SETUJUKAH Anda bila saya menyebutkan salah satu karakter bangsa Indonesia adalah malas? Saya yakin berbagai alasan segera muncul sebagai bentuk persetujuan atau pertidaksetujuan atas ajuan saya itu. Mengapa? Memang, penilaian tidak bisa dilakukan secara umum (generalisasi). Berbagai sudut pandang bisa mewarnai pendapat atau penilaian seseorang terhadap segala sesuatu.
Nah, dari sudut pandang penggunaan bahasa, saya berani menyebutkan bahwa bangsa Indonesia juga memiliki karakter malas! Tidak percaya? Bukti yang sangat nyata dan bisa kita lihat sehari-hari adalah menjamurnya singkatan dalam pemakaian bahasa Indonesia. Bukan hal yang mustahil bila singkatan yang "beredar" dibukukan, buku itu akan lebih tebal dibandingkan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dengan kata lain, jumlah singkatan dalam bahasa Indonesia bisa lebih banyak dibandingkan dengan kata yang dimilikinya.
Kebiasaan membuat singkatan itu menggambarkan adanya tradisi instan pada bangsa Indonesia. Kebiasaan ingin cepat meraih hasil tanpa melalui prosedur/proses yang sebenarnya bahkan akibat yang muncul. Kebiasaan potong kompas atau hantam kromo (aturan) itu akhirnya mendarah daging dan sulit untuk dihapuskan.
Kemalasan bangsa Indonesia dalam berbahasa juga terlihat pada kejadian sehari-hari saat berkomunikasi. Misalnya, saat mereka menemukan kata atau istilah baru, bukan kamus atau ensiklopedia yang mereka cari. Mereka akan mencari temannya untuk bertanya atau sekadar mohon petunjuk. Padahal, belum tentu teman atau orang yang ditanya itu lebih tahu daripada dia. Malas membuka kamus!
Bukti kemalasan yang lain –ini yang paling parah– adalah enggan mengubah kebiasaan/tradisi. Padahal, tradisi itu sudah jelas menyalahi aturan atau tidak sesuai lagi dengan aturan yang baru. Mengapa saya menilai kemalasan ini merupakan yang paling parah? Masalahnya, bila aturan sudah dihantam dan muncul pengecualian, wibawa dan keteraturan sistem bakal terganggu.
Pada Wisata Bahasa pekan lalu, Imam Jahrudin Priyanto mencontohkan pengecualian pada peluluhan fonem [k] pada kata kaji. Saat mengalami afiksasi, kata kaji tidak berubah menjadi mengaji atau pengajian, melainkan mengkaji dan pengkajian. Padahal, aturan menyebutkan bahwa setiap kata yang didahului dengan fonem [k], [p], [s], dan [t] harus luluh.
Alasan Pusat Bahasa tidak meluluhkan kaji saat mengalami afiksasi adalah kebiasaan! Konon, masyarakat sudah terbiasa dengan kata pengkajian dan mengkaji yang membedakan dengan konsep mengaji (membaca Alquran). Pertanyaan saya, mengapa kita tidak berani mengubah kebiasaan itu? Bukankah makna kata tidak hanya bergantung pada kata itu sendiri? Bukankah pemaknaan suatu kata juga bisa bergantung pada konteks kalimat?
Selain itu, dalam bahasa Indonesia, kita juga mengenal kata mendaras (ngaderes – Sunda) untuk konsep membaca Alquran. Mengapa kita tidak berupaya memasarkan kata mendaras kepada masyarakat? Jawabannya hanya satu; malas! Malas melakukan perubahan. Sudah biasa begitu, ya sudah biarkan saja. Toh, bahasa itu milik masyarakat! Apa yang masyarakat inginkan, ya itulah yang akan direkam.
Kalau begitu, bagaimana aturan bisa ajek? Saya pernah beranalogi saat berdiskusi dengan teman-teman, apakah bila korupsi sudah biasa, kita akan mendiamkannya? Kita tahu bahwa korupsi itu melanggar hukum. Namun, karena sudah biasa, kita membiarkannya terus-menerus dan menjadi tradisi. Ah, itu sudah biasa! Mengapa harus kita ubah? Biarkan saja….***
Tendy K. Somantri, Pemerhati bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar