Sabtu, 20 September 2008

Mengintip Kiprah Etnis Tionghoa di Indonesia

Oleh LILY WIBISONO

Mengumpulkan data ratusan tokoh sampai menjadi buku setebal 560 halaman tentu bukan perkara kerja satu dua hari. Makanya, begitu menghadapi buku Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia ada ekspektasi tak terhindarkan, seperti saat kita membuka kamus, ensiklopedia, atau yang sejenisnya.

Misalnya, penyusunannya pastilah menurut abjad nama. Sayangnya, sistem yang mestinya amat menyederhanakan ini masih juga kurang memudahkan. Bukan salah siapa-siapa, hanya karena ”nasib” yang telanjur menimpa kelompok etnik Tionghoa di negara ini. Seperti kita ketahui, menyusul tragedi Gerakan 30 September 1965, kondisi sosial politik menuntut orang keturunan Tionghoa mengganti nama Tionghoa-nya menjadi nama Indonesia. Dengan sendirinya, ada kelompok yang kini memiliki dua versi nama, ada pula (dari generasi lebih muda) yang tidak memiliki nama Tionghoa.

Oleh karena urutan yang digunakan dalam buku yang disusun oleh Drs Sam Setyautama ini berdasarkan nama Tionghoa, Rudy Hartono mesti dicari di bawah huruf N, sesuai dengan nama masa kecilnya, Nio Hai Liang. Sama halnya kalau Anda ingin mencari data tentang tokoh pengusaha Teddy P Rachmat, silakan mencarinya di bawah huruf O, berdasarkan nama Tionghoanya, Oei Giok Eng. Hanya saja, berapa banyak orang Indonesia masih mengenal Rudy Hartono sebagai Nio Hai Liang? Untunglah telah disediakan indeks di bagian belakang untuk digunakan bila nama yang dicari tak berhasil ditemukan.

Masih berkaitan dengan soal ”nama asli” dan ”nama tak asli” ini sempat muncul komentar menggelitik dari Eddy Lembong, yang bersama Harry Tjan Silalahi dan Mona Lohanda didapuk untuk menjadi pengulas dalam acara peluncuran buku ini, Agustus lalu. Eddy dengan terus terang menggugat penempatan namanya di bawah huruf W. Padahal, bukankah nama aslinya Wang You Shan?

”Seingat saya, hampir selama hidup saya menggunakan nama Eddy,” begitu kata pengusaha besar farmasi itu dengan senyam-senyum. Betapapun ”aslinya”, tampaknya nama Wang You Shan itu kurang memiliki kaitan emosional dengan dirinya.

Bahwa soal pencarian nama ini bisa menjadi rumit rupanya telah diantisipasi oleh penyusun dengan menyediakan tujuh halaman dalam lampiran yang isinya pedoman dan petunjuk di seputar penulisan nama.

Keindonesiaan

Betapapun, membaca lema-lema dalam buku ini rasanya nikmat, senikmat menonton kaleidoskop kehidupan sebuah kelompok manusia Indonesia yang sampai kini masih sering diragukan kadar keindonesiaannya. Coba tengok betapa banyak nama Tionghoa yang mengisahkan kehidupan dengan kadar keindonesiaan yang amat kental, termasuk nama-nama yang barangkali sampai saat ini hanya dikenal secara lokal. Sebut misalnya Oen Boen Ing (hal 280), seorang dokter di Solo, Jateng, yang bergelar Kanjeng Raden Tumenggung. Dokter ”orang miskin” ini praktik mulai pukul 3 dini hari dan dikenal banyak menolong pejuang kemerdekaan semasa revolusi. Ia bahkan memasak obat untuk Jenderal Soedirman yang menderita TBC. Prinsipnya: ”Tugas dokter tidak lain menyembuhkan orang sakit, bayar tidak bayar tergantung pasien”.

Kalau dr Oen Boen Ing mempunyai nama Indonesia, yaitu Obi Darmohusodo, tidak demikian halnya dengan Njoo Han Siang (hal 255). Wartawan yang kemudian menjadi bankir ini punya kepedulian besar pada pendidikan. Kiprahnya tidak berhenti pada Bank Duta, Bank Umum Nasional, The Bankers Club, tapi terus berkembang ke dunia perfilman Indonesia. Patut disayangkan, informasi tentang Njoo Han Siang belum diperbarui dan dilengkapi sehingga belum tercakup di dalamnya penganugerahan secara anumerta Satya Lencana Wirakarya dari Presiden Megawati pada tahun 2004 karena jasa-jasanya untuk kemajuan perfilman nasional (Sinar Harapan, 23 Januari 2007).

Kwee Tek Hoay (1886-1951) (hal 150), yang oleh Leo Suryadinata disebut sebagai novelis, penulis drama, dan filsuf, bisa dikatakan peranakan yang tanpa mengganti nama pun menunjukkan cinta besar kepada Indonesia lewat karya-karyanya. Oleh Pramoedya Ananta Toer, ia mendapat julukan tokoh ”sastra asimilatif”. Nama-nama dari masa lalu disusul oleh nama-nama tokoh dari masa lebih baru, seperti Yap Thiam Hien, kakak-beradik Soe Hok Djien (Arief Budiman) dan Soe Hok Gie, Johanes Surya, Sudhamek Agung Waspodo Sanyoto (pendiri dan CEO Garuda Food) yang ternyata memiliki nama Tionghoa yang amat singkat: Yang Tze, Hendrawan (pebulu tangkis), Angelic Wijaya (petenis), sampai Hendrawan dari keluarga Sie (salah seorang dari empat mahasiswa Trisakti yang meninggal dalam tragedi Trisakti 1998).

Barangkali karena demikian luas cakupan periode waktunya, betapapun banyaknya tokoh yang sudah dimasukkan, bahasan tentang tokoh-tokoh muda masih terasa kurang. Kalau ingin meningkatkan relevansi buku ini dengan kekinian tanpa menambah ketebalan halaman, tokoh-tokoh dari masa sebelum tahun 1900 dapat digantikan dengan tokoh-tokoh masa kini.

Di lain pihak, pencinta sejarah pasti akan membaca dengan penuh minat kisah tentang Ni Hoe Kong (1710-1746) (hal 246) yang bertepatan dengan tragedi pembantaian orang China di Batavia tahun 1740. Sementara itu, kita tak boleh lupa bahwa pengetahuan tentang tokoh-tokoh modern diperlukan untuk menjawab keperluan-keperluan praktis yang mungkin saja berkaitan dengan pekerjaan atau kehidupan kita. Membagi periode penyajian buku menjadi dua bagian, misalnya abad ke-17 hingga ke-19 dan ke-20 hingga ke-21, barangkali dapat menjawab kedua kebutuhan itu, sekaligus menambah kenyamanan bagi para penikmat buku yang membaca hanya karena suka.

Konsistensi

Akhirnya, seperti galibnya sebuah buku kumpulan informasi, ada persyaratan yang biasanya sulit ditawar. Konsistensi, di samping akurasi dan kelengkapan. Setiap lema seyogianya mengikuti pola yang konsisten: misalnya nama Tionghoa, nama Indonesia (bila ada), tahun lahir dan tahun meninggal (bila ada). Penulisan nama pun sebaiknya konsisten, dengan gelar atau tanpa gelar. Bahwa ada beberapa versi penulisan nama marga Tionghoa memang tak dapat dihindari. Nama marga yang dilafalkan ”ui” bisa ditulis Oei, bisa Oey, menurut ejaan Van Ophuijsen yang diberlakukan pada awal abad ke-20. Auwyong (seperti dalam Auwjong Peng Koen yang kemudian berganti nama menjadi PK Ojong, pendiri Kompas Gramedia) juga bisa ditulis sebagai Ewjong (seperti pada Ewjong Tjhoen Moi yang kemudian berganti nama menjadi Myra Sidharta, pengamat budaya peranakan dan sastra Melayu Tionghoa). Perbedaan-perbedaan itu tetap dipertahankan demi menghormati tradisi keluarga si empunya nama. Namun, patut dipertanyakan, mungkinkah nama marga Indonesia dari dua anak-beranak juga menggunakan dua macam ejaan, seperti pada nama Eka Tjipta Widjaja dan nama putranya yang ditulis sebagai Indra Wijaya?

Dari segi kebahasaan, ada kalanya informasi diambil mentah-mentah dari sumbernya tanpa upaya penyamaan ragam bahasa. Penuturan dengan pendekatan sastra pada lema tentang Oei Tamba (atau Tamba Sia, hal 274) terasa cukup mengganggu. Selain tanpa keterangan tentang masa kehidupannya, informasi tentang tokoh ini disajikan dengan ragam bahasa sastra, yang tentunya memberikan nuansa terlalu imajinatif bagi sebuah buku yang bersifat informatif.

Bagaimanapun, inilah hasil jerih payah yang patut diacungi jempol dan patut menjadi titik awal sebuah buku pegangan yang lebih sempurna. Buku ini tetap amat mengasyikkan sebagai bacaan yang memperkaya wawasan. Bunga rampai kisah hidup tokoh-tokoh yang dipaparkan di sini mengingatkan kita kembali bahwa banyak sekali etnis Tionghoa yang bergelut di dunia keagamaan, jurnalistik, keilmuan, keolahragaan, seni, dan kedokteran. Ternyata orang Tionghoa Indonesia tidak cuma bisa berdagang…. (Lily Wibisono Pemimpin Redaksi Majalah Intisari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar