Kamis, 11 September 2008

Ruang Terbuka Hijau di Kota Bandung Masih Minim

Adakah Tempat Bermain yang Aman?

 

SEJUMLAH anak "ngabuburit" main perosotan di Monumen Perjuangan Jln. Dipati Ukur Kota Bandung, Selasa (2/9). Kurangnya sarana bermain anak-anak di perkotaan, kerap kali membuat anak bermain di sembarang tempat yang dapat membahayakan keselamatannya.* KRISHNA AHADIYAT

Berbicara mengenai tempat rekreasi anak-anak yang aman di Kota Bandung memang tidak lepas dari keterbatasan lahan yang ada. Wisata kuda tunggang sewaan di sekitar Jln. Tamansari dan Jln. Ganeca bukanlah satu-satunya ruang publik yang dianggap kurang aman bagi anak-anak. Objek serupa di Taman Lansia (dekat Gedung Sate) juga bisa dibilang kurang aman karena berada di jalan umum.


Menurut Agustinus Pohan, aktivis di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jabar, kondisi serupa juga bisa dilihat di beberapa taman kota lain. Anak-anak harus berebut lahan dengan PKL atau orang dewasa yang lain untuk bermain. "Taman kota seperti di Cilaki tidak kondusif untuk bermain anak, karena faktor keamanan tidak diperhitungkan. Anak bisa saja tergelincir ke selokan, atau tersangkut kawat-kawat pagar, karena tempat itu memang tidak didesain sebagai ruang bermain anak," kata Pohan.

Taman Lalu Lintas yang dibangun sebagai ruang bermain anak, menurut Pohan, kondisinya juga tidak terpelihara dengan baik. "Di samping kondisinya secara fisik tidak terawat, di sana juga tidak ada program yang jelas untuk anak-anak. Anak-anak bisa datang ke sana dan bermain, lalu selanjutnya apa? Ini menunjukkan tidak ada konsep tentang pengelolaan taman bermain anak," ujarnya. 

Penyediaan ruang terbuka sebagai ruang bermain anak adalah tanggung jawab pemerintah. "Keluarga-keluarga yang tinggal di rumah tipe 21 atau bahkan yang lebih sempit dari itu tentunya tidak memiliki ruang bermain bagi anak mereka di rumah. Apalagi ruang terbuka di permukiman padat semakin sulit, di kompleks perumahan lahan terbuka juga akhirnya dijual untuk kepentingan komersial," tutur Pohan.

Untuk itu, kata Pohan, masyarakat memerlukan ruang publik untuk dijadikan tempat bermain anak-anak mereka. Kenyatannya, ruang publik di Kota Bandung semakin sempit karena tergusur kepentingan lain, seperti pembangunan gedung dll. "Kalaupun masih ada ruang publik, kondisinya tidak representatif untuk anak. Sekarang semuanya hanya tergantung bagaimana komitmen pemerintah untuk menciptakannya," ujar Pohan.

Pohan berharap, penyediaan ruang bermain anak yang representatif tersebut bisa diwujudkan. "Masalah ini jangan dibiarkan dan harus ditanggapi serius," ujarnya.

**

Lain lagi pandangan planolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Hetifah. Menurut dia, tidak adanya ruang publik dengan pengelolaan yang baik atau tidak berfungsinya ruang publik yang ada, akan membawa dampak buruk bagi masyarakat.

"Tidak tersedianya tempat rekreasi secara gratis bisa membuat orang stres, apalagi jika dia diimpit kesulitan ekonomi," ujarnya. 

Selain itu, kata Hetifah, selain prasarana rekreasi, ruang terbuka hijau (RTH) juga diperlukan di suatu kota. "Kurangnya jumlah dan kualitas RTH akan menyebabkan gangguan sesak napas, karena paru-paru kota untuk menyaring polusi udara tidak ada atau ada tapi tidak berfungsi maksimal," katanya.

Hetifah menambahkan, dampak keberadaan ruang publik representatif yang paling penting adalah mengubah kultur masayarakat. "Dulu masyarakat sangat kekeluargaan, gotong royong, toleran, sekarang berubah menjadi individualistis, egois, dan tidak peka terhadap lingkungan. Itu adalah akibat tidak adanya ruang berinteraksi antaranggota masyarakat," ujar Hetifah menandaskan.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertamanan Kota Bandung Yogi Supardjo mengatakan, sebenarnya Kota Bandung masih memiliki RTH, meski luasnya masih terbatas. 

Berdasarkan data yang dimiliki Dinas Pertamanan, luas RTH Bandung sebesar 1.466 ha atau sekitar 8,76% dari seluruh luas wilayah Kota Bandung. Dari luas itu hanya 129,45 ha saja yang berupa taman, yang lainnya berupa kebun bibit, pemakaman, dan potensi RTH lainnya yang berupa lahan kritis. 

Luas RTH tersebut masih jauh dari ideal, yaitu 30% dari luas wilayah Bandung seperti yang diatur dalam UU Tata Ruang No. 26 Tahun 2007, yaitu 20% untuk RTH publik 10% untuk RTH privat. 

Untuk itu, menurut Yogi, pihaknya saat ini memiliki program untuk membeli sepetak tanah di kawasan permukiman padat penduduk untuk dijadikan sebagai RTH. "Kalau memungkinkan ada tanah dengan luas sekitar 250-300 m2 yang bisa dibeli di kawasan padat penduduk, maka akan kami beli untuk ditata menjadi taman, supaya bisa digunakan sebagai sarana rekreasi dan olah raga masyarakat setempat," katanya. 

Langkah tersebut patut dihargai. Kini, seoptimal apa usaha yang dilakukan pihak terkait dalam menyediakan ruang publik untuk tempat bermain anak-anak Kota Bandung.

Cukup Abia menjadi korban, jangan sampai anak-anak lain mengalami nasib serupa akibat keterbatasan dan minimnya pengelolaan ruang bermain anak di Kota Bandung. 

Anak-anak kita memamg membutuhkan serta merindukan ruang bermain yang tidak hanya luas dan lapang tetapi juga aman dan nyaman. (Handri Handriansyah/Dety Yektiningsih)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar