Jumat, 27 Agustus 2010

Wasiat Ibu Inggit Selalu Diabaikan

Warisan Sejarah

PERTEMUAN Senin (23/8) lalu boleh jadi merupakan awal kembali terbukanya hati seorang Tito Zeni Asmara Hadi (63), putra dari Ratna Djuami (87 ) dan Asmara Hadi, mantan Menteri DPRGR di era Soekarno yang meninggal tahun 1976. Ratna Djuami adalah anak angkat Ibu Inggit Garnasih, istri presiden pertama RI, Soekarno.

Setelah Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak menepati janjinya pada 2003 untuk membangun Rumah Sakit Bersalin Inggit Garnasih di daerah Soreang, cucu Ibu Inggit Garnasih itu memilih untuk menghindar. Pembangunan rumah sakit itu sebenarnya sudah dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2003.

Dia juga menghindar ketika Tim Pembenahan Rumah Sejarah Ibu Inggit Garnasih dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat kembali mengajak rembukan. "Sebenarnya apalagi sih yang diperlukan. Semuanya sudah saya beberkan," ujar Tito, dalam pertemuan dengan Kasi Kepurbakalaan dan Museum pada Bidang Kebudayaan Disparbud Jabar, Drs. Eddy Sunarto, Eha Solihat, dan Tini Rustini, yang berlangsung di Rumah Sejarah Ibu Inggit Garnasih Jalan Ciateul No. 8 (sekarang Jalan Inggit Garnasih No. 8), Bandung.

Namun, setelah diterangkan panjang lebar mengenai maksud dan tujuan serta niat baik Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat untuk mempercepat terwujudnya Rumah Sejarah Ibu Inggit Garnasih, akhirnya hati Tito luluh juga. "Saya akan sangat membantu pemerintah bila ada niat baik untuk apa pun yang berkenaan dengan Ibu Inggit," ujar Tito.

Tito mengatakan, hingga saat ini masih banyak keinginan yang belum dapat dilaksanakan Ibu Inggit, kedua orang tuanya Ratna Djuami dan Asmara Hadi, serta dirinya. Keinginan yang selama ini belum diungkapkan, menurut Tito, lebih karena setiap upaya Ibu Inggit semasa hidup hingga meninggal dunia (13 April 1984) selalu mendapat halangan dari pemerintah.

"Salah satu contoh yang sebenarnya sangat mudah yaitu keinginan Ibu Inggit untuk dimakamkan di daerah Cibintinu, Palasari, Kab. Bandung. Alasan almarhumah, Cibintinu merupakan kawasan yang penuh kenangan antara Ibu Inggit dan Soekarno saat berjalan-jalan dengan ibu saya (Ratna Djuami). Akan tetapi, karena Cibintinu dianggap merupakan tempat pertemuan Soekarno dengan petani Marhaen yang dikhawatirkan sewaktu-waktu akan membangkitkan paham Marhaenisme, jasad Ibu Inggit urung dimakamkan di Cibintinu," ujar Tito.

Karena larangan itu, dengan berat hati Tito dan saudara-saudaranya mencari lokasi lain untuk menguburkan jasad Ibu Inggit. "Saya baru mendapatkan lokasi pukul 23.00 WIB di Pemakaman Umum Porib Caringin," katanya mengenang.

Sepeninggal Ibu Inggit, Ratna Djuami beserta keenam putranya meneruskan usaha membuat jamu dan obat-obatan herbal. Sejumlah perusahaan jamu terkenal dari dalam ataupun luar negeri sudah bersedia untuk memproduksi dan menjadikan nama Ibu Inggit sebagai merek dagang. "Akan tetapi, lagi-lagi muncul larangan yang tidak jelas apa alasannya," ujar Tito.

Beban yang ditanggung Ratna Djuami untuk menghidupi keenam anaknya terlalu berat, sehingga tahun 1985 dia berniat menjual rumah warisan yang dibangun 1920-an itu. Namun, lagi-lagi ada banyak rintangan.

Rumah itu selalu urung dijual. Baru pada 1989, Pemprov Jabar membelinya seharga Rp 300 juta. Dengan pertimbangan, jika rumah itu jatuh ke pihak lain dikhawatirkan akan berubah fungsi. Selain itu, akan menghilangkan pula jejak perjuangan Ibu Inggit sebagai tokoh pergerakan kemerdekaan yang juga turut andil dalam memerdekakan bangsa ini.

"Alasan lainnya, rumah yang kami tempati ini merupakan rumah pemberian Soekarno yang memiliki nilai sejarah. Ini perlu kami luruskan, rumah ini merupakan hasil jerih payah Ibu Inggit dari berjualan obat-obatan, ramuan kecantikan tradisional, dan rokok kawung. Ditambah bantuan Mr. Sartono, Moh. Thamrin, Sukartono (kakak R.A. Kartini), Tan Tjoei Gien (pemilik toko kain di Jalan Raya Barat), dan Ibu Wardoyo (kakak kandung Bung Karno)," ujar Tito.

**

Setelah rumah itu dilepas ke Pemprov Jabar, ternyata urusannya masih panjang. Suatu lembaga dari Belanda berniat membeli surat-surat warisan Ibu Inggit dan Koesno atau Soekarno. Semisal surat nikah yang bertanggal 24 Maret 1923 dan surat cerai yang bertanggal 29 Januari 1943. Dokumen itu dihargai Rp 2 miliar.

"Andai saja saya dan keluarga tidak memiliki rasa nasionalisme dan tidak ingat wasiat dari almarhumah, serta tergiur uang sebanyak itu, mungkin pada 1990-an sudah saya jual. Akan tetapi, karena wasiat warisan tidak boleh jatuh ke tangan yang tidak bertanggung jawab maka kami tidak melepasnya," ujar Tito.

Khawatir ahli waris sedikit demi sedikit melepaskan warisan Ibu Inggit Garnasih, Pemprov Jabar pada masa Gubernur H.R. Nuryana dan atas desakan almarhum Mashudi, akhirnya menguasai beberapa warisan Ibu Inggit. Pemprov pun menganggarkan dana sebesar Rp 5 miliar dari APBD 2003. Tentunya dengan perjanjian, uang itu bukan untuk memperkaya ahli waris Ibu Inggit, tetapi untuk mewujudkan impian Ibu Inggit Garnasih membangun Rumah Sakit Bersalin di Soreang.

Lagi-lagi, impian Ibu Inggit Garnasih harus sirna karena pemprov urung mencairkan uang itu tanpa alasan jelas. Hal ini mengundang kemarahan Eka Santosa yang kala itu menjabat sebagai Ketua DPRD Jabar, karena merasa dilecehkan. Demikian pula halnya dengan almarhum Mashudi.

Megawati yang saat itu Presiden RI turut mendesak Pemprov Jabar agar menyisihkan anggaran untuk merealisasikan Rumah Sejarah Ibu Inggit. Kala itu Megawati menegaskan, Inggit Garnasih adalah salah seorang tokoh wanita pergerakan kemerdekaan asal Jabar yang harus dihargai. "Kalau bukan kita (pemerintah), siapa lagi yang akan menghargai jasa-jasanya," ujar Megawati.

Waktu terus bergulir, seiring dengan bergantinya pucuk pimpinan di Jabar dan semakin bertambahnya usia Tito Zeni Asmara Hadi, tidak satu pun keinginan Ibu Inggit itu menunjukkan tanda-tanda bakal terwujud. (Retno HY/"PR")***

3 komentar:

  1. salut untuk keluarga ibu Inggit..... semoga tetap berjuang agar bangsa ini menyadari arti pentingnya sejarah......

    BalasHapus
  2. Yah perlu maklum bahwa dunia ini penuh dengan tanda tanya, tapi ini wujud nyata bahwa perjuangan yang mulia tentu ada saja rintangannya. Rintangan itu makna dari perjuangan dan itu sesungguh nyata.

    BalasHapus
  3. Jika suatu saat rumah Bu Inggit tersebut dijadikan museum Bu Inggit yang dikelola Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, apakah keluarga bersedia memamerkan benda-benda peninggalan bu Inggit di Museum tersebut sehingga generasi muda dapat lebih mengetahui perjuangan bu Inggit. Terimakasih

    BalasHapus