Senin, 22 September 2008

Dari Kota Kembang ke Kota Inovatif


ANAK-ANAK muda di Kota Bandung seharusnya menjadi investasi lewat fasilitas dan kenyamanan agar mereka menjadi generasi yang ramah, produktif, dan kreatif.* HARRY SURJANA/"PR"

Jadi, siapa sih orangnya yang sok sembarang memberi gelar Bandung Kota Kembang? Apakah masih relevan dengan keadaan Kota Bandung sekarang? Kalau dibilang masih relevan, lalu di mana sih kembang-kembang itu?

.
Ungkapan yang dikatakan (Alm) Haryoto Kunto dalam bukunya yang terkenal dan inspiratif "Wajah Bandung Tempo Doeloe", barangkali bisa menjadi bahan pembicaraan kontemplatif. Benarkah Bandung kini sudah tidak nyaman ditinggali? Kalaupun ya, sampai sejauh mana ketidaknyamanan itu menghinggapi Bandung? Lalu, seperti apa konsep Bandung yang nyaman dalam konteks kekinian yang masih bisa diadaptasi?

"Kota yang baik adalah kota yang mampu mengajak warganya ke luar rumah. Syaratnya, harus ada faktor aman dan nyaman. Perhatian harus ditekankan pada penyediaan ruang-ruang publik sebagai obat antistres," kata Ketua Bandung Creative City Forum (BCCF) M. Ridwan Kamil, yang akrab disapa Emil. 

Konsep yang sebenarnya, memang bukan mustahil diterapkan. Sayangnya, Emil menilai sejak kemerdekaan, pembangunan fisik Kota Bandung berkembang tanpa inovasi.

"Berubah tanpa konsep". Begitu Emil menggambarkan. Pelanggaran terjadi di mana-mana. Mulai dari warga miskin, hingga pengembang kaya raya, sama-sama kerap punya hobi melanggar .

"Dari segi arsitektur kota, tidak ada bangunan modern baru yang menjadi kebanggaan kota. Tidak ada gedung konser yang hebat, tidak ada stadion yang keren, tidak ada gedung pertemuan atau ekshibisi yang dibanggakan. Kini, yang dibanggakan rata-rata bangunan peninggalan Belanda," kata pria yang juga menjadi dosen arsitektur ITB ini. 

Untuk itu, kata Emil, Kota Bandung harus mampu berinovasi dalam penyediaan bangunan publik, seperti perpustakaan, galeri, gedung konser, dan semacamnya, serta yang tak kalah penting, mengatasi lalu lintasnya. 

"Pembangunan kota juga harus seimbang antara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kalau hanya mengandalkan ekonomi terus, kota-kota umumnya semrawut dan banyak ditinggalkan warganya untuk pindah ke kota lain," kata Emil.

**

SATU kota dan penduduknya memang seperti suatu hubungan deterministik yang tak terputus. Keduanya saling berpengaruh. Tapi, bagaimana Emil memandang Kota Bandung saat ini?

"Bandung sekarang sudah memiliki gejala-gejala menuju kota yang sakit. Makin panas, kemacetan di akhir pekan yang membuat warganya sudah mulai malas ke luar rumah," ujarnya. 

Dan, ya, hubungan antara lingkungan serta kelahiran generasi baru memang erat. Dalam konteks ini, Emil menjelaskan bahwa kota yang sudah tidak nyaman akan melahirkan generasi baru yang pemarah, pemalas, apatis, dan tidak kreatif. 

"Oleh karena itu, kehadiran ruang publik yang berkualitas menjadi penting, Bandung harus menjadi kota paling Inovatif di Indonesia," ujar Emil.

Lalu, bisakah Bandung diwujudkan seperti yang ada dalam benak Emil? "Bisa!" katanya mantap.

Emil mencontohkan, banyak kota di negara berkembang yang naik kelas ke tingkat dunia, dikarenakan leadership dan visi wali kota dalam membangun kota. Kota Curtibia di Brazil misalnya, yang kini mampu menjadi kota terbaik sedunia. 

"Namun, jika pemimpinnya tidak punya inovasi, kotanya pasti akan jalan di tempat," kata Emil. 

Yang pasti, 2 syarat yang harus diterapkan oleh pemerintah kota adalah harus transparan dan inovatif dalam membangun Bandung. 

Sejajar dengan hal tersebut, Emil mengatakan bahwa pemerintah kota seharusnya bermitra aktif dengan warga Kota Bandung, yang kreatif dan cerdas dalam pembangunan kota, sehingga komunikasi tidak terbangun secara pasif.

"Bandung harus berinvestasi pada anak muda sekitar 60%. Sediakan fasilitas dan kenyamanan yang akan merangsang produktivitas dan interaksi sosial. Kota yang nyaman akan melahirkan generasi yang ramah, produktif, dan kreatif," kata Emil.

Dengan maraknya pembanguna mal dan tempat berbelanja, apakah itu merupakan suatu indikator kemajuan? "Tidak, itu bukan indikator kemajuan," ujarnya.

Mal atau pusat perbelanjaan, kata Emil, juga menyimpan banyak dampak negatif, walaupun hal tersebut juga mampu mendatangkan potensi pariwisata. 

Mari berhitung dampak negatif dari banyaknya mal dan ruang komersial yang dibangun di Bandung. Terlalu banyak pendatang barangkali memang baik secara ekonomi, tetapi jika infrastruktur kota tidak siap, pendatang ini toh akan jadi bumerang bagi kenyaman warga Bandung. 

Untuk membuat warga menghabiskan waktu ke luar rumah, mal atau pusat perbelanjaan bisa jadi mumpuni. "Memang, tidak dapat dipungkiri ruang publik aktif dan didesain dengan baik seperti itu banyak, tetapi kemajuan baru bisa terjadi jika mereka keluar dan menghabiskan waktu dengan lebih positif," kata Emil menjelaskan. 

Baiklah, jika bukan ruang publik komersial seperti itu, lalu seperti apa? "Ruang publik dengan desain terbuka yang rindang karena banyak taman kota, akses internet gratis dengan wifi, ada ruang konser kecil terbuka di setiap taman, ada penerangan yang baik," jawab Emil.

David Sutasurya, Direktur Eksekutif YPBB (Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi), juga menjelaskan pola kemitraan dengan intelektual lokal menjadi hal mutlak yang harus diusahakan pemerintah kota. 

"Saya pikir, intelektual lokal selama ini sudah terabaikan, ide-ide mereka sering tidak dipakai dalam kebijakan, hingga beberapa menjadi putus asa. Padahal, ide-ide mereka sangat bagus, terutama yang pastinya lebih tahu keadaan Bandung sebenarnya," kata David. 

Namun demikian, untuk menciptakan Kota Bandung yang nyaman, David lebih menekankan pentingnya pelestarian lingkungan yang harus dimulai dari satuan individual terkecil. 

"Lebih baik jangan terlalu mengandalkan pemerintah, karena orientasi pembangunan masih berkutat pada seberapa banyak uang berputar, masih mengandalkan pendapatan asli daerah (PAD)," kata David. 

Banyak alternatif cara yang bisa menjadikan Bandung kota terinovatif di Indonesia. Bukan tak mungkin, kan ? Mengacu pada gagasan tersebut, ruang publik yang lebih banyak dibutuhkan adalah tempat yang sebenarnya simpel, seperti ruang keluarga di rumah. Tempat yang selalu membuat rasa rindu mencuat. Rindu mendatangi, layaknya rindu ingin pulang. (Endah Asih/Ag Tri Joko Her Riadi)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar