Senin, 18 Agustus 2008

Kebutuhan dan Pasokan Air Tanah Meningkat

Berhemat dan Melindungi Air Baku

 

PEKERJA melakukan pengeboran pada pembuatan sumur pompa di salah satu rumah warga di Kota Bandung, Kamis (14/8). Adanya perubahan lingkungan membuat penduduk yang tadinya mengandalkan air sungai untuk memenuhi kebutuhan airnya mulai beralih ke penggunaan air tanah yang di antaranya menjadi penyebab terjadinya penurunan permukaan tanah.* DUDI SUGANDI/"PR"


Oleh Ir. Tubagus Unu Nitibaskara

Bayangkan andai di dunia ini tidak ada air, tentu tidak akan ada kehidupan seperti saat ini. Tentu, wajah bumi pun hanya indah dipandang dari jauh seperti halnya kita melihat bulan atau planet Mars.


Tanpa air memang tidak akan ada kehidupan karena air seperti halnya udara sangat dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari, baik untuk keperluan rumah tangga, pertanian, transportasi, industri maupun rekreasi.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau, 6.000 pulau di antaranya tidak berpenghuni dengan populasi menurut sensus penduduk 2000 berjumlah 206 juta jiwa dan akan menjadi 222 jiwa pada tahun 2006, sekitar 130 juta (lebih dari 50%) tinggal di Pulau Jawa, yang tentunya setiap hari menggunakan air. Jadi, bisa dibayangkan berapa banyak air yang dibutuhkan. Padahal, penggunaan air di Indonesia masih sangat boros, umumnya hanya sekali pakai langsung buang.

Air saat ini sudah menjadi suatu permasalahan yang penting, khususnya di Pulau Jawa, Bali, maupun kepulauan Nusa Tenggara. Kebutuhan air yang terus meningkat tidak dapat diimbangi oleh siklus air yang relatif tetap. Degradasi daerah aliran sungai (DAS), perubahan lahan akibat tekanan aktivitas penduduk telah mengubah badan air yang terbentuk di daratan sehingga di beberapa wilayah pada saat musim hujan terjadi banjir dan pada musim kemarau daerah yang sama mengalami kekeringan.

Perubahan ini membuat penduduk yang ada yang semula mengandalkan air sungai untuk memenuhi kebutuhan airnya mulai beralih ke penggunaan air tanah. Akibatnya, penggunaan air tanah meningkat sangat pesat, bahkan di beberapa tempat, ketergantungan pasokan air tanah telah mencapai 70%. Sayangnya, kebutuhan ini tidak dapat diimbangi penyediaan sumber air baku oleh pemerintah sehingga terjadi penurunan permukaan air tanah. Penurunan permukaan air tanah mengakibatkan sumur kering, amblesnya tanah dan intrusi air laut.

Sejak tahun 1970-an, degradasi DAS berupa lahan gundul, tanah kritis, erosi pada lereng-lereng, sebenarnya telah mendapat perhatian pemerintah, tetapi degradasi tersebut terus berlanjut karena tidak ada upaya keterpaduan tindak dan upaya dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan DAS.

Pendekatan terpadu

Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menurut manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Partisipasi masyarakat juga dipandang penting dalam pengelolaan DAS mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan, dan pemungutan manfaat. 

Pengelolaan DAS juga memerlukan asas legalitas yang kuat yang mengikat bagi instansi terkait karena posisi DAS sebagai unit pengelolaan yang utuh sangatlah penting untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumber daya hutan, tanah, dan air.

Balai Besar KSDA Jawa Barat merupakan unit pelaksana teknis KSDA yang mempunyai tugas penyelenggaraan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam, dan taman buru. Koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di dalam penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya khususnya mengenai fungsi hidrologis, BBKSDA Jabar berupaya untuk merehabilitasi kawasan yang gundul, baik sebagai akibat kebakaran hutan maupun bekas perambahan yaitu dengan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2003 sampai dengan saat ini. 

Kegiatan ini dimaksudkan agar kawasan yang gundul atau rusak dapat pulih kembali dan berfungsi sebagai penyerap air hujan yang dapat mengisi kembali air tanah, dimana air hujan yang meresap ke dalam tanah sangat bergantung pada jenis tanah serta batuan yang ada.

Analisis & penghematan

Dalam menganalisis pengelolaan DAS, ada tiga sektor utama yang dianalisis peranannya yaitu sektor kehutanan, sektor sumber daya air, dan sektor pertanian. Metodologi yang dipakai adalah analisis ekonometrik untuk mengetahui dampak dari kebijakan pembangunan dari ketiga sektor yang ada terhadap kinerja DAS. Studi ini juga memasukkan variabel-variabel tambahan seperti permukiman untuk mewakili sektor-sektor lain. DAS di Jawa Barat adalah DAS Ciliwung, DAS Citarum, DAS Cimanuk, dan lain-lain

Penduduk Indodnesia pada awalnya bertumpu pada penggunaan air sungai sebagai sumber air bersih yang mulai beralih kepada penggunaan air tanah. Akibatnya, penggunaan air tanah meningkat sangat pesat pada akhir dasawarsa ini. Perkembangan industrialisasi yang tidak diimbangi dengan penyediaan sumber air baku oleh pemerintah merupakan katalis utama dari pemanfaatan air tanah secara besar-besaran. Penurunan permukaan air tanah mengakibatkan keringnya sumur-sumur, amblesnya tanah dan intrusi air laut. Ketika dampak lingkungan mulai terasa, maka pentingnya konservasi barulah disadari. Sumber daya air mulai menjadi salah satu parameter kendali dalam penentuan tata ruang.

Upaya penghematan air baku/air tanah memerlukan beberapa aspek yang menyangkut teknis dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai contoh:

- Pembangunan cek-dam/bendungan air yang berwawasan lingkungan, sumur-sumur resapan, dan revitalisasi situ yang kurang optimal fungsinya.

- Menerbitkan peraturan mengenai penggunaan air baku khususnya untuk pembangunan yang berasa di sekitar daerah tangkapan air. Pelaksanaan Gerhan yang ditangani Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat selama tahun 2003 sampai tahun 2007 secara total berjumlah 10.443 ha, tersebar di 11 kabupaten, 2 DAS, dan 25 unit/kawasan konservasi,.

Secara tidak langsung, kerusakan hutan di Jawa Barat memengaruhi kondisi ketersediaan air baku yang sangat diperlukan bagi penduduk di sekitar hutan. Upaya pemulihannya dalam berbagai upaya konservasi air diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan persediaan air baku yang dapat menjamin keberlanjutan program pembangunan prinsip No Forest, No Water, No Future (tidak ada hutan, tidak ada air, dan tidak ada masa depan) telah memperingatkan kita untuk senantiasa melestarikan sumber air dan sekaligus penghematan. Semoga.***

Penulis, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar