Sabtu, 13 September 2008

Rumah Gubernur Jabar Bersejarah

Oleh H. ROSIHAN ANWAR

RUMAH jabatan Gubernur Jawa Barat di Jalan Oto Iskandar Dinata, Bandung, bersejarah karena perannya sewaktu kekuasaan kolonial Belanda roboh pada Maret 1942. Di rumah itulah, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkerborgh Stachouwer menginap pada Jumat 6 Maret 1942. Keesokan harinya, lubang perlindungan yang terletak di depan pekarangan kena bom pesawat terbang Jepang. Tetapi paginya, Tjarda meninggalkan rumah yang waktu itu ditempati Residen Priangan Tacoma. Tjarda selamat. Dia pindah ke Villa Mei Ling kepunyaan pedagang beras Tionghoa bernama Kan yang juga anggota Volksraad (Dewan Rakyat) di Dr. De Grootweg (kini Jln. Siliwangi).

Sedianya, Sabtu pagi itu, hendak diadakan rapat pucuk pimpinan Hindia Belanda di rumah jabatan Residen Tacoma. Tetapi rapat batal lantaran jatuhnya bom Jepang. Jepang ketat mengepung Bandung dan mempunyai basis angkatan udara di sana semenjak menduduki lapangan terbang Kalijati. Markas tentara KNIL berada di Villa Isola di bawah pimpinan Mayjen Pesman. Villa ini dibangun D.W. Berreti, pendiri kantor berita Aneta. Berreti tewas dalam kecelakaan pesawat terbang KLM De Uiver di Irak 22 Desember 1934. Uiver ini sedang dalam penerbangan kembali ke Belanda, setelah ikut serta dalam perlombaan udara ke Melbourne, Australia.

Panglima KNIL ialah Letjen Hoin Ter Poorten yang di bulan Februari-Maret 1942 tinggal di rumah di Dacosta Boulevard 28 (kini Jln. Sawunggaling), di pojok dekat De Parkweg (kini Jln. Tamansari). Pada Sabtu, 7 Maret 1942, Mayjen Pesman memutuskan memulai perundingan dengan Jepang. Pertahanan Belanda di Lembang berada di bawah tekanan berat Jepang dan setiap saat bisa ambruk. Pesman mengutus kapten artileri J. Gerharz yang bisa berbahasa Jepang untuk mencari kontak dengan pasukan pelopor Jepang. Orang kedua yang dikirim, Kapten J.D. Thijs yang juga bisa berbahasa Jepang. Thijs tidak berhasil bertemu dengan Jepang, tetapi Gerharz dengan membawa bendera putih dan berjalan kaki di jalan mobil berhasil, setelah memanggil-manggil. Pukul 19.30, dia bertemu dengan pasukan pelopor Jepang di bawah komando Kolonel Shoji.

Inilah kisah yang saya baca dalam buku baru terbit di Negeri Belanda berjudul Kalidjati 8-9 Maart 1942 - De ondergang van sen wereldrij karangan W. Buijze yang lahir di Bandung tahun 1927. Bagaimana terjadinya kapitulasi Letjen Ter Poorten kepada Letjen Imamura di Kalijati telah banyak dipaparkan dalam buku-buku lain seperti Vaarwel Tot Betere Tijden karangan Bijkerk.

Tjarda orang bangsawan

Gubernur Jenderal Jhr. Mr. B.C. de Jonge, seorang jonkheer, artinya dari kaum bangsawan dan jurist, artinya Meestr in de Rechten alias sarjana hukum, pada 1936 digantikan Jhr. Mr. A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, juga jonkheer dan jurist. Dalam diri bangsawan dari Groningen ini sejak kecil ditanamkan bahwa dia berada di atas rakyat biasa yang tidak berdarah biru dan dia harus berperilaku sesuai dengan martabat itu. Tjarda adalah seorang otoriter, bicaranya tidak boleh disanggah, dan pendidikannya sebagai sarjana hukum membuatnya berpikir kaku dan legalistik.

Pada perundingan di Kalijati berhadapan dengan Jenderal Hitoshi Imamura, Tjarda mengatakan bahwa dia bukan Panglima Tertinggi Hindia Belanda, sebab wewenang itu telah diserahkannya kepada orang lain pada 4 Maret sehingga dia hanya mengurus urusan sipil alias burgerlijke zakon. Dia bersikap begitu karena PM Belanda Prof. Gerbrandy yang bermukim di London menginstruksikan kepada Tjarda untuk tidak melakukan kapitulasi. Imamura marah dibuatnya. Tjarda pun praktis diusir dari ruang perundingan. Imamura lalu melanjutkan perundingan dengan Jenderal Ter Poorten yang tidak melihat jalan lain kecuali menyerah sepenuhnya. Maka Ter Poorten yang menandatangani dokumen kapitulasi di depan Jenderal Imamura. Sedangkan tangan si bangsawan Tjarda tetap "bersih", tidak ternoda oleh stigma telah menyerah.

Sekembalinya dari Kalijati, Ter Poorten dan Tjarda berhantam adu mulut, karena Ter Poorten sangat tidak suka dengan kelakuan Tjarda. Ter Poorten tidak mau lagi bersama-sama Tjarda di Villa Mei Ling dan pergi ke rumahnya sendiri. Tanggal 6 April 1942, Tjarda dan kawan-kawan yang tinggal di Villa Mei Ling diangkut ke penjara Sukamiskin, yang dulu menjadi tempat ditahannya Ir. Soekarno pada awal 1930-an. Tanggal 16 April 1942, Ter Poorten dipindahkan ke Jakarta dan bersama dengan Tjarda ditahan di Batalyon X. Tanggal 5 Januari 1943, mereka di Singapura dan ditahan di penjara Changi. Tanggal 10 Januari mereka dibawa dengan kapal laut ke Jepang. 

Setelah satu minggu di Jepang mereka dibawa ke Formosa (Taiwan) dan diinternir di Kerenko. Mereka diberi perintah menggembala kambing di sana. Pada 9 Oktober, kedua orang itu dipindahkan ke Manchuria dan diinternir di Sian, 200 km sebelah utara Kota Mukden, sampai habis perang. Tanggal 17 Agustus 1945 mereka dibebaskan tentara Uni Soviet. Tanggal 1 September 1945, mereka diterbangkan dari Chungking ke Colombo, Srilanka. Tatkala Tjarda tiba di sana, dia ditelefon Dr. Van Mook yang sangat menginginkan agar singgah sebentar di Batavia, tetapi Tjarda menolak. Tanggal 9 September 1945 Tjarda dan Ter Poorten disambut Putri Juliana di Bandara Eindhoven. Tamatlah cerita yang bermula dari rumah jabatan Gubernur Jabar tanggal 6 Maret 1942.***

Penulis, wartawan senior.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar