Sabtu, 28 Agustus 2010

Prasasti Geger Hanjuang

MASJID Agung Manonjaya di Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, didirikan tahun 1837. Masjid itu merupakan salah satu saksi terbentuknya Kabupaten Tasikmalaya dan perpindahan Ibu Kota Kab. Sukapura ke Manonjaya.* DOK./"PR"


Sumber informasi budaya yang sangat penting dalam rangka perwujudan kesatuan budaya nasional di Jawa Barat adalah naskah dan prasasti. Naskah Sunda dan prasasti yang mengungkap keterangan tentang adanya kabuyutan yang berkaitan dengan keberadaan Galunggung yang identik dengan Kabupaten Tasikmalaya masa kini adalah Naskah Amanat Galunggung dan Carita Parahiyangan, serta Prasasti Geger Hanjuang.

Esensi Naskah Amanat Galunggung berisi tentang ajaran hidup yang diwujudkan dalam bentuk nasihat yang dituturkan oleh Rakeyan Darmasiksa kepada putranya, Sang Lumahing Taman, beserta cucu, cicit, dan keturunannya yang umumnya bagi masyarakat luas. Menurut salah satu karya Pangeran Wangsakerta, Rakeyan Darmasiksa adalah Raja Sunda yang memerintah 1175-1297 Masehi, mula-mula berkedudukan di Saunggalah yang lokasinya termasuk daerah Galunggung, kemudian pindah ke Pakuan. Berdasarkan hal ini pula, Danasasmita memberi judul Amanat Galunggung.

Naskah Amanat Galunggung berkelindan erat dengan Prasasti Geger Hanjuang karena isinya ada kesesuaian berkenaan dengan pembuatan parit (pertahanan) Rumantak pada masa pemerintahan Batari Hyang yang bertakhta di Galunggung. Terjemahan teksnya, "Semoga selamat. Inilah permulaan tanda peringatan Rahiyang Banga, ketika Ia membuat parit (pertahanan) Pakuan, bernama Rahiyangta Wuwus, maka ia berputra Maharaja Dewata, Maharaja Dewata berputra Baduga Sanghiyang, Baduga Sanghiyang berputra Prabu Sanghiyang, Prabu Sanghiyang berputra Sang Lumahing Rana, Sang Lumahing Rana berputra..."

Prasasti Geger Hanjuang kini tersimpan di Museum Pusat Jakarta dengan nomor koleksi D-26, berukuran tinggi 80 sentimeter dan lebarnya 60 sentimeter.

Prasasti Geger Hanjuang isinya ditulis dalam aksara dan bahasa Sunda buhun (Bandingkan Sunardjo, dkk., 1978) yang cukup terang untuk dibaca, terdiri atas tiga baris yang bacaannya sebagai berikut:

tra ba i gunna apuy na-

sta gomati sakakala rumata-

k disusu (k) ku batari hyang pun

Tafsirannya, pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka Rumatak (selesai) disusuk oleh Batari Hyang.

Edisi lain:
Bah o gunna,
apuy le,
Dya wwang a bu ti saka kala ru? Mata
k di yu yu ku batari hyang pun.

Pada baris pertama, Bah mungkin singkatan dari Brahma. O mengingatkan kepada ong (om); guna (guna) berarti tiga (3), apuy 3 mungkin berhubungan dengan ajaran Ketuhanan Hindu (Triguna). Dijelaskan, nilai guna dalam candrasangkala bukanlah pengganti untuk bilangan 3. Maka dalam guna 3 apuy 3, dibaca 1 maka menjadi 1333. Holle yang pertama membaca prasasti itu tidak menjelaskan perkataan mana dalam prasasti itu yang dimaksudkannya sebagai angka 1 dan angka 3 sebuah lagi. Adapun mengenai baris kedua, beliau menyebutkan, baris tersebut "kurang jelas".

Perhitungan pemilihan momen sejarah yang dijadikan sebagai pangkal tolak Hari Jadi Tasikmalaya, juga ditempuh melalui beberapa proses berdasarkan penilaian objektif dan kenyataan sejarah. Enam faktor penting momen tersebut adalah Galunggung menurut prasasti Geger Hanjuang, periode pemerintahan di Sukakerta, berdirinya Sukapura beserta perkembangannya, perpindahan Ibu Kota Kab. Sukapura ke Manonjaya; perpindahan Ibu Kota Kab. Sukapura dari Manonjaya ke Tasikmalaya, yang diikuti perubahan nama Kab. Sukapura menjadi Kab. Tasikmalaya, serta Tasikmalaya dalam tatanan Republik Indonesia. Prasasti beserta beraneka ragam patilasan berupa lingga dan benda purbakala lain di Tasikmalaya, bisa dijadikan pendukung kuatnya kedudukan Kabuyutan Galunggung dalam penentuan Hari Jadi Tasikmalaya.

Momen pertama yang merunut serta dikuatkan berdasarkan isi teks Prasasti Geger Hanjuang di Linggawangi sebagai pernyataan adanya pemerintahan Galunggung pada tanggal 13 bulan Bhadrapada tahun 1033 Saka. Jika dihitung berdasarkan sistem Tarikh Hijriah, tanggal 1 bulan Bhadrapada tahun 1033 Saka jatuh pada 1 Safar 505 Hijriah, bertepatan dengan 9 Agustus 1111 Masehi. Dengan demikian, tanggal 13 Bhadrapada sama dengan 13 Safar tahun 505 Hijriah atau bertepatan dengan 21 Agustus 1111 Masehi.

Berdasarkan itu, ternyata Prasasti Geger Hanjuang menempati kedudukan tertinggi dari momen lainnya. Dengan demikian, momen pertama itulah yang paling tepat dan dijadikan sebagai tonggak penetapan Hari Jadi Tasikmalaya. Pada periode tersebut, di Tasikmalaya telah berdiri pusat pemerintahan.

Konstelasi dari tonggak penetapan Hari Jadi Tasikmalaya adalah Prasasti Geger Hanjuang yang dibuat pada 21 Agustus 1111 Masehi, sebagai tanda upacara pentasbihan Batari Hyang sebagai penguasa dan bertakhta di Galunggung. Prasasti Geger Hanjuang membuktikan, cerita rakyat/sastra lisan yang tersebar di sekitar Galunggung yang hampir punah, benar-benar terbukti dan ada. Kerajaan Galunggung yang semula berbentuk kebataraan diperintah wanita berjiwa prajurit yang cerdas, tangkas, cekatan, dan "nyantri". Ia sebanding dengan Prabu Wastu Kancana di Galuh dan Prabu Sri Baduga Maharaja di Raja di Pakuan Pajajaran. Tidak berlebihan jika ia layak digelari Siliwangi (ratu yang harum namanya) seperti raja-raja lain yang mampu "menyejahterakan rakyat banyak" yang bergelar Prabu Siliwangi.

Jika kita telisik lebih jauh, perpindahan pemerintahan Kab. Tasikmalaya pada Sabtu, 7 Agustus 2010 dari pusat Kota Tasikmalaya ke daerah Singaparna (dekat patilasan K.H. Zaenal Mustopa) dapat dianggap sebagai kepulangan kembali pemerintahan Kab. Tasikmalaya ke daerah Galunggung. Semoga perpindahan ini membawa berkah, keselamatan, kemakmuran, serta kesejahteraan bagi masyarakat Tasikmalaya. Sebagai pituin Tasikmalaya, tidak lupa penulis mengucapkan Selamat Hari Jadi ke-899 Tasikmalaya pada 21 Agustus 2010. Semoga masyarakat Tasikmalaya yang subur makmur gemah ripah loh jinawi, répéh rapih tata tengtrem kerta raharja segera terwujud. Amin. (Elis Suryani N.S., dosen dan peneliti Unpad)***

***

Menghitung Hari Jadi Tasikmalaya

Penetapan Hari Jadi Tasikmalaya, tepatnya tanggal 21 Agustus 1111 Masehi, bukan tanpa alasan dan serta merta diterima secara otomatis. Namun, hal ini atas dasar peninjauan, penilaian, dan pertimbangan, baik dari segi psikologis maupun segi historis dan ilmiah yang melibatkan beragam data dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya secara autentik. Hal itu diperkuat melalui naskah Amanat Galunggung, Carita Parahiyangan, dan Prasasti Geger Hanjuang yang menyatakan adanya pemerintahan Galunggung pada tanggal 13 bulan Bhadrapada tahun 1033 Saka. Pertanyaan yang mungkin muncul bagi kita sebagai orang awam, bagaimana caranya para ahli menghitung dan menetapkannya?

Ilmu perhitungan waktu sebagai ilmu bantu sejarah merupakan hal yang sangat penting bagi sejarah. Ilmu perhitungan waktu (kronologi) terbagi tiga: ilmu perhitungan waktu sejarah yang bertujuan mendapatkan bahan-bahan tentang waktu kejadian sejarah (kronografi), matematis menjabarkan kaidah-kaidah ilmu perhitungan waktu teknik menjadi rumusan-rumusan ilmu pasti, dan teknik membicarakan teori-teori kalender. Melalui perhitungan waktu sejarah, diusahakan untuk memberikan tulang punggung pada sejarah dengan menentukan hubungan kejadian-kejadian berdasarkan waktu (Gazalba, 1966: 103).

Kita mengenal tiga perhitungan waktu, yaitu Masehi, Hijriah, dan Hindu (Saka). Tahun Masehi menamakan tahun tertentu dari hitungan waktu Roma sebagai tahun 532 hitungan Masehi. Tahun Hijriah dimulai tatkala Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, dan menurut tahun Masehi tahun 622. Perhitungan tahun Saka mulai digunakan sejak tahun 78 Masehi.

Berkaitan dengan penetapan Hari Jadi Tasikmalaya, Danasasmita (1973) menjelaskan hitungan waktu sejarah berdasarkan sistem tarikh Saka, Masehi, dan Hijriah. Tarikh Saka berdasarkan atas matahari. Awal perhitungannya sejalan dengan sistem tarikh di belahan bumi utara dengan pembagian empat musim. Awal tahun dihitung pada kedudukan matahari di khatulistiwa yang bertepatan dengan musim semi di bagian bumi sebelah utara. Jadi, mengambil awal perhitungan tanggal 23 Maret karena perhitungan tanggal berdasarkan atas sistem bulan tarikh Saka menjadi sistem kombinasi "matahari-bulan", seperti halnya sistem "Imlek" dalam tarikh Tionghoa.

Secara garis besar, perhitungan penanggalan terbagi dua bagian, yakni waktu bulan terang (suklapaksa) sejak awal bulan terbit waktu matahari terbenam hingga bulan purnama; dan bagian bulan gelap (kresnapaksa) dari bulan purnama hingga bulan tenggelam (tidak muncul waktu malam).

Berkenaan dengan penanggalan Prasasti Geger Hanjuang sebagaimana dikemukakan sebelumnya adalah Trayodasi Bhadrapada 1033 Saka. Andai dikombinasikan, dapat kita sebut tanggal 13 Bhadrapada pada tahun 1111 Masehi. Agar memudahkan perhitungan, dicari penyesuaian antara tanggal 1 Januari 1111 Masehi dan penanggalan Hijriah. Artinya, dihitung jumlah hari sejak 16 Juli 622 M (= 1 Muharam 1 H) hingga tanggal 30 Desember 1110 M.

Secara ringkas dapat dikemukakan, pada tanggal 31 Desember 1110 M tahun Hijriah 504 telah berjalan 165 hari yang meliputi: Muharam (30 hari); Safar (29 hari); Rabiul Awal (30 hari); Rabiul Akhir (29 hari); Jumadil Awal (30 hari); Jumadil Akhir (17 hari), jadi jumlah keseluruhannya meliputi 165 hari. Kesimpulan dari semua perhitungan itu adalah bahwa tanggal 31 Desember 1110 M =17 Jumadil Akhir 504 H. Jadi, 1 Januari 1111 M =18 Jumadil Akhir 504 H.

Penyelesaian selanjutnya diperoleh bahwa 18 Jumadil Akhir 504 H = 1 Januari 1111 M; 1 Rajab 504 H = 13 Januari 1111 M; 1 Saban 504 H = 12 Februari 1111 M.; 1 Ramadan 504 H = 13 Maret 1111 M = Caitra (1033 Saka); 1 Syawal 504 H = 12 April 1111 M Waisaka; 1 Zulqaidah 504 H = 11 Mei 1111 M Jyesta; 1 Zulhijah 504 H = 10 Juni 1111 M Asadha (kabisat); 1 Muharam 505 H = 10 Juli 1111 M Srawana; 1 Safar 505 H = 9 Agustus 1111 M Bhadrapada; dan 13 Safar 505 H = 21 Agustus 1111 M. Maka dari itu, tanggal 1 bulan Bhadrapada tahun 1033 Saka jatuh pada tanggal 1 Safar 505 Hijriah yang bertepatan dengan tanggal 9 Agustus 1111 Masehi. Dengan demikian, tanggal 13 Bhadrapada = 13 Safar tahun 505 Hijriah bertepatan dengan tanggal 21 Agustus 1111 Masehi yang digunakan sebagai Hari Jadi Tasikmalaya, sesuai dengan teks yang tertulis dalam Prasasti Geger Hanjuang. (Elis Suryani, dosen, penulis, dan peneliti Unpad)***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar