SEJUMLAH pemulung memilah-milah wadah dan bungkus plastik bekas yang terapung di Sungai Citarum di Kelurahan Baleendah Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung, Sabtu (2/8). Kurangnya kesadaran warga yang membuang sampah ke Sungai Citarum menyebabkan pencemaran di sungai tersebut dan berpotensi mengakibatkan banjir bila hujan turun.* USEP USMAN NASRULLOH
Mintalah kantong plastik atau keresek ke warung atau toko mana pun, Anda akan mendapatkannya dengan mudah tanpa harus membayar sepeser pun. Ketika tidak membutuhkannya lagi, kita juga bisa dengan mudah menyingkirkannya ke tong sampah, tanpa berpikir dia akan berakhir di mana. Padahal, untuk mendekomposisi plastik secara sempurna dibutuhkan waktu sekitar 500 tahun!
Faktanya, sebanyak 500 juta hingga 1 miliar kantong plastik dikonsumsi penduduk di seluruh dunia setiap tahunnya. Artinya, konsumsi plastik mencapai 1 juta/menit. Di kota Bandung, sampah plastik memang hanya mengambil bagian 1,45% dari total 7.500 m3 sampah yang dihasilkan per hari. Namun, jika dibentangkan, sampah plastik warga Bandung dapat menutupi 50 lapangan sepak bola.
Lebih jauh lagi, bahan dasar plastik itu nonrenewable karena diambil dari hasil samping bahan bakar minyak. Dalam proses pembuatannya tidak hemat energi karena melibatkan 2 juta barel minyak/tahun, dan 14 juta pohon yang ditebang.
Jika dibiarkan, sampah plastik yang sulit diuraikan ini akan memenuhi saluran sungai dan menyumbat saluran drainase. Selain itu, sisa makanan yang menempel di tas plastik akan membusuk dan mengundang lalat sehingga menjadi penyakit. Belum lagi terpikir apa dampaknya terhadap kesehatan tanah sebuah negeri.
Fakta ini sudah diketahui sejak lama. Namun, gerakan untuk mengurangi atau bahkan menghentikan penggunaan kantong plastik di beberapa negara termasuk Indonesia, seperti jalan di tempat. Baru negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Cina, dan Australia yang secara tegas melarang penggunaan kantong plastik lewat regulasi. Sisanya, entah menunggu apa.
Salah satu yang mengambil tindakan adalah Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan (HMTL) ITB. Pada Februari lalu, sekumpulan anak muda ini menggelar rangkaian kegiatan bertajuk "Anti Plastic Bag Campaign" atau kampanye antitas plastik selama tiga hari. Project Leader Cinta Azwiendasari mengatakan, ide kampanye berawal dari mimpi sekelompok mahasiswa ITB akan lingkungan yang lebih baik. Maka, dibuatkan acara itu dengan pendekatan "mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang paling kecil, mulai dari sekarang."
"Tujuannya sederhana saja. Kita ingin mengajak orang untuk mengurangi pemakaian kantong plastik. Misalnya, jangan pakai kantong plastik kalau cuma belanja sedikit, atau bawa tas belanja sendiri kalau mau belanja," ungkapnya.
Meski sadar kalau hasil kampanye ini tidak bisa diukur, Cinta yakin banyak orang yang mengubah cara pikirnya tentang kantong plastik pascakampanye. Salah satunya adalah pedagang di Pasar Balubur yang mengurangi penggunaan kantong plastik bagi pelanggannya. Selain itu, 2.000 tas kanvas yang mereka produksi sebagai tas belanja pengganti kantong plastik, terjual habis. Padahal, harga yang ditawarkan cukup tinggi, yaitu Rp 20.000,00.
"Kita tidak memboikot penggunaan plastik secara keseluruhan karena banyak kebutuhan plastik yang memang masih sulit tergantikan. Hanya khusus untuk kantong plastik, kita yakin itu tidak penting dan bisa dikurangi," kata Cinta.
**
Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin mengatakan, penyebab menumpuknya sampah plastik di Kota Bandung akibat ketidakpedulian lebih dari 90% penduduknya terhadap pengelolaan sampah. "Mereka hanya berharap sampah akan diangkut oleh pemerintah kota, dibuang sembarangan, ditimbun ke dalam tanah, atau dibakar," katanya.
Pada akhirnya, nasib sampah kian hari hanya menjadi bulan-bulanan. Persentase sampah plastik yang sulit terdegradasi oleh alam pun kian bertambah seiring dengan masih rendahnya kesadaran orang untuk menggunakan kantong plastik dengan lebih bijaksana.
Terlebih keberadaan kantong plastik yang mudah didapat, sangat fungsional, dan dapat diperoleh tanpa harus membeli membuatnya menjadi bagian mendalam dari kehidupan manusia. Kantong plastik telah sangat menyatu dalam kehidupan sehari-hari setiap orang.
Sobirin sepakat dengan pendapat yang menyebutkan bahwa penyamaan persepsi tentang bahaya penggunaan kantong plastik masih sekadar wacana. Sebab, untuk melawan arus membeludaknya kantong plastik, tidak cukup hanya dengan gerakan moral, seminar, atau pemasangan spanduk.
"Hakikatnya gerakan moral harus menyinergikan aspek pendidikan dan budaya yang menanamkan sikap antikantong plastik di setiap pribadi dalam kehidupan sehari-hari, serta kemauan dan keberanian politik dari pemerintah untuk mengibarkan semangat antiplastik dan mengaplikasikannya," ujarnya.
Karena melibatkan unsur pemerintah untuk menegaskan gerakan antikantong plastik itu, dia mengatakan, perlu sebuah regulasi yang menginstruksikan agar semua bisnis untuk tidak menggunakan kantong plastik. Sebagai konsekuensinya, akan dikenakan sanksi berat jika melanggarnya. Lalu, pemerintah juga harus menindak setiap orang yang membuang sampah atau membakarnya secara sembarangan.
Sangat krusial pula untuk melegalkan gerakan antikantong plastik melalui pembentukan sebuah organisasi kesemestaan yang secara normatif memiliki kelembagaan, fungsi organisasi, dan unsur visi misi.
"Saat ini Bandung memang telah memiliki Perda K3, yang salah satunya mengatur tentang kebersihan. Akan tetapi, Perda K3 belum mengatur khusus tentang sampah kantong plastik," kata Sobirin.
Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Kota Bandung Nana Supriatna mengatakan, gerakan untuk mengubah sepenuhnya penggunaan kantong plastik menjadi alternatif lain yang lebih ramah lingkungan, masih berupa wacana. "Belum ada satu pun wacana yang menghasilkan sebuah solusi, terutama karena gerakan antikantong plastik itu menyangkut kebijakan nasional. Regulasi pun masih sulit dilakukan karena pengganti kantong plastik belum disiapkan secara matang," kata Nana, Selasa (9/9).
Melarang keras penggunaan kantong plastik, berarti harus ada pelarangan impor bijih plastik dari negara lain. Jika hal tersebut dilakukan, hal yang sama akan dilakukan pula oleh negara pengekspor bijih plastik. "Pelarangan impor oleh Indonesia akan diikuti juga dengan pelarangan ekspor dari negara lain. Itu kan artinya embargo besar-besaran," ujarnya.
Padahal, untuk melaksanakan gerakan antikantong plastik secara keseluruhan dibutuhkan sebuah kebijakan yang meliputi penegasan untuk menutup pintu impor bijih plastik, menyiapkan pengganti plastik, dan membentuk perilaku masyarakat yang pro terhadap penggunaan pengemasan nonplastik. Artinya, masih terlalu jauh bagi Indonesia khususnya Kota Bandung untuk mengubah pola konsumsi plastik menjadi paper bag atau kantong yang terbuat dari bahan mudah terurai lainnya.
Lalu, apa alternatif pengganti kantong plastik? Daun pisang atau bahan organik yang dulu digunakan sebagai kemasan, tidak dapat seefektif dan seefisien kantong plastik. Teknologi yang mendekati adalah kantong plastik biodegradable, yang terbuat dari bahan organik. Ini membuatnya menjadi lebih mudah diurai tanah.
Akan tetapi, kantong plastik semacam itu belum diproduksi secara massal sehingga belum populer dan harganya mahal. Baik Cinta maupun Sobirin berharap teknologi ini segera sampai ke Indonesia, dan menjadi kantong plastik yang ada sekarang.
Berbeda dengan mereka, Nana yakin bahwa solusi limbah plastik dan limbah lainnya di Kota Bandung adalah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Tentunya dengan melalui pengkajian tingkat tinggi, termasuk unsur temperatur yang tepat agar tidak menimbulkan dioksin yang sesuai baku mutu internasional. (Dani Prasetya/Lia Marlia)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar