Kamis, 25 November 2010

Profesi Panggilan Hati

Oleh Purnama Sidik


Menarik apa yang pernah disampaikan Guru Besar Universitas Indonesia, Rhenald Kasali tentang guru di Indonesia, "banyak orang menjadi guru atau dosen bukan karena panggilan diri, melainkan karena tidak punya pilihan dalam hidup."

Jika betul, tentu kita pantas khawatir terhadap kondisi kualitas pendidikan di Indonesia saat ini dan di masa depan. Jika guru melakukan tugasnya hanya karena tidak punya pilihan hidup atau terpaksa, dapat dipastikan tidak akan ada rasa bahagia dalam proses pendidikan di sekolah. Jika rasa bahagia itu tidak ada pada wajah dan hati guru, tidak akan ada juga rasa bahagia dalam proses belajar-mengajar dalam kelas-kelas di sekolah. Padahal, kebahagiaan atau kenyamanan yang dirasakan guru akan menyebar kepada setiap peserta didik yang mengikuti proses belajar-mengajar di kelas guru tersebut. 

Kita boleh saja mempertanyakan apa dasar Rhenald Kasali menyatakan hal tersebut. Namun, temuan yang dilansir sejumlah media nasional menunjukkan sekitar 500.000 guru absen setiap hari di Indonesia. Betapa besarnya kerugian yang ditanggung negara karena harus membayar gaji buta. 

Terlepas dari apa pun alasannya, dapat dipastikan mereka tidak cukup bahagia dalam menjalani profesinya itu. Temuan penulis di lapangan juga banyak yang memperkuat hal itu. Alasannya bermacam-macam, ada yang tidak cukup puas dengan penghasilan yang diterima, terlalu terikat oleh sistem kerja sekolah, stres karena selalu berhadapan dengan keragaman siswa dengan beragam karakternya, atau merasa kalah gengsi dengan profesi PNS, BUMN, pegawai swasta, polisi atau militer, dan profesi lain yang dianggap lebih bergengsi.

Setelah keluarnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dan No. 14 Tahun 2005 yang diikuti beberapa regulasi turunan seperti Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 dan No. 74 Tahun 2008, Permendiknas No. 16 dan No. 40 Tahun 2007, serta regulasi terkait lain, sejatinya profesi guru saat ini mendapatkan jaminan yang lebih pasti dibandingkan dengan pada era sebelumnya baik dalam hal jaminan materi, moral, maupun perlindungan lainnya. 

Logikanya, dengan lahirnya beragam regulasi tadi, semestinya profesi guru dapat semakin dihargai dan tidak lagi dipandang sebagai profesi yang hanya dilirik sebelah mata. Benarkah demikian?

Faktanya, berita 500.000 guru absen tiap hari justru muncul setelah lahirnya berbagai perbaikan peraturan yang lebih menjamin profesi guru. Penyebabnya bisa sangat beragam. Baik yang berasal dari sistem, persoalan aplikasi sistem oleh para aktor atau pemangku kepentingan pendidikan di lapangan, maupun persoalan yang bersumber dari individu dan lingkungan sekeliling guru. 

Struktur penghasilan sebenarnya sudah ada kenaikan. Meski demikian, dibandingkan dengan cepatnya kenaikan kebutuhan hidup yang ada, harus dipertimbangkan kembali kebijakan perbaikan penghasilan selanjutnya agar para guru bisa nyaman dan fokus dengan tugasnya di sekolah. 

Memang penambahan penghasilan bukan hanya satu faktor yang bisa menjamin peningkatan etos kerja pegawai. Kasus Gayus Tambunan terkait kebijakan remunerasi di Departemen Keuangan dan Direktorat Pajak membuktikan hal tersebut. Akan tetapi, penghasilan yang cukup tentu akan memengaruhi kepercayaan diri para guru baik dalam kehidupan di keluarganya maupun secara sosial di masyarakat.

Pemerintah dalam hal ini Kemendiknas atau pemerintah daerah sebaiknya membuka kesempatan selebar-lebarnya terhadap guru untuk meningkatkan kapasitas baik melalui pelatihan singkat maupun pemberian beasiswa pendidikan terutama S-2. Sebaiknya pemerintah juga mengaktifkan peran pengawasan yang ketat di setiap SKPD untuk meminimalisasi prakti pungli di sekitar kantor-kantor pemerintahan. Hal itu akan membuat guru nyaman dalam bekerja ketika berurusan dengan kantor SKPD pendidikan sekaligus menumbuhkan budaya kerja sehat di SKPD tersebut.

Di samping itu, dari temuan penulis, tidak sedikit guru terutama guru muda yang tidak berminat menjadi guru dan sekadar memenuhi kebutuhan mata pencahariannya karena susah mendapatkan pekerjaan di tempat atau bidang lain.

Konsultan karier, Rene Suhardono mengatakan, jika seseorang termasuk guru merasa stagnan atau tidak sesuai dengan pekerjaannya, hanya ada dua kemungkinan yang bisa ditempuh. Pertama, dia memformat ulang pikiran dan hatinya agar lebih menyenangi profesi guru dengan jalan fokus kepada sisi kelebihan menjadi guru. Kedua, jika dengan jalan apa pun dia tetap merasa tidak nyaman dengan profesinya sebagai guru, itu berarti saatnya dia mencari karier lain yang akan membuatnya lebih bahagia. 

Semoga dengan upaya-upaya tersebut, profesi guru akan kembali mendapat apresiasi dan citra yang semakin berwibawa di mata masyarakat. Kita berharap ke depan tidak akan ada lagi guru yang merasa tidak bahagia ketika harus memilih dan menjalani tugas profesinya. Yang ada adalah sosok-sosok guru yang penuh dengan pancaran wajah ceria dan bahagia karena profesinya, karena pilihan kariernya itu memang berasal dari panggilan hati. Dirgahayu Guru! ***

Penulis, guru, bergiat di Institut Guru Sukses, Lembang.

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=165349

Tidak ada komentar:

Posting Komentar