Penulis : Tabita Diela |
Rabu, 10 April 2013 | 13:47 WIB
Teknologi-teknologi yang dikenalkan Litbang Permukiman, Balitbang,
Kementerian ini cocok dengan iklim Indonesia, mudah aplikasinya, relatif
murah, dan mampu menjawab kebutuhan rakyat Indonesia.
BANDUNG, KOMPAS.com
- Sudah menjadi rahasia umum, bahwa berbagai rumah adat di seluruh
dunia masing-masing memiliki bentuk dan karakteristik unik untuk
menyesuaikan kondisi alam sekitar. Penyesuaian ini membuatnya lebih
efisien dalam penggunaan energi, mudah pembuatannya, serta lebih kuat
menghadapi iklim setempat.
Demikian dikatakan Kepala Pusat Litbang
Permukiman, Balitbang, Kementerian PU Anita Firmanti di Bandung, Selasa
(9/4/2013). Sayangnya, menurut Anita, masyarakat modern justeru enggan
menggunakan kembali rumah adat.
"Ada satu yang ingin saya sampaikan, sebagai misi pribadi. Kita itu tidak bisa sepenuhnya mengadopsi teknologi dari luar. Kitalah, bangsa Indonesia, yang seharusnya mengerti sebagai negara tropis yang panas dan lembab. Kita yang memahami karakter material, kenapa nenek moyang kita membangun rumah dengan struktur tanpa paku, tanpa sambungan metal tapi kuat, misalnya. Itu kan satu kejeniusan sebenarnya," papar Anita.
Dia mengungkapkan, bahwa kejeniusan lokal semacam ini merupakan salah satu pokok pembelajaran dalam badan yang dikepalainya.
"Di sini, kami mendeskripsikan kejeniusan lokal tadi. Misalnya, mengapa sambungan pasak seperti itu bisa tahan terhadap gempa, itu diuji di sini. Di kantor kita kan ada alat uji gempa. Selain itu, kenapa rumah-rumah itu nyaman, kita juga mendeskripsikan hal tersebut. Kami membuat dan mengembangkan sistem informasi arsitektur tradisional Indonesia," kata Anita.
Menyangkut keengganan masyarakat, Anita mengatakan, bahwa hal ini memang sesuatu yang menjadi satu tantangan besar. Saat ini, orang ingin rumah terlihat besar atau rumah gedong.
Seharusnya, menurut Anita, masyarakat Indonesia belajar dari beberapa bencana yang pernah dialami Indonesia. Sebagai contoh, gempa di Yogyakarta pada 2006. Dengan tulangan bangunan yang tidak cukup, ribuan orang harus tertimpa bangunan dan mengalami cedera, bahkan kematian. Anita bilang, seharusnya penduduk di wilayah rentan gempa mencari bahan yang agak ringan.
"Misalnya di Jepang. 60 sampai 70 persen rumah satu lantai itu menggunakan kayu. Sebagian kayunya dari Indonesia. Kita sendiri malah merasa, ah rumah kayu, temporary, kurang bagus, padahal kendalanya psikologis, dan itu ada di masyarakat," kata Anita.
Selain itu, Anita juga menemukan kecenderungan lain, bahwa orang Indonesia silau dengan apa yang dibawa orang lain. Misalnya, orang Barat mengembangkan kawasan wisata. Tak sedikit masyarakat terkagum-kagum melihat orang asing membangun di Bali.
"Mereka melihat bagusnya konstruksi bangunan dari bambu, kemudian mereka kirim ke Amerika. Setelah itu, baru orang Indonesia kaya yang ingin ikut. Padahal, kami ini di Puskim terus berusaha menekan biayanya supaya bisa terjangkau oleh masyarakat. Nah, ini tantangan lagi, bahwa secara sosial kita juga memang harus didik masyarakat," ucap Anita.
Kenapa nenek moyang kita membangun rumah dengan
struktur tanpa paku, tanpa sambungan metal tapi kuat, misalnya. Itu kan
satu kejeniusan sebenarnya.
-- Anita Firmanti
"Ada satu yang ingin saya sampaikan, sebagai misi pribadi. Kita itu tidak bisa sepenuhnya mengadopsi teknologi dari luar. Kitalah, bangsa Indonesia, yang seharusnya mengerti sebagai negara tropis yang panas dan lembab. Kita yang memahami karakter material, kenapa nenek moyang kita membangun rumah dengan struktur tanpa paku, tanpa sambungan metal tapi kuat, misalnya. Itu kan satu kejeniusan sebenarnya," papar Anita.
Dia mengungkapkan, bahwa kejeniusan lokal semacam ini merupakan salah satu pokok pembelajaran dalam badan yang dikepalainya.
"Di sini, kami mendeskripsikan kejeniusan lokal tadi. Misalnya, mengapa sambungan pasak seperti itu bisa tahan terhadap gempa, itu diuji di sini. Di kantor kita kan ada alat uji gempa. Selain itu, kenapa rumah-rumah itu nyaman, kita juga mendeskripsikan hal tersebut. Kami membuat dan mengembangkan sistem informasi arsitektur tradisional Indonesia," kata Anita.
Menyangkut keengganan masyarakat, Anita mengatakan, bahwa hal ini memang sesuatu yang menjadi satu tantangan besar. Saat ini, orang ingin rumah terlihat besar atau rumah gedong.
Seharusnya, menurut Anita, masyarakat Indonesia belajar dari beberapa bencana yang pernah dialami Indonesia. Sebagai contoh, gempa di Yogyakarta pada 2006. Dengan tulangan bangunan yang tidak cukup, ribuan orang harus tertimpa bangunan dan mengalami cedera, bahkan kematian. Anita bilang, seharusnya penduduk di wilayah rentan gempa mencari bahan yang agak ringan.
"Misalnya di Jepang. 60 sampai 70 persen rumah satu lantai itu menggunakan kayu. Sebagian kayunya dari Indonesia. Kita sendiri malah merasa, ah rumah kayu, temporary, kurang bagus, padahal kendalanya psikologis, dan itu ada di masyarakat," kata Anita.
Selain itu, Anita juga menemukan kecenderungan lain, bahwa orang Indonesia silau dengan apa yang dibawa orang lain. Misalnya, orang Barat mengembangkan kawasan wisata. Tak sedikit masyarakat terkagum-kagum melihat orang asing membangun di Bali.
"Mereka melihat bagusnya konstruksi bangunan dari bambu, kemudian mereka kirim ke Amerika. Setelah itu, baru orang Indonesia kaya yang ingin ikut. Padahal, kami ini di Puskim terus berusaha menekan biayanya supaya bisa terjangkau oleh masyarakat. Nah, ini tantangan lagi, bahwa secara sosial kita juga memang harus didik masyarakat," ucap Anita.
Editor :Latief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar