Selasa, 05 Agustus 2008

Gish, Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan


Oleh ZAID WAHYUDI


Kekerasan tak dapat dilawan dengan kekerasan. Segala bentuk kekerasan, apa pun maksud dan tujuannya, tak akan pernah menghasilkan apa pun. Kekerasan hanya dapat diakhiri dengan cinta kasih. Itulah prinsip yang diyakini dan dilaksanakan penggiat perdamaian dalam konflik antara Palestina dan Israel, Arthur G Gish (69).

Ancaman moncong tank Israel bukan halangan bagi pria yang akrab disapa Art, untuk terus melawan kekerasan dengan tindakan antikekerasan. Tank itu dihadapi Art saat menghalangi serdadu Israel yang akan menghancurkan sebuah pasar warga Palestina di daerah Al Manara, Hebron, Tepi Barat, pada 30 Januari 2003.

”Tembak, tembak! Baruch hashem Adonai (Terpujilah nama Tuhan)!” teriak Art di depan tank Israel yang jaraknya hanya beberapa jengkal dari wajahnya. Tank itu lalu menghentikan usahanya meratakan pasar milik warga Palestina.

Status sebagai warga negara Amerika Serikat (AS) dinilai Art menguntungkan bagi aksinya. AS adalah negara utama pendukung Israel. Jika terjadi masalah dengan warga negara AS, hubungan AS-Israel dapat terganggu. Karena itu, dalam sejumlah aksi Art melindungi warga Palestina dari serangan tentara Israel, serdadu tak mau melawan tindakan Art.

Aktivitasnya di Palestina dilakukan bersama sejumlah sukarelawan penjaga perdamaian antikekerasan yang tergabung dalam Christian Peacemaker Teams (CPT). Mereka bertindak sebagai pengamat internasional yang memantau konflik Israel- Pelestina.

Art bertugas mendengarkan keluh kesah warga dua kelompok yang bertikai. Mereka juga berusaha agar konflik dan kekerasan dapat dikurangi intensitas dan dampaknya. Mereka membekali diri dengan sejumlah alat perekam. Cara ini efektif untuk sedikit meredam kekejaman serdadu Israel karena khawatir tindakan mereka disebarkan ke masyarakat internasional.

Art mengikuti kegiatan CPT di Palestina sejak 1995. Ia pergi ke Palestina setiap musim dingin. Sisa waktu dia gunakan untuk bertani secara organik di lahan pertaniannya di Athens, Ohio, AS.

Selama di Palestina, Art banyak tinggal bersama warga setempat yang menjadi incaran hinaan dan tindak kekerasan para pemukim Yahudi dan tentara Israel. Dari sinilah muncul aksi heroik Art dan rekan-rekan untuk melindungi warga Palestina yang tertindas.

Ia memberi pelatihan kepada warga Palestina dan warga Israel yang sama-sama menolak kekerasan dalam konflik. Art juga banyak melakukan kegiatan harian yang terlihat kecil nilainya, padahal berarti besar. Salah satunya, mengantar anak-anak Palestina pergi ke sekolah, melindungi mereka dari cercaan para pemukim Yahudi.

Namun, ia membantah sikapnya yang banyak berhubungan dengan warga Palestina menunjukkan keberpihakan kepada kelompok tertentu. Dalam upaya menciptakan perdamaian, ia berusaha menjaga netralitas di antara pihak-pihak yang bertikai.

”Kami membela siapa pun yang menjadi sasaran kekerasan pihak lain. Ke mana arah senjata, ke situlah kami berada. Prinsip antikekerasan tidak membela siapa pun,” tegas Art yang ditemui dalam acara diskusi buku karyanya, Hebron Journal, di Jakarta, 29 Juli 2008.

Gerakan antikekerasan tim CPT mendapat apresiasi luas masyarakat Palestina. Tindakan itu juga mendulang simpati masyarakat Israel. Banyak warga Yahudi yang juga menolak tindak kekerasan Israel kepada warga Palestina.

Upaya ini mulai membuahkan hasil dengan terbangunnya interaksi positif antara warga Palestina dan Israel. Suatu ketika, sekelompok warga Israel merusak kebun zaitun milik warga Palestina. Beberapa hari kemudian, sekelompok warga Israel lain yang menolak kekerasan mendatangi kebun milik warga Palestina itu untuk meminta maaf dan membantu menata kembali kebun yang dirusak.

Selama 50 tahun
Kegiatan Art sebagai aktivis perdamaian nonkekerasan sudah dilakukan selama 50-an tahun. Sejak masih muda, pada akhir 1950-an, ia aktif menentang Perang Vietnam yang dilakukan AS.

Ia juga terlibat dalam Gerakan Hak Sipil di AS yang menuntut persamaan hak sesama warga negara serta menentang politik rasial. Art pernah bekerja bersama dengan pejuang antirasial dan antikekerasan AS, Martin Luther King.

Meski penganut iman Kristiani, ia mengikuti kegiatan masyarakat Muslim Athens yang diselenggarakan di Islamic Center setempat. Art juga membantu melindungi masyarakat muslim Athens dari ancaman kekerasan kelompok Kristen Kanan yang menguat pada era Presiden George W Bush.

Tindakannya didukung sang istri, Peggy Faw Gish, yang juga anggota CPT dan bertugas di Irak. Salah satu tugas Peggy adalah mendokumentasikan berbagai pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan tentara pendudukan AS, mengadvokasi keluarga yang kehilangan anggota keluarganya, dan bekerja sama dengan kelompok penggiat perdamaian lokal di Irak, Muslim Peacemaker Teams.

Sebagai orang yang tumbuh dan hidup di lingkungan gereja dengan faham pasifisme atau menolak segala tindak kekerasan, Art meyakini hanya kekuatan cinta kasih yang mampu meredam nafsu angkara.

Banyak bukti menunjukkan kekerasan yang dilawan dengan kekerasan tidak menghasilkan perdamaian. Hal ini pula yang membuat Art gigih menolak sikap Pemerintah AS yang mengedepankan perang dalam menyelesaikan kejahatan. Afganistan dan Irak adalah bukti kegagalan tindakan bersenjata AS dalam mengatasi kejahatan.

”Kekerasan yang dilawan dengan kekerasan hanya akan membuat dunia lebih buruk,” ujarnya.

Bagaimana efektivitas gerakan antikekerasan dalam melawan kebrutalan serdadu Israel? Art mempunyai jawaban yang meyakinkan. Meski jalan nonkekerasan tak dapat mengatasi semua aksi kekerasan secara langsung, cara ini dipastikan mengubah secara perlahan pelaku dan bentuk kejahatan.

Untuk memperoleh hasil dari gerakan antikekerasan tidak dapat diperoleh dalam waktu singkat. Tindakan ini harus dilihat sebagai proses yang mesti dilakukan terus-menerus, sampai terwujudnya perdamaian abadi suatu saat nanti.

Dalam sebuah konflik bersenjata yang masif, Art bersama kelompoknya hanya melihat konflik yang terjadi. Dalam hukum internasional, pengamat diberi hak mengamati konflik dan tak boleh dilukai selama mereka tidak melibatkan diri dalam konflik tersebut.

Gerakan antikekerasan memiliki dampak besar dan luas jika dilakukan oleh banyak orang secara bersama-sama. Kesamaan sikap menentang kekerasan dapat menjadi ”jembatan perdamaian” antarwarga yang terkena imbas konflik yang dilakukan para elite mereka.

”Saya sangat yakin suatu hari nanti semua aksi kekerasan akan berhenti,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar