Senin, 15/04/2013 - 12:34
BANDUNG, (PRLM) kalau lagu "Bengawan Solo" karya Gesang dibawakan oleh orang Cina di atas panggung pertunjukkan? Pasti Anda akan membayangkan nada dan vokal suara yang aneh di pendengaran. Sebaliknya, tidak. Perkiraan itu kali ini meleset.
Tim "Confucius Institue Performance Tour" yang tampil di Gedung Balai Sartika begitu memukau pengunjung. Tim dengan "hosted" dari Hanban (Confucius Institute Headquarters) dan "co hosted" Hubei University dan Maranatha Cristian University Cinfucius Institue ini tampil begitu prima. Bukan hanya membawakan berbagai atraksi kesenian yang sengaja dibawa dari Negeri Tirai Bambu tetapi juga dengan salah seorang vokalisnya tampil dengan apik membawakan lagu "Bengawan Solo" karya Gesang. Kontan, tempat duduk yang terisi penuh memberi apresiasi.
Panggung pertukaran budaya Cina-Indonesia ini dibuka dengan tarian khas yang sangat kental dengan tradisi Cina yakni "Dragon Dance" atau di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Tarian Liong. Berbeda dengan Tarian Liong di Indonesia yang kerap menggunakan naga merah bersisik emas, pada pertunjukkan ini, warna naganya biru muda dengan sisik emas. Dibawakan dengan sangat atraktif, antara gerakan memuatar naga dengan tarian.
Suguhan berikutnya adalah "Tai Chi Fan", sebuah tarian yang memadukan antara seni olahraga "Tai Chi" dengan gerakan gemulai tetai kuat. Sebuah paduan yang indah sekaligus juga berenergi.
Tarian berikutnya yang tidak kalah memukau adalah "Swan Goose". Tarian angsa yang dibawakan ketiga penari ini, tampak cantik dengan gerakan-gerakan meliuk indah bagaimakan angsa putih yang sedang berjalan. Indah, gemulai, tetapi juga menantang karena permindahan gerak dari gemulai kepada gerakan mengentak, sangat terasa.
Di tengah pertunjukkan itulah, lagu "Bengawan Solo" dikumandangkan dan mengundang decak kagum para penonton. Beberapa pertunjukkan lain seperti "Fu Chen Show", "Show of Qin, Calligrapgy. Chinese Painting and Chinese Tradisonal Dressing" juga tidak kalah memukau. Penonton disuguhi suatu rangkaian kebiasaan (tradisi) masyarakat Cina berupa adegan melukis (Chinese Painting), tarian, dan tradisi minum teh yang unik. Penonton pun seakan-akan dibawa ke sebuah sisi kecil dari kehidupan masyarakat Cina yang masih menjunjung tradisi.
Tiga pertunjukkan terakhir lainnya adalah "Majestic" (Sword, Spear, and Stick Show), sebuah perpaduan permainan antara pedang dan tongkat yang tentu saja sangat memerlukan kehalian tersendiri dalam memainkannya. Berikut dilanjutkan dengan "Playing with Water" (Dance for three, Dai Nationality), dan Lion Dance yang menutup keseluruhan acara.
Pertunjukkan ini, menurut Ketua Badan Koordinasi Pendidikan Bahasa Mandarin Jawa Barat, Ir. Yudhi Irawan Leonard, merupakan rangkaian kegiatan tur keliling Confucius Institute ke daerah-daerah yang ada perwakilan confucius di daerah tersebut. Bandung atau Jawa Barat termasuk satu di antara 6 (enam) daerah yang mempunyai pusat studi bahasa Mandarin yakni di Universitas Kristen Maranatha Bandung. "Oleh karena itu, tim ini mempergelarkan pertunjukkannya di sini," demikian Yudhi.
Dikatakan Yudhi, Confucius Institute adalah sebuah lembaga yang sengaja dibentuk pemerintah Cina (Tiongkok) di bidang bahasa. Tidak jauh berbeda dengan lembaga semacam Goethe Institute, Institute Francis Indonesia (IFI), British Council, dll yang sebelumnya telah ada di Indonesia.
Confucius Institute juga menyebar di berbagai negara untuk memfasilitasi masyarakat di negara-negara tersebut yang ingin belajar bahasa Mandarin. Salah satunya adalah di Indonesia bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Kristen Maranatha (Bandung), Universitas Al Azhar (Jakarta), Universitas Negeri Surabaya (UNS), Universitas Negeri Malang (UNM), dan Universitas Tanjungpura Pontianak.
Bidang yang dapat dipelajari di Confucius Institute tidak hanya bahasa tetapi juga budaya, seni, makanan (kuliner), pakaian, dan adat tradisinya. Confucius tidak menyebarkan agama atau kepercayaan, tetapi lebih pada silang budaya melalui perantara nahasa.
"Jadi, melalui pertunjukkan ini kami ingin memperlihatkan apa saja yang dapat mereka pelajari dari Cina, tetapi sama sekali tidak menyebarkan paham atau isme karena ini lebih pada seni, budaya, dan bahasa," demikian Yudhi.
Sementara itu budayawan Tionghoa yang juga Wakil Rektor III Bidang Kerjasama dan Kemahasiswaan Universitas Kristen Maranatha Gai Suhardja, PhD menilai, dengan adanya pertukaran bahasa dan budaya seperti ini akan tersambnung kembali keinginan masyarakat yang sudah lama ingin mengetahui dan mengkaji kebudayaan Tionghoa.
Di kampus, kata Gai, semaki membuka peluang-peluang pengkajian termasuk memperbanyak dosen untuk bidang kajian bahasa dan budaya tersebut. Sebagai selain bahasa, senirupa chinese painting dan kaligrafi Cina juga menarik untuk dipelajari. Bahkan bila dikaji lebih jauh, kata Gai, bahasa, seni, dan budaya Tionghoa di Indonesia sudah berbeda dengan dari negara asalnya sendiri. Sudah terjadi percampuran budaya (akulturasi) antara seni budaya Indonesia dengan Cina sehingga menjadi suatu seni budaya baru yang tetap mempunyai citara keduanya.
Disampaikan seniman kaligrafi Tionghoa Tjutju Widjaja yang juga hadir mengatakan, dengan menyaksikan langsung bagaimana seni budaya dari negara asalnya, dapat diperbandingkan dengan yang berkembang di Indonesia.
Untuk memperlihatkan akulturasi itu, panggung ini juga memberikan sesi pertunjukkannya dengan mengajak perwakilan penonton naik ke atas panggung untuk belajar memainkan kipas. Tarian kipas menjadi salah satu tarian lain yang dibawakan pada gelaran tersebut. (A-148/A-147)***
TIGA penari membawakan tarian angsa.*
BANDUNG, (PRLM) kalau lagu "Bengawan Solo" karya Gesang dibawakan oleh orang Cina di atas panggung pertunjukkan? Pasti Anda akan membayangkan nada dan vokal suara yang aneh di pendengaran. Sebaliknya, tidak. Perkiraan itu kali ini meleset.
Tim "Confucius Institue Performance Tour" yang tampil di Gedung Balai Sartika begitu memukau pengunjung. Tim dengan "hosted" dari Hanban (Confucius Institute Headquarters) dan "co hosted" Hubei University dan Maranatha Cristian University Cinfucius Institue ini tampil begitu prima. Bukan hanya membawakan berbagai atraksi kesenian yang sengaja dibawa dari Negeri Tirai Bambu tetapi juga dengan salah seorang vokalisnya tampil dengan apik membawakan lagu "Bengawan Solo" karya Gesang. Kontan, tempat duduk yang terisi penuh memberi apresiasi.
Panggung pertukaran budaya Cina-Indonesia ini dibuka dengan tarian khas yang sangat kental dengan tradisi Cina yakni "Dragon Dance" atau di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Tarian Liong. Berbeda dengan Tarian Liong di Indonesia yang kerap menggunakan naga merah bersisik emas, pada pertunjukkan ini, warna naganya biru muda dengan sisik emas. Dibawakan dengan sangat atraktif, antara gerakan memuatar naga dengan tarian.
Suguhan berikutnya adalah "Tai Chi Fan", sebuah tarian yang memadukan antara seni olahraga "Tai Chi" dengan gerakan gemulai tetai kuat. Sebuah paduan yang indah sekaligus juga berenergi.
Tarian berikutnya yang tidak kalah memukau adalah "Swan Goose". Tarian angsa yang dibawakan ketiga penari ini, tampak cantik dengan gerakan-gerakan meliuk indah bagaimakan angsa putih yang sedang berjalan. Indah, gemulai, tetapi juga menantang karena permindahan gerak dari gemulai kepada gerakan mengentak, sangat terasa.
Di tengah pertunjukkan itulah, lagu "Bengawan Solo" dikumandangkan dan mengundang decak kagum para penonton. Beberapa pertunjukkan lain seperti "Fu Chen Show", "Show of Qin, Calligrapgy. Chinese Painting and Chinese Tradisonal Dressing" juga tidak kalah memukau. Penonton disuguhi suatu rangkaian kebiasaan (tradisi) masyarakat Cina berupa adegan melukis (Chinese Painting), tarian, dan tradisi minum teh yang unik. Penonton pun seakan-akan dibawa ke sebuah sisi kecil dari kehidupan masyarakat Cina yang masih menjunjung tradisi.
Tiga pertunjukkan terakhir lainnya adalah "Majestic" (Sword, Spear, and Stick Show), sebuah perpaduan permainan antara pedang dan tongkat yang tentu saja sangat memerlukan kehalian tersendiri dalam memainkannya. Berikut dilanjutkan dengan "Playing with Water" (Dance for three, Dai Nationality), dan Lion Dance yang menutup keseluruhan acara.
Pertunjukkan ini, menurut Ketua Badan Koordinasi Pendidikan Bahasa Mandarin Jawa Barat, Ir. Yudhi Irawan Leonard, merupakan rangkaian kegiatan tur keliling Confucius Institute ke daerah-daerah yang ada perwakilan confucius di daerah tersebut. Bandung atau Jawa Barat termasuk satu di antara 6 (enam) daerah yang mempunyai pusat studi bahasa Mandarin yakni di Universitas Kristen Maranatha Bandung. "Oleh karena itu, tim ini mempergelarkan pertunjukkannya di sini," demikian Yudhi.
Dikatakan Yudhi, Confucius Institute adalah sebuah lembaga yang sengaja dibentuk pemerintah Cina (Tiongkok) di bidang bahasa. Tidak jauh berbeda dengan lembaga semacam Goethe Institute, Institute Francis Indonesia (IFI), British Council, dll yang sebelumnya telah ada di Indonesia.
Confucius Institute juga menyebar di berbagai negara untuk memfasilitasi masyarakat di negara-negara tersebut yang ingin belajar bahasa Mandarin. Salah satunya adalah di Indonesia bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Kristen Maranatha (Bandung), Universitas Al Azhar (Jakarta), Universitas Negeri Surabaya (UNS), Universitas Negeri Malang (UNM), dan Universitas Tanjungpura Pontianak.
Bidang yang dapat dipelajari di Confucius Institute tidak hanya bahasa tetapi juga budaya, seni, makanan (kuliner), pakaian, dan adat tradisinya. Confucius tidak menyebarkan agama atau kepercayaan, tetapi lebih pada silang budaya melalui perantara nahasa.
"Jadi, melalui pertunjukkan ini kami ingin memperlihatkan apa saja yang dapat mereka pelajari dari Cina, tetapi sama sekali tidak menyebarkan paham atau isme karena ini lebih pada seni, budaya, dan bahasa," demikian Yudhi.
Sementara itu budayawan Tionghoa yang juga Wakil Rektor III Bidang Kerjasama dan Kemahasiswaan Universitas Kristen Maranatha Gai Suhardja, PhD menilai, dengan adanya pertukaran bahasa dan budaya seperti ini akan tersambnung kembali keinginan masyarakat yang sudah lama ingin mengetahui dan mengkaji kebudayaan Tionghoa.
Di kampus, kata Gai, semaki membuka peluang-peluang pengkajian termasuk memperbanyak dosen untuk bidang kajian bahasa dan budaya tersebut. Sebagai selain bahasa, senirupa chinese painting dan kaligrafi Cina juga menarik untuk dipelajari. Bahkan bila dikaji lebih jauh, kata Gai, bahasa, seni, dan budaya Tionghoa di Indonesia sudah berbeda dengan dari negara asalnya sendiri. Sudah terjadi percampuran budaya (akulturasi) antara seni budaya Indonesia dengan Cina sehingga menjadi suatu seni budaya baru yang tetap mempunyai citara keduanya.
Disampaikan seniman kaligrafi Tionghoa Tjutju Widjaja yang juga hadir mengatakan, dengan menyaksikan langsung bagaimana seni budaya dari negara asalnya, dapat diperbandingkan dengan yang berkembang di Indonesia.
Untuk memperlihatkan akulturasi itu, panggung ini juga memberikan sesi pertunjukkannya dengan mengajak perwakilan penonton naik ke atas panggung untuk belajar memainkan kipas. Tarian kipas menjadi salah satu tarian lain yang dibawakan pada gelaran tersebut. (A-148/A-147)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar