Selasa, 23 September 2008

Tak Ada Lagi Kicauan Burung

SURYANA tak lagi menikmati pagi yang dingin di pinggiran Kota Bandung, tepatnya di sekitar Kec. Babakan Ciparay. Lelaki berusia 58 tahun itu mengaku, kondisi Kota Bandung saat ini jauh berbeda dengan yang dirasakannya sewaktu muda. Ia rindu kicauan burung di sekitar rumahnya yang saat ini lenyap seiring dengan pesatnya pembangunan kota. Sebagai pengobat rindu, Suryana memelihara seekor burung pekicau dalam sangkar.

Rupanya, Suryana tak sendirian. Hal serupa dirasakan Firman Hadi (32). Ia yang merupakan peneliti di Center for Remote Sensing ITB itu hampir setiap pagi mengamati burung-burung di sepanjang perjalanannya dari rumah ke kantornya.

"Sepuluh tahun lalu, saya sering melihat ratusan burung punai di sekitar Taman Maluku. Tapi sekarang, paling jumlahnya di bawah sepuluh ekor," kata Firman. Burung punai yang dimaksudnya adalah sejenis merpati liar berwarna hijau. Burung ini cukup eksotik dan unik. Para pengamat burung menyebutnya dengan nama punai penganten (Treron griseicauda).

Firman juga merasakan semakin jarangnya burung betet (Psittacula alexandri) yang semula sangat riuh di sekitar Jln. Ganeca setiap pagi. Beberapa jenis burung lainnya, ia akui, kian hari kian jarang ditemuinya. Iseng-iseng ia mencoba mencari citra satelit Kota Bandung. Ia menemukan dua buah citra satelit dari dua waktu yang berbeda. Pertama, citra satelit Landsat MSS dengan resolusi pixel 80 x 80 m tahun 1976 digunakan sebagai kondisi awal Kota Bandung. Kedua, citra satelit Aster tahun 2003 digunakan sebagai kondisi akhir. 

"Dari dua peta itu, terlihat adanya degradasi vegetasi di Kota Bandung. Pantas saja burung semakin jarang terlihat karena tempat hidupnya juga semakin sempit," kata Firman. Ia mengaku, hingga kini, masih menghitung luas vegetasi yang berubah itu.

**

BURUNG menjadi sesuatu yang langka di kota ini. Padahal, kehadiran burung dalam suatu habitat berkaitan erat dengan faktor-faktor fisik lingkungan seperti air, temperatur, cahaya matahari, serta faktor-faktor biologis lainnya, seperti vegetasi dan satwa liar lainnya. Adanya perubahan lingkungan di Kota Bandung merupakan salah satu penyebab hilangnya berbagai jenis burung.

Ade Rahmat (27), peneliti dari Bird Conservation Society (Bicons), di Kota Bandung, burung-burung menempati habitat yang tersebar dari utara ke selatan. Habitatnya bervariasi, berupa sawah, danau, sungai, taman, taman kota, ataupun permukiman.

Dari situ, perubahan tipe tata guna lahan mengakibatkan perubahan struktur vegetasi sekaligus memengaruhi burung-burung yang hidup di dalamnya. Mulai dari segi keanekaragaman jenis, teritorial, tingkah laku, hingga interaksi sosial antarjenis burung. 

"Burung sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan. Makanya, burung dijadikan salah satu alat biomonitoring lingkungan di berbagai negara, terutama Eropa dan Amerika," kata Ade.

**

Catatan tentang keberadaan burung di Kota Bandung dimulai sejak tahun 1934 ketika Chauvigni de Blot mencatat sebanyak 70 jenis burung di Kota Bandung (Kunto, 1994). 

Beberapa peneliti burung, dalam 10 tahun terakhir, kemudian mencoba melengkapi. Ternyata, sedikitnya terdapat 9 jenis burung disinyalir telah hilang dari muka Kota Bandung. 

Burung-burung itu, kata Ade, merupakan jenis-jenis khas penghuni sungai bersih seperti Enicurus leschenaulti (meninting besar), Motacilla cinerea (kicuit batu), dan Alcedo atthis (raja udang erasia). Selain itu, penghuni pinggiran hutan seperti Ficedula zanthopygia (sikatan emas), Phyloscopus trivirgatus (cikrak daun), dan pemakan madu seperti Aethopyga siparaja (burung madu sepah raja), Anthreptes malaccensis (burung madu kelapa). 

"Bahkan, jenis yang adaptif di permukiman, seperti Corvus macrorhynchus (gagak kampung) dan Tyto alba (serak/koreak) hanya tercatat satu kali kehadirannya dalam 10 tahun terakhir," katanya.

Deri Ramdhani (25), yang meneliti keanekaan burung di Kota Bandung dua tahun lalu, mencatat 50 jenis burung di enam taman kota. Jumlah itu memang jauh lebih banyak dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Namun, sebaran burung-burung itu telah terfragmentasi. Jika diklasifikasikan berdasarkan jenis makanannya, burung pemakan buah mencapai 20,83%, pemakan biji (18,06%), pemakan daging (11,11%), dan pemakan nektar (2,78%). Akan tetapi, ironisnya, kebanyakan dari jenis burung itu justru bergantung pada tempat sampah sebagai sumber makanannya.

Selain itu, sedikitnya 10 jenis burung migran kerap mengunjungi Kota Bandung. Mereka berasal dari Rusia, Jepang, Korea, Thailand, serta dari beberapa wilayah di Indonesia. Tujuh di antara 10 jenis tadi menggunakan vegetasi taman kota sebagai tempat persinggahannya selama di Kota Bandung.

**

Saat ini, burung-burung menyandarkan hidupnya kepada taman kota, tak lagi bisa kepada jalur hijau yang semakin jarang, apalagi kepada lahan pribadi yang banyak berubah menjadi lahan beton. 

Dinas Pertamanan Kota Bandung mencatat, terdapat 510 lokasi taman kota dengan luas mencapai 120 hektare. Jumlah itu, menurut pemerintah, mengalami peningkatan dibandingkan sebelumnya.

Sayangnya, Kota Bandung tak memiliki koridor vegetasi yang menghubungkan satu taman kota dengan taman kota yang lain. 

Kondisi itu diperparah dengan banyaknya pohon yang ditebang. Menurut Kabid Penghijauan Dinas Pertamanan Kota Bandung, Sumitro Rahardjo, jumlah pohon di area publik di Kota Bandung mencapai 1,1 juta batang. Namun, Agustus 2008 saja, telah tercatat 895 batang pohon yang ditebang dan 1.062 batang pohon yang dipangkas. Banyaknya pohon yang tumbang saat musim hujan merupakan salah satu alasannya. 

Sumitro mengakui, upaya penghijauan di Kota Bandung tak semata tanggung jawab pemerintah. Saat lahan publik semakin sempit, ia berharap, warga berpartisipasi merelakan sedikit lahannya untuk ditanami pohon. 

"Hama jamur dan penggerek batang telah menyerang banyak pohon di Kota Bandung, terutama pohon angsana yang mencapai 60% dari seluruh jumlah pohon. Tapi, yang paling parah justru ancaman ’hama kokod’," kata Sumitro. Hama kokod yang dimaksud Sumitro adalah manusia jahil yang sering menodai pohon hingga berujung pada kematian pohon.

Jangankan manusia, ternyata burung pun semakin tak nyaman tinggal di kota ini. (Deni Yudiawan/"PR")

                                                                       ***

Cangkurileung, Simbol Kota yang Terlupakan


SEEKOR burung kutilang (cangkurileung) dipegang Jaja Sumarna (31), seorang pedagang Pasar Burung Sukahaji Kota Bandung, Senin (22/9). Ia mengakui, burung kutilang di Kota Bandung sudah sangat jarang dan sebagian besar kutilang yang ada di Sukahaji berasal dari Solo.* DENI YUDIAWAN/"PR"


BAGI masyarakat Jawa, burung merupakan simbol kesejahteraan bagi pemiliknya. Hal yang sama dianut oleh sejumlah wilayah. Lihat saja, puluhan negara di dunia menggunakan burung sebagai lambang negara mereka, salah satunya Indonesia. Demikian pula dengan Kota Bandung.

Sedari dulu, burung kutilang dijadikan simbol fauna Kota Bandung, berbarengan dengan tanaman patrakomala yang dijadikan simbol floranya. Banyak alasan yang menguatkan kutilang menjadi simbol kota ini. Yang jelas, burung tersebut dinilai telah menjadi bagian dan identik dengan masyarakat Kota Bandung.

Kutilang dalam bahasa Sunda dikenal dengan nama cangkurileung. Kicauan suara kutilang banyak digambarkan sebagai suara yang merdu. Tak heran jika nama cangkurileung ini menjadi sisipan nama populer seorang artis sinden masa lampau, Cicih Cangkurileung. Kutilang juga menjadi salah satu lagu populer anak-anak yang diciptakan Abdullah Totong (A.T.) Mahmud.

Kutilang (Pycnonotus aurigaster) terkenal sebagai burung pekicau. Burung ini, bahkan, berkerabat dekat dengan cucak rawa, burung berkelas yang semakin jarang di alam bebas dan harganya mencapai jutaan rupiah. Sebenarnya, tak tepat jika Kota Bandung mengklaim bahwa burung ini adalah burung khas Kota Bandung. Soalnya, di Jawa dan Bali, kutilang merupakan salah satu jenis yang tersebar paling luas dan umum sampai ketinggian 1.600 mdpl. Burung ini diintroduksi hingga ke Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Di dunia, kutilang juga merupakan jenis yang umum di Cina Selatan dan Asia Tenggara, kecuali di Semenanjung Malaysia.

Burung ini memiliki kebiasaan hidup dalam kelompok yang aktif dan ribut, sering berbaur dengan jenis cucak lain. Lebih menyukai pepohonan terbuka atau habitat bersemak, di pinggir hutan, tumbuhan sekunder, taman, dan pekarangan, bahkan di kota besar seperti halnya Kota Bandung.

Di Kota Bandung, burung ini hidup di taman-taman kota dan pekarangan yang ditumbuhi pepohonan berbiji, sumber makanannya. Burung ini menjadi salah satu jenis yang menjadi favorit pemburu, khususnya di perkotaan. Suaranya yang merdu menjadikan burung ini sering ditangkap untuk dipelihara atau dijual. Coba saja tengok ke Pasar Burung Sukahaji, burung ini sangat umum diperjualbelikan. Sayangnya, kutilang memang tidak termasuk ke dalam burung yang dilindungi. 

"Sebagai identitas Kota Bandung, data tentang penyebaran kutilang di Kota Bandung justru sangat minim. Belum ada penelitian khusus mengenai burung ini," kata Deri Ramdhani (25), peneliti Bicons, sekaligus Koordinator Ekspedisi Kutilang Kota Bandung. Telah dua bulan ini, ia dan timnya melakukan penyisiran di tiap sudut Kota Bandung untuk mencari tahu keberadaan kutilang.

Berdasarkan data sementara yang dikumpulkan, kata Deri, kutilang di Kota Bandung bukan merupakan burung yang kosmopolit layaknya burung gereja. Burung ini tak memiliki daya adaptasi yang cepat terhadap lingkungannya. Dikhawatirkan, perubahan lingkungan yang cepat di Kota Bandung akan semakin membuat hidup kutilang menjadi terpojok.

**

BELUM ada data pasti tentang jumlah kutilang, apakah mengalami penurunan atau tidak. Namun, kebanyakan pengamat burung di Bandung merasakan kicauan burung kutilang ini tak lagi semerdu masa lampau. Habitat yang terfragmentasi juga membuat burung kutilang harus berkompetisi dengan burung jogjog atau cerucuk (Pycnonotus goiavier). Kehidupan kutilang pun semakin terdesak.

Jaja Sumarna (31), seorang pedagang burung di Pasar Burung Sukahaji Kota Bandung merasakan hal yang sama. Dalam beberapa tahun terakhir, ia tak lagi mendapat "pasokan" kutilang dari sekitar Kota Bandung. Saat ini, kata dia, kebanyakan kutilang yang diperjualbelikan di Pasar Sukahaji berasal dari Solo, Jawa Tengah.

"Ada juga sih kutilang dari lokalan Jabar, tapi bukan dari Bandung. Kebanyakan berasal dari sekitar Saguling Kab. Bandung Barat dan Bungbulang Garut selatan," tutur Jaja.

Setahun lalu, Jaja juga mengaku pernah mendapat untung besar dengan adanya "borongan" burung kutilang dari Pemkot Bandung. Burung-burung itu dibeli untuk dilepaskan di sekitar taman kota. Namun, ia tak mengetahui secara persis sejauh mana pertambahan kutilang di sekitar Kota Bandung.

Banyak peneliti percaya bahwa melepasliarkan burung harus menempuh sejumlah tahap adaptasi. Jika tidak, burung yang belum terbiasa liar tak akan mampu beradaptasi dengan lingkungannya hingga berujung kematian.

"Yang paling penting adalah penghijauan kembali kota serta pembentukan koridor kota sebagai tempat hidup burung. Jika vegetasi kota sebagai habitat burung terjaga, burung pun akan terlindungi secara otomatis," ungkap Deri.

Semakin jarangnya pepohonan di Kota Bandung membuat kutilang juga tak betah tinggal di Bandung. Di sisi lain, pohon kiara, kihujan, atau kisabun yang menjadi tempat favorit mereka semakin jarang. Jikalau kutilang tak lagi ditemui di sekitar Bandung, warga kota juga tak dapat seenaknya mengklaim bahwa burung ini masih menjadi simbol kesejahteraan bagi mereka. (Deni Yudiawan/"PR")***

1 komentar: