TAK banyak buku sejarah mengulas Kongres Pemuda Seluruh Jawa di Bandung pada pertengahan Mei 1945. Sudah pasti peristiwa ini kalah gaungnya dibandingkan dengan Sumpah Pemuda 17 tahun sebelumnya, dan kalah seru dibandingkan dengan penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus oleh pemuda, meski sama-sama terjadi dalam kerangka tuntutn pemuda atas percepatan Proklamasi Kemerdekaan. Meski demikian, tetaplah menarik menelusuri peristiwa tiga hari sejak 16 Mei tersebut.
Kongres di Bandung diprakarsai oleh Angkatan Moeda Indonesia (AMI). Organisasi ini bentukan Jepang pada pertengahan 1944, sebagai bagian dari upaya penjajah mengambil hati rakyat Indonesia. Namun, dalam perkembangannya, ideologi perjuangan AMI membelot, menginginkan kemerdekaan Indonesia. Kongres dihadiri tak kurang dari seratus utusan pemuda, pelajar, dan mahasiswa dari seluruh Jawa. Beberapa nama yang tercatat hadir di antaranya Djamal Ali, Chairul Saleh, Anwar Tjokroaminoto, dan Harsono Tjokroaminoto.
Tujuan kongres adalah mempersiapkan diri memproklamasikan kemerdekaan Indonesia yang bukan merupakan hadiah dari Jepang. Pada hari ketiga, diperoleh dua resolusi. Pertama, semua golongan Indonesia, terutama golongan pemuda, harus dipersatukan dan dibulatkan di bawah satu pimpinan nasional. Kedua, mendorong dipercepatnya pelaksanaan pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Sejarawan Sobana Hardjasaputra mengaku tak heran bahwa kongres pemuda tersebut dilakukan di Bandung. Sejak lama, Bandung sudah kental dengan aroma perjuangan menuju kemerdekaan. Soekarno sendiri memulai karier politiknya semasa menjadi mahasiswa di Bandung dengan mendirikan partai dan menerbitkan surat kabar. Gelar `Singa Panggung`, karena kepiawaiannya berpidato, diperolehnya di kota kembang ini.
Meski kedua revolusi Kongres Bandung terkesan revolusioner, pada praktiknya semua berjalan lembek. Kongres tak bisa menolak sama sekali kerja sama erat dengan Jepang dalam mencapai kemerdekaan. Hal ini yang membuat sebagian pemuda kecewa. Di antara mereka ada utusan-utusan dari Jakarta yang dipimpin Sukarni, Harsono Tjokroaminoto, dan Chairul Saleh. Mereka menginginkan gerakan yang lebih radikal.
Satu pertemuan rahasia pun dilangsungkan di Jakarta pada 3 Juni 1945. Ketika itu, terbentuklah panitia khusus yang diketuai oleh B.M. Diah, dengan anggotanya Sukarni, Sudiro, Sjarif Thajeb, Harsono Tjokroaminoto, Wikana, Chairul Saleh, P. Gultom, Supeno, dan Asmara Hadi. Pertemuan serupa diadakan pada 15 Juni 1945 dan menyepakati pembentukan Gerakan Angkatan Baroe Indonesia (GABI). Tujuan dari gerakan itu menunjukkan sifatnya yang lebih radikal. Empat resolusi GABI adalah pencapaian persatuan di antara seluruh golongan masyarakat Indonesia, penanaman semangat revolusioner massa atas dasar kesadaran sebagai rakyat yang berdaulat, pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mempersatukan Indonesia bahu-membahu dengan Jepang. Akan tetapi jika perlu, gerakan itu mesti mencapai kemerdekaan dengan kekuatannya sendiri.
Sobana menilai, berbagai kegiatan yang dilakukan pemuda menunjukkan sifat khas pemuda dalam masa perjuangan kemerdekaan, yakni serba tergesa. Hal ini lantas memuncak pada penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. "Pemuda amat yakin dengan kekuatan bangsa untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Sebaliknya golongan tua, diwakili Soekarno, sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Dia tidak mau jatuh korban yang besar di tengah rakyat kalau sampai terjadi perang fisik," ujarnya. (Ag. Tri Joko Her Riadi/"PR")***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar