Oleh VERI NURHANSYAH TRAGISTINA
Seperti seorang kafir, kini, Persib Bandung tak diterima lemah cai sendiri. Pasalnya, beberapa waktu lalu, Kapolda Jabar dengan tegas melarang pertandingan kandang Persib di seluruh daerah di Jawa Barat. Penyebabnya, sudah mafhum diketahui yaitu peristiwa minggu kelabu saat Persib menjamu Persija. Ini menjadi tamparan kedua bagi bobotoh setelah pemasungan atribut Persib selama satu tahun.
Di satu sisi, kondisi ini mungkin akan menjadi positif dalam konteks menikam sifat rusuh bobotoh. Dengan ini, bobotoh diharapkan lebih dewasa dalam menyikapi apa pun hasil yang diperoleh Persib. Bukankah dalam pertandingan selalu ada yang kalah dan yang menang?
Namun, pada sisi lain, saya melihat keluarnya larangan bagi Persib ini sebagai cermin dari asistemik penanganan kerusuhan oleh aparat ataupun Badan Liga Indonesia (BLI). Lihat saja ragam kerusuhan suporter di negeri ini dari tahun ke tahun tak pernah menghilang. Anehnya, BLI ataupun polisi hanya menggunakan cara yang linear, sama dan seragam. Bahkan, peraturan sanksi tersebut cenderung reaktif nan subversif. "Jika kau ribut, bayarlah denda, tanggalkan atributmu, dan enyahlah kau dari sini!"
Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mengetengahkan contoh penanganan kerusuhan suporter yang sistemik dan telah terbukti berhasil diterapkan di beberapa negara kawasan Eropa.
Relasi
Kerusuhan suporter bukanlah fenomena yang berkelindan pada aspek lokal Indonesia. Sejak tiga dekade lalu, kerusuhan menjadi fenomena yang menjamur dalam dunia sepak bola dunia, khususnya Eropa. Berawal dari kebrutalan pada dunia sepak bola Inggris, fenomena hooliganism muncul dan kemudian berurat-akar membentuk jiwa barbarisme suporter sepak bola.
Fenomena yang kelak disebut "English diseases" ini kemudian menjalar hampir ke seluruh belahan dunia. Kelompok suporter garis keras muncul di Italia -- biasa disebut Ultras, Spanyol, Belanda, dan Jerman. Belum lagi, kebrutalan di negara-negara Amerika Latin dan Eropa Timur. Tentu saja ini juga dirasakan di Indonesia. Fenomena ini jelas kemudian mengakumulasi kegelisahan publik atas tingkah suporter sepak bola. Pada akhirnya juga menegasikan bangunan fundamental sepak bola sebagai media pemersatu dan perdamaian.
Pada konteks ini, Ramon Spaaij (2005) mengetengahkan studi pencegahan kerusuhan suporter dalam bingkai perspektif transnasional. Spaaij berkeyakinan, usaha mereduksi holiganisme harus berpijak pada aspek lokalitas geografis dan kultural di mana suporter itu berpijak. Dalam studinya ini, Spaaij menganalisis usaha penanganan kerusuhan suporter yang telah dilakukan oleh beberapa klub dan negara di Eropa daratan.
Dalam konteks kerusuhan suporter di Indonesia, saya tertarik pada analisis Spaaij mengenai Fanprojekte. Fanprojekte (Fan projects dalam bahasa Inggris) merupakan program pencegahan hooliganism yang diterapkan di Jerman, Belanda, dan beberapa negara Skandinavia. Fanprojekte sebenarnya berpijak pada gagasan bahwa pencegahan holiganisme haruslah berawal pada usaha peningkatan kesadaran suporter (sedini mungkin) pada bangunan fundamental sepak bola sebagai media perdamaian. Selain itu, fanprojekte juga berpijak pada pemahaman bahwa penguatan hubungan suporter dan klub menjadi harga mati dalam mereduksi praktik hooliganism. Pada titik ini, fanprojekte berjalan pada jalur penanganan yang "soft", sistemik, dan berkelanjutan.
Fanprojekte diterapkan di beberapa negara dalam bentuk yang bervariasi. Jerman menggunakan ini sebagai media perekat sinergitas antara klub, suporter, dan polisi. Ini kemudian membangun suatu relasi kontinuitas dalam usaha pencegahan hooliganism. Belanda mengaplikasikan ini lebih variatif. Cambuur Leuwarden contohnya. Salah satu klub Belanda ini menerapkan pencegahan hooliganism dalam beberapa level.
Pertama, kebijakan dalam penanaman kesadaran antiholiganisme melalui kampanye kepada anak-anak sekolah dasar. Anak-anak sangat berpotensi menjadi suporter klub kelak ketika beranjak remaja dan dewasa. Maka, penanaman antihooliganism akan lebih berpengaruh manakala dilakukan sedini mungkin pada mereka yang masih belia.
Kedua, memberlakukan pelarangan pada hooligan (perusuh) untuk menonton. Ini dilakukan untuk mencegah hooligan kambuhan (residivis) berbuat onar kembali. Uniknya, Cambuur juga melakukan ini untuk membantu hooligan yang sudah masuk daftar hitam itu, untuk meningkatkan kesempatan kerja atau kariernya. Ini bisa terjadi karena Cambuur menyediakan program "buddy-mentor" yang membantu hooligan tersebut dalam hal peningkatan karier dan kesempatan kerjanya. Keuntungan lain dari mengikuti "buddy-mentor" ini adalah adanya pengurangan dan pencabutan larangan menonton yang sebelumnya diberlakukan bagi para hooligan tersebut.
Dengan fanprojekte ini, Cambuur berhasil mengatasi dan mencegah hooliganism suporternya. Bahkan, pada tahun 2002 Cambuur dianugerahi Hein Roethof Award karena berhasil menerapkan projek penanganan hooliganism secara efektif tanpa subversivitas.
Bagaimana dengan Indonesia?
Walaupun Spaaij menekankan pentingnya aspek lokalitas dalam penanganan kerusuhan suporter, saya berpandangan bahwa fanprojekte dapat diadopsi pula di Indonesia. Persib contohnya, relasi antara pengurus, bobotoh, dan polisi relatif renggang. Bahkan jarang sekali ketiga pihak ini duduk satu meja untuk urun rembuk dalam hal usaha menekan kerusuhan. Walaupun ada, sifatnya hanya spontan dan tak berkelanjutan. Akhirnya setelah kerusuhan meledak, yang terjadi adalah saling menyalahkan.
Pada titik ini, Persib seharusnya menjadi motor sekaligus pelopor dalam penerapan fanprojekte yang lebih sistemik dan berkelanjutan di Indonesia. Kita tahu bahwa bobotoh Persib sangat banyak. Pun telah banyak berdiri kelompok bobotoh yang well-organized semacam Viking. Kondisi ini akan memudahkan Persib dalam menekan kerusuhan dengan berbagai macam projek yang melibatkan klub, bobotoh, dan aparat. Hemat saya, kini tinggal dibutuhkan politicall will saja untuk menerapkan fanprojekte dalam usaha mencegah kerusuhan bobotoh di kemudian hari.
Dengan demikian, kini menjadi saat yang tepat bagi kita untuk berubah. Tanpa harus berharap kepada mereka yang reaktif nan subversif sekaligus mencari duit dari kerusuhan. Akan tetapi, kini saatnya bergerak dengan kaki sendiri. Menatap kejayaan Persib tanpa balutan luka karena rusuh dan fanprojekte menjadi sebuah tawaran bagi kita semua. ***
Penulis, mahasiswa Universitas Indonesia Depok, "bobotoh" Persib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar