Dalam kegiatan “Pintu Terbuka Tahun 1984”, yang
diselenggarakan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, muncul sebuah
pertanyaan dari salah seorang pengunjung, “Apa dan bagaimanakah wujud bahasa
Indonesia yang baik dan benar itu?”
Dalam kesempatan itu kami mencoba menjawab pertanyaan
tersebut seadanya dalam arti hanya sebagian kecil wujud bahasa Indonesia yang
baik dan benar yang dikemukakan karena, memang, kesempatan itu amat terbatas.
Karena terdorong oleh pertanyaan tersebut, kami berusaha menghimpun berbagai
pendapta para ahli bahasa Indonesia dan mencari contoh-contoh pemakaian bahasa
Indonesia dalam kenyataan sehari-hari.
2.1 Bahasa yang
Baik
Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yangn
digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan yang berlaku. Misalnya, dalam
situasi santai dan akrab, seperti di warung kopi, di pasar, di tempat arisan,
dan di lapangan sepak bola hendaklah digunakan bahasa Indonesia yang santai dan
akrab yang tidak terlalu terikat oleh patokan. Dalam situasi resmi dan formal,
seperti dalam kuliah, dalam seminar, dalam sidang DPR, dan dalam pidato kenegaraan hendaklah digunakan
bahasa Indonesia yang resmi dan formal, yang selalu memperhatikan norma bahasa.
2.2 Bahasa yang Benar
Bahasa Indonesia
yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan norma
kemasyarakatan yang berlaku dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang
berlaku.
Jika bahasa diibaratkan
pakaian, kita akan menggunakan pakaian renang pada saat akan berenang di kolam
renang sambil membimbing dan mengajari anak-anak berenang. Akan tetapi, tentu
kita akan mengenakan pakaian yang disetrika rapi, sepatu yang mengkilat dan
seorang laki-laki mungkin akan menambah dasi yang bagus pada saat ia menghadiri
suatu pertemuan resmi, pada saat menghadiri pesta perkawinan rekan sejawat,
atau pada waktu menghadiri sidang DPR. Tetapi, akan sangat ganjil jika pakaian,
sepatu, dan dasi itu kita gunakan untuk berenang. Demikian juga, kita akan
dinilai sebagai orang yang kurang adab jika menghadiri acara dengar pendapat di
DPR dengan pakaian renang karena di sana ada ketentuan yang sudah disepakati
bahwa siapa pun yang akan menghadiri acara resmi di DPR harus berpakaian rapi.
Barangkali, kita masih ingat kasus seorang pengusaha sukses, yang oleh petugas
protokol ditolak menghadiri acara dengar pendapat di DPR karena pengusaha yang “nyentrik”
inti tidak menggunakan pakaian yang rapi.
Kalau contoh itu
dianalogikan dengan pamakaian bahasa, betapa ganjilnya percakapan seorang suami
dengan istrinya jika berlangsung seperti berikut.
Suami : “Bu, bolehkan Bapak bertanya, apakah Ibu sudah
menyiapkan hidangan untuk makan siang hari ini?”
Istri : “Ya tentu saja. Saya sudah masak nasi lengkap
dengan sayur kesenangan Bapak, dan sekarang silakan Bapak menikmati hidangan
itu. Silakan Bapak menikmati hidangan yang sudah disiapkan”.
Suami :
“Mari Bapak cicipi makanan ini. Oh,
menurut hemat Bapak, seandainya Ibu menambahkan garam sedikit lagi ke dalam sayur
ini, pasti sayur tersebut akan lebih lezat”.
Istri : “Mudah-mudahan pada kesempatan lain Ibu dapat
membuat sayur lebih enak sesuai dengan saran Bapak.”
Lucu sekali
ilustrasi itu, bukan?
Sebaiknya,
bagaimana pendapat Anda jika seorang mahasiswa (pembicara) bertanya kepada
dosennya (pendengar) tentang materi kuliah yang diberikan dosen (objek), pada
saat kuliah berlangsung (waktu), di kampus (tempat), dalam situasi
belajar-mengajar (resmi), sebagai berikut. “Maaf Mas, gua kepengan
usul, coba jelasin dulu dong garis besar kuliah kita, apakah
sudah sesuai kurikulum universitas kita?”
Kedua contoh
rekaan itu dapat dikatakan tidak tepat. Contoh pertama sangat menggelikan
karena pada situasi santai digunakan bahasa yang resmi sehingga terasa kaku;
contoh kedua juga sangat tidak tepat karena pada situasi formal digunakan
kata-kata dialek dan struktur yang tidak baku (cetak miring) sehingga mirip
percakapan di warung kopi. Kedua contoh itu tidak baik dan tidak benar karena
bahasa yang digunakan tidak sesuai dengan situasi pemakaian, lagi pula tidak sesuai
dengan kaidah bahasa yang berlaku.
Contoh yang lain.
Pemakaian lafal
daerah, seperti lafal bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan Batak dalam berbahasa
Indonesia pada situasi resmi dan formal sebaiknya dikurangi. Kata memuaskan
yang diucapkan (memuasken), kata pendidikan yang dilafalkan (pendidi’an)
bukanlah lafal bahasa Indonesia. Kata toko yang dilafalkan (tokok),
kata yang dilafalkan (katak) juga tidak benar. Kata ditepati
yang dilafalkan (ditépati), kata diteliti yang dilafalkan (ditéliti)
tidak cocok dengan lafal kata bahasa Indonesia ragam resmi.
Demikian juga,
kata benar yang diucapkan (bénar), teman yang diucapkan (téman)
termasuk lafal yang tidak baik. Pemakai bahasa harus berusaha mengurangi
seminimal mungkin (kalau tidak sampai seratus persen) pemakaian lafal bahasa daerah
tersebut ketika ia berbahasa Indonesia pada situasi serius.
Pemakaian lafal
asing sama saja salahnya dengan pemakaian lafal daerah. Ada orang yang sudah
terbiasa mengucapkan logis dan sosiologi menjadi (lohis)
dan (sosiolohi). Ada lagi pemakai bahasa yang mengucapkan kata sukses
dan produk menjadi (sakses) dan (prodak), hati-hati
dilafalkan (ati-ati). Kesemuanya itu merupakan pengucapan yang
perlu dibenahi jika kita sedang berbicara dalam bahasa Indonesia situasi resmi.
Imbuhan di yang seharusnya ditulis serangkai ternyata
masih banyak ditulis terpisah seperti juga di kata depan yang seharusnya
dituliskan terpisah ternyata dituliskan serangkai.
Dalam kalimat
yang tertulis jelas di pinggir jalan: Dana Proyek ini berasal dari dana yang
di himpun dari pajak yang anda bayar terdapat di imbuhan yang seharusnya serangkai, yakni dihimpun.
Sapaan anda seharusnya diawali dengan huruf kapital: Anda.
Penulisan sistim dan persepak bolaan yang sering kita jumpai juga
tidak sesuai dengan kaidah ejaan kita, yang seharusnya sistem dan persepakbolaan.
Pemakaian kata daripada
dalam kalimat Saya tahu persis, daerah ini merupakan daerah basis daripada
PKI merupakan pemakaian yang tidak tepat. Ungkapan basis daripada PKI
yang termasuk ungkapan yang menyatakan milik tidak perlu menggunakan kata daripada.
Dalam ungkapan kemilikan yang lain pun kita tidak perlu mengatakan Pemimpin
daripada PLO, ketua daripada KUD, pintu daripada rumah, dan sepatu
daripada saya. Dalam bahasa Indonesia baku, kata daripada digunakan
dalam konteks perbandingan, seperti Sikap Pemimpin PLO lebih keras daripada
sikap Presiden Mesin dalam menghadapi zionis Israel.
2.4 Pokok-Pokok Bahasa yang Benar
Kaidah yang
mengatur pemakaian bahasa itu meliputi kaidah pembentukan kata, pemilihan kata,
penyusunan kalimat, pembentukan paragraf, penataan penalaran, serta penerapan
ejaan yang disempurnakan.
2.5 Upaya untuk Meningkatkan Keterampilan Bahasa
dengan Baik dan Benar
Sebenarnya,
kesalahan umum pemakaian bahasa Indonesia dalam masyarakat merupakan suatu
gejala yang wajar. Kesalahan umum berbahasa Indonesia timbul dalam masyarakat,
antara lain, karena bahasa Indonesia sedang berkembang. Penggunaan bahasa
Indonesia sedang menuju ke penggunaan bahasa yang standar. Di satu pihak para
pakar bahasa menyarankan pemakaian bahasa yang sesuai dengan kaidah, tetapi di
pihak lain masyarakat masih terbiasa berbahasa dengan mengabaikan kaidah. Akan tetapi,
tidak berarti bahwa sesalahan umum itu harus dibiarkan berlarut-larut. Sudah
saatnya, kesalahan itu kita atasi dengan segera.
Untuk mengatasi
kesalahan itu dengan segera, para pemakai bahasa harus berupaya meningkatkan
keterampilannya dalam memperagakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan aturan yang
berlaku. Anjuran ini mudah diucapkan, tetapi sukar dilaksanakan karena hal itu
semua memerlukan kesadaran dan kemauan para pemakai bahasa Indonesia untuk
memperbaiki diri jika ia membuat kesalahan.
Dalam kaitan
dengan kesadaran dan kemauan itu, Abas (1987: 190) secara halus, sesuai dengan
kata-kata arif orang Parsi, menggolong-golongkan pemakai bahasa menjadi empat
kelompok, sebagai berikut.
1) Golongan yang
tidak tahu bahwa ia tidak tahu.
2) Golongan yang
tahu bahwa ia tidak tahu.
3) Golongan yang
tahu bahwa ia tahu.
4) Golongan yang
tidak tahu bahwa ia tahu.
Penggolongan itu
dapat ditafsirkan seperti berikut. Jika saya termasuk golongan pertama, itu
berarti tidak seorang pun boleh menasihati saya supaya saya menggunakan bahasa
Indonesia dengan benar. Jika saya termasuk golongan kedua, saya akan menerima
nasihat dari siapa pun tentang penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Jika
saya termasuk golongan ketiga, saya akan merasa puas dengan pengetahuan yang
sudah saya miliki tentang pemakaian bahasa yang benar. Jika saya termasuk
golongan keempat, saya akan selalu mencari dan bertanya tentang kaidah
pemakaian bahasa yang benar karena pengetahuan yang sudah saya miliki terasa
masih belum cukup.
Sumber:
Buku 1001
Kesalahan Berbahasa (Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia)
Penyusun: E.
Zaenal Arifin dan Farid Hadi
Penerbit
Akademika Pressiondo, Jakarta 1991
Tidak ada komentar:
Posting Komentar