Oleh Roby Muhamad
Sedikitnya ada tiga alasan mengapa seseorang menjadi golput.
Pertama, seseorang menjadi golput karena di luar kehendak; misalnya sebetulnya ingin memilih tetapi karena suatu hal —misalnya sakit parah—dia tidak memilih.
Kedua, golput sebagai pernyataan politik yang mengisyaratkan ketidakpercayaan pada sistem yang ada.
Ketiga, golput menganggap memilih bukan perilaku rasional karena tidak memberi keuntungan apa-apa bagi diri sendiri.
Untung-rugi
Seseorang dikatakan berperilaku rasional jika perilakunya didasarkan pada penghitungan untung-rugi. Jika seseorang memilih perilaku yang paling menguntungkan dirinya, perilaku itu dianggap rasional. Ikut memilih dalam pemilihan presiden apakah rasional atau bukan? Apa untungnya memberikan satu suara di antara ratusan juta suara lain?
Memang satu suara yang diberikan hampir pasti tidak memengaruhi hasil pemilihan presiden. Di antara sekitar 170 juta pemilih, pengaruh satu suara bisa diabaikan. Karena itu, kelihatannya memilih dalam pemilihan presiden bukan tindakan rasional karena kemungkinan suara yang diberikan memengaruhi hasil pemilu presiden amatlah kecil.
Argumen ini bisa diperluas, bukan hanya sekadar tindakan memilih tetapi juga apakah rasional bagi kita untuk peduli proses pemilihan presiden secara umum. Jika suara kita tidak bisa memengaruhi hasil pemilihan presiden, untuk apa kita menghabiskan waktu dan energi mendengarkan janji-janji yang disampaikan para calon presiden?
Bagi masing-masing individu, memilih memang tidak rasional. Tetapi hasil pemilihan ini berdampak bagi 250 juta orang Indonesia. Misalkan, presiden baru terpilih bisa meningkatkan kualitas hidup orang Indonesia sebesar Rp 100.000 secara rata-rata, maka memilih presiden mirip dengan mengambil undian gratis dengan hadiah Rp 2,5 triliun.
Jadi, meski kecil kemungkinan suara pilihan kita menentukan pemenang pemilu presiden, dampaknya amat besar. Dalam ilmu statistik, hal ini dikenal sebagai peristiwa yang memiliki probabilitas kecil, tetapi nilai ekspektasinya besar.
Nilai ekspektasi adalah hasil perkalian dari probabilitas kejadian dengan dampak kejadian sehingga meski probabilitasnya kecil, jika dampaknya besar, ekspektasinya besar pula. Probabilitas adalah konsep abstrak, tetapi nilai ekspektasi mempunyai nilai riil; dalam contoh itu adalah uang Rp 2,5 triliun. Jadi, pilihan rasional bukan memilih hanya berdasarkan probabilitas tertinggi, tetapi memilih berdasarkan nilai ekspektasi tertinggi.
Perilaku rasional
Dari paparan itu terlihat, memilih termasuk perilaku rasional, asal keuntungan yang dimaksud bukan keuntungan pribadi tetapi keuntungan sosial. Dengan kata lain, memilih berdasarkan dampak sosial memiliki ekspektasi jauh lebih besar daripada memilih berdasarkan dampak pribadi. Artinya, pemilih rasional tidak memilih kandidat yang dipercaya akan memberi keuntungan pribadi, tetapi kandidat yang dipercaya akan memberi keuntungan untuk seluruh rakyat.
Hasil penelitian beberapa ilmuwan politik di Columbia University, New York, memperlihatkan pemilih di AS memilih berdasarkan keuntungan (preferensi) sosial, bukan individu. Penemuan ini membantah pendapat dari sebagian ekonom—misalnya ekonom Steven Levitt pengarang buku populer Freakonomics—yang menganggap memilih dalam pemilu tidak rasional karena tidak memberi keuntungan pribadi.
Mencoblos dalam pemilu bisa dianggap perilaku rasional. Kuncinya adalah memperluas definisi perilaku rasional itu. Kebanyakan ekonom dan ilmuwan sosial menganggap rasionalitas didasarkan keuntungan individu; di sini rasionalitas sama dengan egoisme. Padahal, perilaku rasional dapat juga didefinisikan bukan hanya sebagai perilaku yang memberikan keuntungan pribadi, tetapi juga perilaku yang memberi keuntungan sosial.
Dalam kasus perilaku memilih dalam pemilu malah tidak rasional jika seseorang bertindak egois. Sebab, seorang egois hanya memikirkan keuntungan pribadi, sedangkan mencoblos dalam pemilu tidak memberi keuntungan pribadi.
Dalam konteks pemilihan umum jika Anda ingin menjadi orang rasional, ikutlah memilih dan pilih kandidat yang dipercaya membawa kebaikan bagi negara secara umum, bukan baik bagi Anda saja. Jika Anda memilih hanya untuk kepentingan pribadi, Anda tidak rasional.
Roby Muhamad Kandidat Doktor Sosiologi, Universitas Columbia, New York
Tidak ada komentar:
Posting Komentar