KOMPAS/AGUSTINUS HANDOKO / Kompas Images
Yayat Sudrajat
Yayat Sudrajat
AGUSTINUS HANDOKO
Sebelumnya Yayat Sudrajat tidak pernah membayangkan bahwa hari-hari sulit bersama mata las selama tahun 1992-1997 akan berakhir indah. Kerja keras dan ketekunan, dengan modal Rp 400.000, telah mengantarkan Yayat menjadi salah satu bos perusahaan penyedia suku cadang sepeda motor dari Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Saya memulai usaha dari bengkel logam seluas 4 x 7 meter. Ketika itu saya mengerjakan pesanan pisau dari tetangga,” ujar Yayat membuka pembicaraan.
Seperti halnya pemilik bengkel logam lainnya, Yayat tak canggung mengelas sendiri baja untuk membuat berbagai produk yang dipesan konsumen.
Yayat menggunakan modal awalnya untuk membeli satu mesin pres manual dan sejumlah bahan baku logam. Di bengkel logam miliknya, Yayat terlibat langsung dalam setiap tahap pengerjaan pesanan kendati ada dua pekerja yang membantunya. Bagi Yayat, hanya dengan terlibat langsung dalam pekerjaan, kualitas produk akan terkontrol.
Karena terlibat langsung dalam pengerjaan pesanan, tidak jarang Yayat mengalami kecelakaan kerja, seperti terjepit jari tangannya, tertimpa pipa logam, bahkan tersundut api las.
Ia jugalah yang mencari pesanan, membeli bahan baku, menggambar pola, hingga mengantarkan pesanan agar produk yang dibuat sesuai dengan keinginan pemesan. Semuanya dilakukan karena Yayat ingin produknya sempurna.
Kesempurnaan produk itu pulalah yang membuat bengkel logam milik Yayat dikenal orang sehingga pesanan pun semakin banyak. Bengkel logam milik Yayat makin terkenal ketika dipercaya oleh pabrikan mobil Daihatsu untuk memproduksi pijakan kaki (footstep).
Saat keuntungan dari bengkelnya di Desa Cibatu, Cisaat, terus mengalir, Yayat tidak tergiur menggunakannya untuk melengkapi isi rumah. ”Keuntungan itu sebagian besar saya gunakan untuk menambah modal dan membeli bahan baku. Setelah saya yakin bahan baku cukup untuk satu periode berikutnya, sisa keuntungan baru saya serahkan kepada istri untuk kebutuhan rumah tangga,” ceritanya.
Saking ”pelitnya”, Yayat baru membeli televisi untuk keluarganya setelah dua tahun usaha bengkel logam miliknya itu berjalan.
Pada 1997 Yayat memanfaatkan peluang dengan mengambil program Astra Modal Ventura (AMV) berupa pinjaman dalam bentuk aset sebesar Rp 300 juta. Yayat dan dua pekerjanya kemudian pindah ke Sentra Industri Kecil Sukabumi (Sentris) yang dibangun Astra di Desa Cibatu.
”Setelah pindah ke Sentris, produksi makin baik sehingga pesanan juga semakin banyak. Namun, secara tak terduga krisis moneter menghantam negara kita dan sektor industri kolaps,” kata Yayat yang juga terkena dampak dari krisis moneter 1998 tersebut. Padahal, di Sentris saat itu ada 40 perajin logam yang mengambil program AMV.
Terjerat utang
Ketika krisis moneter menghantam Indonesia, dampaknya terasa sampai di lokasi industri kecil kerajinan logam di Cisaat. ”Waktu itu pesanan dari konsumen berhenti. Padahal, saya harus mencicil utang kepada Astra sebesar Rp 2 juta per bulan. Perkiraan saya mengenai kondisi ekonomi saat itu benar-benar meleset jauh,” ceritanya.
Yayat, seperti halnya para perajin logam lain di Sentris, hampir kehilangan akal untuk keluar dari utang yang membelit mereka.
Pada 1999 Astra melikuidasi aset milik para perajin logam karena kredit mereka telah macet selama satu tahun. Semua aset milik Astra ditarik, tetapi Astra juga mengganti semua biaya yang telah dikeluarkan oleh para perajin selama mengikuti program AMV.
Dari penggantian biaya dari Astra, Yayat mendapatkan dana sebesar Rp 62 juta. Uang itu kemudian langsung ia belikan dua mesin pengepres logam semiotomatis.
”Saya tetap yakin ’jalan’ saya ada dalam usaha logam. Walaupun pernah jatuh, saya tetap yakin bahwa usaha logam masih memiliki peluang,” ujar Yayat.
Keputusan Yayat itu berbeda dengan keputusan banyak perajin lainnya. ”Dari 40 perajin yang semula ada di Sentris, sekarang hanya tinggal 11,” katanya. Sebagian dari para perajin itu menggunakan penggantian biaya dari Astra untuk hidup mereka sehari-hari dan kini bisa dikatakan habis tak berbekas.
Pilihannya ternyata tidak keliru. Pada 2000 industri transportasi massal jalan raya kembali bergeliat. Peningkatan aktivitas ini membuat perusahaan karoseri bus kewalahan menerima pesanan sehingga sebagian suku cadang harus dipesan kepada para perajin logam di Cibatu.
Yayat yang sempat kembali menekuni pembuatan perkakas rumah tangga setelah mendapat penggantian dari Astra kemudian juga terjun dalam pembuatan suku cadang bus tersebut.
Jatuh-bangun
Selama kurun waktu 2000-2004 industri bus amat menjanjikan bagi para perajin logam. Yayat bahkan berani menambah pekerja sampai menjadi 40 orang.
”Saya juga menambah beberapa mesin lagi untuk kebutuhan operasional pabrik,” katanya.
Tidak disangka, badai krisis kembali menerpa sektor usaha pengolahan logam yang digeluti Yayat dengan bendera PT Barkah Jaya Mandiri itu. Pada 2004 industri karoseri bus terpuruk ketika maskapai penerbangan baru tumbuh bak cendawan pada musim hujan dengan tawaran harga tiket yang amat murah.
Pabrik pengolahan logam yang dirintis Yayat kembali oleng. Dalam keterpurukan usaha, ia kemudian memutuskan untuk terjun dalam pembuatan suku cadang sepeda motor. Padahal, ketika itu industri tersebut belum menampakkan prospek yang bagus. Yayat mengerjakan pesanan dari vendor sepeda motor Yamaha.
Pilihan yang diambil Yayat ternyata tidak keliru. Dalam waktu yang relatif singkat industri sepeda motor booming sehingga pesanan suku cadang pun tak surut hingga sekarang.
Kondisi itu ”memaksa” Yayat menambah jumlah pekerja di pabriknya menjadi 120 orang. Omzetnya pun rata-rata hampir mendekati Rp 1 miliar setiap bulan.
Dari jatuh-bangun usaha yang ia rintis itu pula Yayat bisa mengambil pelajaran yang baginya sangat berharga. ”Kalau kita jujur dalam mengerjakan segala sesuatu, usaha kita akan tetap lancar,” ujarnya berfilosofi.
Yayat memang benar, ketidakjujuran itulah yang belakangan ini menjadi masalah besar di Indonesia. Akibatnya, berbagai persoalan yang ada bisa dikatakan tak kunjung teratasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar