Sabtu, 27 September 2008

Ciharegem, Cimaung, Harimau yang Menggeram


PATUNG "maung" di Jln. Wastukancana Kota Bandung yang menjadi salah satu simbol binatang asli Jawa Barat.* T. BACHTIAR

Maung, sebutan untuk harimau (Panthera tigris sondaica) di Tatar Sunda. Inilah binatang yang paling magis dan mistis di kawasan ini. Tahun 1960-an di Pameungpeuk-Garut, setiap bulan Maulid, selalu saja ada yang kawenehan, melihat hal yang tak biasanya, melihat tentara berkepala harimau berbaris melintas menuju ke selatan. Dan, siapa pun yang kawenehan-nya, tempat berjalannya tentara harimau itu selalu sama, dibelokkan dari arah Kaumkaler menuju Alun-alun. 


Padahal, dalam kenyataannya, ke arah utara dari belokan itu adalah Ci Palebuh, sungai yang membelah kawasan ini. Konon, itulah tentara yang berubah wujud menjadi harimau yang sedang bergerak menuju Cagar Alam Leuweung Sancang. Di Kecamatan Pameungpeuk, cerita maung tak ada habisnya. Masih pada bulan Maulud, sering ditemukan bekas kuku harimau yang mencakar-cakar dinding. Dan, bila terjadi hujan poyan, hujan gerimis berganti terang, masyarakat di sana selalu memandang ke arah Gunung Nagara. Di sanalah harimau putih berjemur bila hujan gerimis telah reda. Tentu, siapa pun orangnya, tak kuasa melanggar aturan lisan untuk mengucapkan nama binatang ini malam hari, maka banyak padanan kata bila terpaksa harus menceritakan binatang ini. 

Bila ada yang kasurupan, kemasukan roh halus, biasanya diawali dengan ngaharegem, menggeram dengan gaya seperti yang akan menerkam, dengan jari-jemarinya yang kaku seperti akan mencakar.

Masih di tahun 1960-an, kendaraan yang kemalaman di sekitar Gununggelap, jalan antara Cikajang-Pameungpeuk-Garut, sering melihat si belang melintas jalan. Kini, tahun 2008, kawasan itu sudah terang benderang. Hutanhujan tropis telah berganti menjadi kebun sayur. Karpet hijau perkebunan teh, di lereng-lerengnya yang curam, telah berubah menjadi garis-garis pematang tanah yang memotong garis ketinggian, berubah menjadi kebun sayur pula.

Ketika manusia belum serakah lahan seperti saat ini, ketika masyarakat masih menjaga tata lingkungan dengan baik, membiarkan hutan berjalan sesuai fungsi, maka keberadaannya dapat menopang kehidupan seisi hutan dan masyarakat yang ada di luarnya. Air terkendali hadirnya, cur-cor walau di musim kemarau.

**

Di Bandung pun ada nama tempat Ciharegem (e diucapkan seperti menyebut emas) dan Cimaung. Ini menunjukkan di kawasan ini sering terdengar haregem, geraman harimau yang menggetarkan bulu roma. Bila yang hadir hanya haregem-nya, yang terdengar hanya suaranya, kawasan itu dinamai Ciharegem. Sangat mungkin suara itu datang dari harimau dari Gunung Palasari, Gunung Manglayang atau dari Bukit Tunggul. 

Sedangkan di Cimaung, atau Cimacan, maung dan macannya sering turun gunung, jalan-jalan ke sekitar kampung yang pada awalnya kawasan itu memang daerah jelajahnya. Di kawasan itu masyarakat sering menyaksikan hewan jenis kucing besar ini.

Di Ciamis ada nama tempat Sadapaingan. Apakah ini berhubungan juga dengan harimau? Ketika pagi hari di kandang hewan hanya tersisa darah ternak yang berceceran, barulah masyarakat menghubungkan dengan suara tadi malam. Paingan, pantas ada ternak yang hilang tinggal ceceran darah karena tadi malam ada suaranya, suara harimau.

Harimau mampu berenang tanpa henti sejauh 5 km dengan warnanya yang terang. Badannya sedikit lebih besar dari harimau Sumatra. Karena perburuan yang yang tak terbatas, hewan ini mengalami nasib yang tragis. Dijebak dengan berbagai cara, untuk berbagai kepentingan, mulai sebagai tontonan pertunjukan dan pajangan di rumah-rumah, sama jahatnya.

Dalam laporan Thomas Stanford Raffles, seperti tertulis dalam buku "The History of Java", harimau banyak ditangkap untuk kesenangan raja, menjadi tontonan, diadu dengan kerbau. Secara rinci Raffles menguraikan tontonan ini, dan bagaimana agar kerbau dan harimaunya menjadi beringas dan terangsang untuk saling menyerang. Selain diadu dengan kerbau, harimau pun sengaja diadu dengan tahanan yang bersedia untuk diadu, dan ada tahanan yang mampu mengalahkan harimau, sehingga tahanan itu dapat pengampunan, direhabilitasi namanya, dan popularitasnya naik. Dalam setiap tontonan ini harimau mati mengenaskan demi memuaskan raja-raja saat itu. 

Ketika ada anjuran agar setiap provinsi, kota dan kabupaten mempunyai tumbuhan dan hewan yang menjadi simbol daerah, Jawa Barat agak kebingungan untuk menentukannya, terutama setelah badak menjadi hewan dari Provinsi Banten. Akhirnya macan tutul (Panthera pardus sondaicus) menjadi pilihan, karena Panthera tigris sondaica sudah musnah.

Penetapan hewan ini sesungguhnya mempunyai konsekuensi yang serius, bagaimana agar macan tutul tetap adanya. Salah satu caranya adalah menjaga hutan tetap menjadi hutan alam yang cukup untuk hidupnya. Salah satu tempat di Cekungan Bandung yang menjadi habitat macan tutul adalah Gunung Patuha. Oleh karena itu, keutuhan hutan hujan tropis di Gunung Patuha yang terus menipis terseret hutan produksi dan kebun sayur, perlu secara sungguh-sungguh dipertahankan keberadaannya. 

Usaha ini untuk menjaga fungsi ekologisnya, mengatur dan menjaga pasokan air ke dalam bumi, dan sebagai rumah berbagai tumbuhan dan binatang khas Jawa Barat yang masih tersisa. 

Alih fungsi hutan mempunyai andil yang sangat besar dalam memusnahkan maung lodaya (Panthera tigris sondaicus), dan mendesak habitat macan tutul yang saat ini jumlahnya terus berkurang, sehingga menjadi sangat langka dan terancam punah. 

Macan tutul termasuk keluarga felidae. Panjang tubuh hewan karnivora ini antara 1-2 meter dengan berat badan 30-70 kg. Corak bulunya yang kuning mendekati jingga dengan bintik-bintik hitam berpola rossete (kotak) di hampir seluruh bagian tubuhnya merupakan ciri khas yang menonjol dari kucing besar ini.

Macan tutul dapat kawin sepanjang tahun, sehingga dalam setahun dapat melahirkan 2-3 ekor anak. Namun sayang, tingkat kematiannya juga tinggi. Habitatnya perlu dijaga karena penghuni hutan lainnya dapat menjadi sumber makanannya, seperti monyet, kera, rusa, dan mamalia lain. 

Cara berburunya sangat efektif, diawali dengan bersembunyi di semak-semak sebelum mangsanya datang. Binatang buruannya itu disergap dengan cara ditekuk (digigit bagian lehernya dari belakang), sampai mangsanya lumpuh lalu dimakan di atas pohon.

Menjaga keberadaan macan tutul dan binatang lainnya adalah dengan cara menjaga hutan hujan tropis tempat hidupnya. Tanpa usaha itu, macan tutul sebagai simbol fauna Jawa Barat tak akan mempunyai arti apa-apa, sekadar dikenang sebagai nama tempat, Ciharegem, Cimacan, atau Cimaung. (T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar