Senin, 01 April 2013

Di Balik Surga Wisata Raja Ampat, Warga Tersisih

Penulis : Irene Sarwindaningrum | Minggu, 31 Maret 2013 | 23:06 WIB

 
KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM
Ananias Mangindal dan keluarganya di rumah mereka di Desa Wawiyai di Teluk Kabui, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, Kamis (14/3/2013). Warga Desa Wawiyai belum merasa turisme belum menyejahterakan. Mereka justru merasa dirugikan dengan pencurian makam kuno leluhur mereka. 


KOMPAS.com — Kemiskinan membingkai keindahan alam Raja Ampat. Primadona wisata di Indonesia Timur itu baru menjadi surga bagi turis, tapi belum bagi banyak warganya. Turisme bahkan menghadirkan masalah baru, yaitu penjarahan makam kuno leluhur mereka.

Kemiskinan Desa Wawiyai di Teluk Kabui, Raja Ampat, memantul di air lautnya yang tenang dan bening. Gubuk-gubuk panggung dari papan seadanya berdesakan memanjang di sekitar dermaga. "Kitorang trada rasa hidup di surga," kata Ananias Marindal, salah satu warga tertua di Wawiyai, Kamis (14/3/2013), memberi gambaran kehidupan sehari-hari di desa itu.

Kemiskinan warga Wawiyai yang seluruhnya berjumlah sekitar 200 orang, terlihat dari kehidupan sehari-hari di desa itu. Tak ada barang mewah di sana. Televisi pun belum dimiliki seluruh warga.

Ananias dulunya nelayan. Kini, seperti banyak warga Wawiyai lain, ia lebih banyak berburu burung kakatua putih berjambul kuning (Cacatua alba) yang dalam bahasa setempat disebut yakob. Yakob hidup dijual pada pengepul dari Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat. Seekor burung dihargai Rp 150.000.

Ananias mengaku, menangkap rata-rata lima kakatua setiap bulan. Ia berburu dengan dua yakob peliharaannya. Dua yakob itu bertugas sebagai umpan untuk menarik kakatua liar. Dua satwa itu tentu bisa bicara bahasa burung. "Kalau teman dia sudah datang, torang jerat memakai tali," kata Ananias, menerangkan caranya berburu.

Pekerjaan memburu kakatua menjadi pilihan, karena lebih menguntungkan dan lebih mudah daripada melaut. Apalagi, solar yang menjadi bahan bakar melaut sulit diperoleh di Wawiyai. Meski begitu, Ananias belum sejahtera. Uang yang ia peroleh habis hanya untuk makan sehari-hari.

Dalam usianya yang begitu renta, sekitar 75-an tahun, Ananias masih harus menghidupi 10 orang terdiri atas anak, menantu, dan cucunya. Mereka tinggal di rumah papan yang nyaris tanpa perabotan. Satu set meja kursi terlihat begitu lusuh dan tua.

Kemiskinan di Desa Wawiyai itu begitu kontras dengan kemewahan perahu-perahu pesiar yang kerap bersandar di batas luar Teluk Kabui. Di perahu-perahu itu, listrik menyala terang-benderang 24 jam. Sementara di Wawiyai, listrik yang ditenagai genset dan sel surya hanya menyala beberapa jam dalam sehari. Perahu-perahu bak hotel bintang lima yang umumnya dimiliki orang asing itu, juga berkelimpahan dengan bahan bakar minyak yang saat ini begitu sulit diperoleh di Wawiyai.

Wawiyai tersembunyi di balik barisan puluhan bukit kapur (karst) yang mencuat dari lautan Teluk Kabui. Barisan tebing raksasa itu tak hanya membentengi desa kecil itu dari ombak lautan lepas, tapi juga memberi pemandangan menakjubkan lengkap dengan gua-gua lautnya. Karena keeksotisan alamnya, Teluk Kabui menjadi salah satu tujuan wisata di Raja Ampat. Namun, turisme belum menghadirkan kesejahteraan di Wawiyai.
Sebagian besar pelancong hanya melintas dan jarang mampir. Hal ini bisa dipahami karena di Wawiyai tak ada fasilitas wisata yang dapat menarik turis.

Penjarahan makam kuno
Tak hanya itu, warga Wawiyai juga mengeluh pencurian makam kuno sejak terbukanya pariwisata ke Teluk Kabui. Salah satu dari tiga kepala adat di Wawiyai, Gerson Marindal, memperkirakan ratusan barang hilang dari makam kuno mereka. Barang-barang yang hilang meliputi tengkorak dan bekal kubur berupa patung kayu dan piring keramik.

"Torang trada tahu pasti berapa jumlah hilang. Dulu banyak tengkorak di sana, sekarang tertinggal satu dua," kata lelaki sekitar 70-an tahun itu, kepada rombongan wartawan yang datang ke Raja Ampat bersama PT Pelindo II atau International Port Corporation.

Pemakaman tanpa dikubur merupakan tradisi masa lalu banyak desa yang dihuni suku asli di Raja Ampat. Jenazah diletakkan di ceruk-ceruk tebing kapur di perairan sekitar desa. Meskipun tak lagi dilakukan, warga masih menganggap sakral makam-makam kuno itu dan membersihkannya secara rutin pada hari-hari tertentu.

Kehilangan itu pernah diadukan ke pemerintah setempat, tetapi tak ada tanggapan memuaskan. Permintaan bantuan untuk membangun pos penjagaan atau kapal cepat (speedboat) untuk patroli pun tak dipenuhi. Alasan yang diterima adalah desa mereka tak termasuk kawasan wisata.

Padahal, pada bulan Desember-Agustus, setidaknya dua kapal cepat yang mengangkut turis masuk ke wilayah adat perairan mereka. Speedboat mereka butuhkan karena selama ini perahu-perahu nelayan mereka yang bermesin 15 dan 40 PK tak mampu mengejar speedboat para turis.

Tokoh pemuda Raja Ampat, Abraham Goran Gaman (43), mengatakan, penjarahan makam kuno terjadi sejumlah desa di Raja Ampat di Misole, Teluk Maya Libit, dan Teluk Kabui. Diperkirakan terdapat 10 makam kuno di Raja Ampat berusia sekitar 300 tahun.

Hal ini sangat merugikan warga Raja Ampat. Tak hanya kehilangan akar budaya, penjarahan makam kuno juga mengurangi daya tarik wisatawan yang berdampak pada kerugian ekonomi. "Sejak makam kuno di Aikor di Teluk Maya Libit, kunjungan turis ke sana turun drastis," katanya.

Tak hanya penjarahan. Warga juga kesal karena banyak turis tak mengindahkan batas-batas adat desa. Sebagian besar dari mereka masuk ke perairan adat Wawiyai tanpa izin. Padahal, beberapa tempat dianggap sakral dan butuh tata perilaku tertentu saat memasukinya.

Batas adat ini disepakati secara turun-temurun bersama desa-desa tetangga. Kawasan adat Wawiyai meliputi Teluk Kabui itu meliputi pantai di desa hingga sekitar 4,5 kilometer dari permukiman warga. Di darat, kawasan adat Wawiyai termasuk hutan di sekitar desa yang dibelah sungai air tawar.

Tersisih
Para pelaku wisata di Raja Ampat sebagian besar adalah orang asing, seperti pemilik hotel dan pengelola jasa penyelaman. Merasa tersisih dari gemerlap wisata di "rumah" mereka sendiri, warga Wawiyai yang pada dasarnya ramah dan terbuka menjadi waspada pada tiap turis yang masuk ke wilayahnya.

Warga juga berusaha memungut kontribusi dengan cara mereka sendiri. Cara yang bagi sebagian orang dinilai tak menyenangkan. "Kami kejar turis, lalu kami mintai uang. Kalau tak diberi, kami tahan kapalnya," kata Pieter Feey (17), salah satu warga Wawiyai.
Seperti yang kami alami sendiri. Warga meminta solar 20 liter dan uang Rp 1,5 juta yang akhirnya berhasil ditawar Rp 500.000.

Pungutan itu untuk mengambil foto situs sakral Telor Raja yang merupakan asal leluhur mereka. Lokasi situs berada di tengah hutan bakau yang terpencil. Ketegangan sempat muncul. Jika permintaan ini ditolak, rombongan wartawan terancam sulit keluar dari lokasi tanpa pemandu melalui sungai yang beralur berbahaya dan dihuni buaya muara.

Wawiyai hanyalah contoh kemiskinan di Raja Ampat. Abraham mengatakan, masih banyak warga di surga wisata itu yang jauh dari sejahtera. "Kawasan ini memang disebut surga untuk para turis, tapi sudahkah masyarakatnya hidup di surga?" ujarnya.

Padahal, kata Abraham, pariwisata Raja Ampat memberi pemasukan besar bagi Pemerintahan Kabupaten Raja Ampat. Sekitar Rp 3 miliar - Rp 4 miliar setahun dari pungutan masuk Raja Ampat saja, yaitu Rp 250.000 bagi wisatawan domestik dan Rp 500.000 bagi turis asing. Sebanyak 50 persen dana dialokasikan untuk program kemasyarakatan.

Namun, menurut Abraham, sejauh ini hasilnya belum terasa nyata. "Mekanisme penyaluran dana masih perlu dirumuskan lagi, agar masyarakat Raja Ampat juga merasakan surganya sendiri," katanya.

Salah satu yang sangat diperlukan adalah pelatihan dan bantuan modal agar masyarakat Raja Ampat tak tersisih dari pariwasata di daerahnya. Warga bisa didorong membuat homestay atau membuat kerajinan untuk cendera mata. Dengan begitu, diharap Raja Ampat benar-benar menjadi surga bagi turis dan warganya sendiri. Kecuali jika kemiskinan memang sengaja dipelihara sebagai bagian dari eksotisme wisata.

Editor :Agus Mulyadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar