan buku tentang "Potret Manusia Pohon, Komunitas Adat Terpencil Suku Korowai di Daerah Selatan Papua dan Tantangannya Memasuki Peradaban Baru".
Buku tersebut mendapat sambutan positif dari masyarakat, mahasiswa, akademisi, dan peneliti. Buku itu menjelaskan tentang kehidupan orang Korowai yang hidup di atas pohon atau disebut "Manusia Pohon".
Rektor Uncen Festus Simbiak memberikan apresiasi terhadap buku yang akan menjadi referensi jurusan terkait.
"Buku ini pantas menjadi referensi bagi kita semua untuk mengetahui sejuah mana tentang Suku Korowai," katanya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Antara dari berbagai sumber, Suku Korowai ditemukan pertama kali sekitar 1950-an, mereka menempati rumah di atas pohon dengan ketingian mulai dari 30-70 meter di atas permukaan tanah.
www.kidnesia.com |
Rumah pohon Suku Korowai
JAYAPURA, KOMPAS.com--Balai Arkeologi (Balar) Jayapura mengemukakan pentingnya pelestarian rumah pohon atau rumah tinggi Suku Korowai di Distrik Kaibar, Kabupaten Mappi, Papua.
"Tradisi rumah pohon perlu dilestarikan, salah satu hal yang utama adalah menggali dan mengangkat nilai-nilai budaya positif Suku Korowai sebagai bagian dari pengajaran kurikulum sekolah," kata Staf Peneliti Balai Arkeologi Jayapura Hari Suroto di Jayapura, Selasa.
Ia menjelaskan Suku Korowai di Distrik Kaibar, Kabupaten Mappi yang sebelumnya tinggal terpencar-pencar di hutan-hutan rawa antara Sungai Dairom Kabur dan Sungai Sirek, telah dimukimkan kembali oleh pemerintah setempat di Kampung Basman.
Suku Korowai di Kampung Basman mulai menempati rumah relokasi secara gratis berupa rumah panggung beratap seng dan berdinding papan.
"Dengan program ’resetlement’ ini dikhawatirkan tradisi membangun rumah pohon Suku Korowai akan hilang," katanya.
Ia mengemukakan kearifan membangun rumah pohon bisa menjadi kajian menarik untuk perkembangan ilmu pengetahuan moderen. Rumah pohon mereka dibuat sebagai upaya menghindari serangan musuh, binatang buas, dan nyamuk malaria.
Rumah-rumah Suku Korowai dibangun di atas pohon-pohon yang ketinggiannya bisa mencapai 30-70 meter. Semakin tinggi rumah pohon anggota Suku Korowai, semakin aman keluarga yang tinggal di dalamnya dari ancaman serangan musuh.
"Rumah pohon hanya berfungsi sekitar dua hingga tiga tahun. Hal ini karena konstruksi kayu mulai lapuk," katanya.
Pada awal Februari 2013, seorang dosen Universitas Cenderawasih (Uncen) Hanro Jonathan Lekitoo meluncurkan buku tentang "Potret Manusia Pohon, Komunitas Adat Terpencil Suku Korowai di Daerah Selatan Papua dan Tantangannya Memasuki Peradaban Baru".
Buku tersebut mendapat sambutan positif dari masyarakat, mahasiswa, akademisi, dan peneliti. Buku itu menjelaskan tentang kehidupan orang Korowai yang hidup di atas pohon atau disebut "Manusia Pohon".
Rektor Uncen Festus Simbiak memberikan apresiasi terhadap buku yang akan menjadi referensi jurusan terkait.
"Buku ini pantas menjadi referensi bagi kita semua untuk mengetahui sejuah mana tentang Suku Korowai," katanya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Antara dari berbagai sumber, Suku Korowai ditemukan pertama kali sekitar 1950-an, mereka menempati rumah di atas pohon dengan ketingian mulai dari 30-70 meter di atas permukaan tanah.
Sumber :ANT
Editor :Jodhi Yudono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar