Rabu, 24 November 2010

Sejarah yang Masih Gelap

Mayoritas masyarakat Indonesia, khususnya yang berdiam di Pulau Jawa dan Bali sudah tak asing lagi dengan wayang. Mereka percaya bahwa jenis kesenian itu merupakan produk asli bangsa Indonesia. Benarkah anggapan itu?

Menyoal asal-muasal wayang, para ahli terbagi menjadi dua kelompok besar, yakni "Kelompok Jawa" dan "Kelompok India". Kelompok pertama menganggap bahwa wayang merupakan hasil olah gagasan asli masyarakat Jawa, tanpa bantuan bangsa Hindu (India). Sementara itu, kelompok kedua berpendapat bahwa ada pengaruh langsung kebudayaan India pada kesenian wayang.

Beberapa pendukung "Kelompok Jawa" adalah Brandes, Hazeu, dan Kats. Brandes berpendapat bahwa wayang berkait erat dengan kehidupan sosial, kultural, dan religius masyarakat Jawa. Sebagai bukti, semua istilah teknis perwayangan menggunakan bahasa Jawa, bukan Sanskrit. Senada dengan Brandes, Hazeu menegaskan bahwa struktur lakon wayang digubah menurut model yang amat tua. Hal itu dibuktikan dengan cara dalang bercerita, desain teknis, gaya, dan susunan lakon yang menunjukkan ciri khas Jawa.

Sementara itu, "Kelompok India" didukung oleh Pischel, Krom, Poensen, Goslings, Rassers, dan Ras. Pischel mencoba menunjukkan bukti adanya kata yang berarti teater bayangan, rupopajivana (dalam Mahabharata) dan rupparupakam (dalam Therigatha). Rassers berpendapat bahwa wayang hanya ditemukan di daerah-daerah yang telah dihindukan. Bukti yang ditunjuknya adalah adanya pemisahan tempat menonton wayang, antara wanita dan pria. Ia mengira, itu merupakan bentuk kelanjutan dari kebiasaan upacara inisiasi (yang dilakukan di rumah suci laki-laki) di India.
**

Jajang Suryana, penulis buku Wayang Golek Sunda: Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek (2002), menuturkan bahwa data konkret mengenai asal-muasal kesenian wayang memang sangat sedikit. Data yang sedikit itu pun bercampur dengan hal-hal yang nonilmiah. Keadaan inilah yang kemudian membuat para ahli mencoba mendekati kesenian wayang dari berbagai jurusan.

Ia mencontohkan, beberapa ahli mencoba mendekati wayang dengan menggunakan ilmu linguistik (seperti Goslings dan Hazeu). Ada pula yang mencoba mendekatinya dengan menggunakan bukti-bukti antropologi struktural (Rassers) dan etnologi atau antropologi budaya (Brandes). Bahkan, ada ahli yang menggunakan ilmu sastra (Pischel). Oleh karena itu, hasil yang mereka peroleh tidak bisa dinilai dengan ukuran yang sama.

Jajang mengungkapkan, kenyataan yang sama juga dihadapi para peneliti asal Indonesia. Hazim Amir, di dalam bukunya Nilai-nilai Etis Dalam Wayang (1991), secara tersirat menyatakan bahwa wayang merupakan produk asli Indonesia. Ia menulis, ".... Andaikata berasal dari India bukti tentang ini hampir tak ada karena bentuk wayang Hindu lama ini tidak pernah diketahui. Kata Sanskrit chayana nataka yang berarti teater menggunakan bayangan (shadow play) tidak pernah disebut dalam Natya Sastra atau karya-karya sastra Hindu yang lain. Kata rupparupakam yang muncul dalam teks-teks Buddha pada tahun 1 SM dan kata rupopajivana yang muncul dalam buku ke-12 dari Mahabharata yang oleh Pischel diartikan sebagai shadow plays tidak dapat dijadikan pegangan karena dalam kitab-kitab tersebut kata-kata itu hanya disebut sambil lalu (Brandon: 3-4). Andaikata wayang berasal dari Cina, seperti kata Goslings (Moeburman: 210) bukti tentang hubungan wayang Ying-Hi dengan penyembahan kepada nenek moyang pun tidak ada. Andaikata wayang berasal dari upacara keagamaan yang paling tua yang mirip upacara dewa di Irian Jaya, seperti kata Rassers (Moeburman: 21), bukti-bukti tentang ini juga hampir tidak ada. Juga persangkaan tentang asal usul wayang dari Asia Tengah yang kemudian menyebar sampai ke India, Cina, dan Asia Tenggara, seperti kata Brandon (hlm. 4), tidak disertai bukti-bukti yang lengkap."
**

tanpa menafikan perbedaan tersebut, Indonesia memiliki sejumlah bukti tertulis bahwa wayang merupakan jenis kesenian yang sudah dipertontonkan sejak masa yang begitu lama. Keterangan paling tua tentang wayang terdapat di dalam Prasasti Tembaga (840 Masehi/762 Saka). Prasasti itu memuat kata aringgit yang mengandung arti tukang wayang alias dalang.

Prasasti lainnya adalah Prasasti Ugrasena (896 Masehi) yang di dalamnya tercatat nama beberapa kelompok kesenian, di antaranya disebut parbwayang, pertunjukan wayang. Selain itu, ada pula Prasasti Balitung (907 Masehi/829 Saka) yang memuat kalimat, "Sigaligi mawayang buat Hyang, macarita Bhima Kumara."

Berdasarkan cerita Jawa, orang yang pertama memiliki wayang purwa adalah Sri Jayabaya. Kala itu, ia bertakhta di Mamonang, Kediri, pada tahun 939 Masehi. Wayang tersebut dibuat dari daun tal, menggambarkan wajah para dewa, manusia zaman purba atau purwa.

Kendati demikian, dalam penulisan sejarah wayang, para peneliti kerap merujuk kepada kakawin Arjunawiwaha (gubahan Mpu Kanwa pada abad XI). Di dalamnya terdapat deskripsi mengenai pertunjukan wayang yang mampu membuai penonton.

"Ada orang yang menonton wayang menangis sedih. Bodoh benar dia. Padahal sudah tahu juga bahwa yang bergerak dan berbicara itu kulit yang ditatah. Memang, kata orang dia sedang terkena daya gaib, sedangkan seharusnya ia tahu bahwa pada hakikatnya (pertunjukan) itu hanyalah palsu, segala yang ada ini maya belaka".

Di dalam bukunya, Jajang menerangkan bahwa sesungguhnya wayang telah dipertontonkan jauh sebelum Prasasti Tembaga dibuat. 

Berdasarkan penelusurannya, wayang (kulit) telah dipertontonkan pada tahun 778 Masehi, pada masa Syailendra. Pada mulanya, yang ditampilkan adalah cerita mengenai roh nenek moyang. Pada masa itu pulalah wayang dengan cerita Ramayana dan Mahabharata mulai diperkenalkan. 

Pada perkembangan selanjutnya, muncul wayang lontar (934 Masehi) dan wayang kertas atau wayang beber (1140 Masehi). "Wayang yang notabene dwimatra ini kemudian berkembang pesat. Pada abad ke-16, wayang trimatra --yang biasa disebut golek-- pun diperkenalkan," katanya. (Hazmirullah/"PR")***



Dari Cirebon, Menyebar Sampai Jauh...

Pada awal perkembangannya, kesenian wayang dipertontonkan dengan menggunakan wayang dwimatra (dua dimensi). Jenis kesenian inilah yang berkembang di daerah Jawa, menjelma menjadi beberapa jenis wayang, seperti wayang kulit, wayang lontar, dan wayang beber.

Seiring dengan meningkatnya apresiasi masyarakat, kesenian wayang berekspansi ke sejumlah wilayah, termasuk ke Tatar Sunda. Banyak ahli berpendapat, jenis kesenian ini masuk ke Jawa Barat melalui Cirebon. Di sinilah, pada awal abad XVI, bentuk fisik tokoh wayang mengalami perubahan, dari dwimatra menjadi trimatra (tiga dimensi).

Di dalam bukunya, Wayang Golek Sunda: Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek, Jajang Suryana mengungkapkan, tak hanya bentuk fisik tokoh, perubahan juga terjadi pada cerita. Di Cirebon, wayang trimatra (yang kemudian disebut golek) ditampilkan dengan cerita panji. Saking populernya, para dalang wayang beber pun menampilkan cerita panji, meninggalkan Ramayana dan Mahabharata.

Golek dengan cerita panji (biasa disebut golek menak) muncul di Jawa Barat pada masa Panembahan Ratu (1540-1650), cicit Sunan Gunung Jati. Di Tatar Cirebon, wayang jenis ini dinamakan wayang golek papak atau wayang golek cepak. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662), canggah Sunan Gunung Jati, wayang cepak dilengkapi cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa.

Menurut Jajang, perkembangan kesenian wayang di Cirebon berkaitan dengan penyebaran agama Islam, terutama ketika Sunan Gunung Jati (1479-1568) memegang kendali pemerintahan. Ia memanfaatkan wayang (kulit) sebagai media penyebaran agama Islam pada akhir abad XV. "Pada zaman Panembahan Ratu itu, perkembangan wayang sudah jauh. Bentuknya trimatra dan ada cerita tentang Amir Hamzah (Amir Ambyah)," katanya.

Pendapat serupa dinyatakan Mas Adung Salmun di dalam bukunya, Padalangan (1986). Menurut dia, pada waktu Priangan berada dalam pengaruh Mataram, wayang golek disukai banyak warga Priangan. Setelah Jalan Raya Pos dioperasikan, pada kurun waktu 1808-1811, ikatan warga lebih mudah. Wayang golek dari Cirebon makin jauh masuk ke wilayah Priangan. Banyak orang yang kemudian memilih profesi sebagai dalang. "Mulai saat itulah wayang golek disenangi masyarakat Sunda," tuturnya.

Di dalam artikel berjudul "Wayang Golek Purwa di Pasundan" (1989), Bambang Gunardjo mengungkapkan bahwa pada awal perkembangannya, wayang golek dipintonkan dalam bahasa Jawa. Setelah warga Sunda kian banyak yang pandai mendalang, bahasa Sunda mulai dipergunakan. Sejak itulah terdapat semacam garis pemisah, wayang kulit "milik" Jawa dan wayang golek "milik" Sunda.

Menurut Jajang, penggunaan bahasa Sunda dalam pertunjukan wayang golek tidak terlepas dari peran pejabat pemerintahan. Dalem Bintang atau R.A.A. Wiranatakoesoemah IV (1846-1874) merupakan Bupati Bandung yang merintis penggunaan bahasa Sunda dalam pementasan wayang golek. Ia menugasi dalang asal Tegal, Ki Anting, untuk mementaskan wayang golek menggunakan bahasa Sunda.
**

sumber lain menyebutkan bahwa sejarah perkembangan wayang di Jawa Barat, sesungguhnya mengacu kepada naskah Sunda kuna Sanghyang Siksakandang Karesian yang ditulis pada tahun 1518 Masehi. Di dalamnya terdapat kalimat, "Hayang nyaho di sakweh ing carita ma, gos ma: Darmayanti, Sanghyang Bayu, Jayasena, Pu jayakarma, Ramayana, Adiparwa, Korawasrama, Bimasorga, Rangga Lawe, Boma, Sumana, Kala Purba, Jarini, Tantri; sing sawatek carita ma memen tanya." Di dalam kalimat itu, disebutkan sejumlah tokoh pewayangan dari Ramayana. Sementara kata memen berarti dalang."

Berdasarkan penelitian Wiryanapura, wayang (golek) mulai berkembang di Priangan ketika R.A.A. Wiranatakoesoemah II (1794-1829) menjabat Bupati Bandung. Dia merekrut dalang (wayang kulit) Ki Guna Permana dari Tegal sebagai "dalang dalam" sekaligus dalang tetap Kabupaten Bandung. Di dunia perdalangan, Ki Guna bisa dibilang sebagai leluhur para dalang di Pasundan. Soalnya, ia memiliki murid, di antaranya Ki Gubyar (yang menyebarkan ilmu dalang ke wilayah Purwakarta) dan Ki Klungsu (menyebarkan ilmu ke wilayah Garut).

Wayang terus berkembang pada masa pemerintahan Bupati Wiranatakoesoemah III alias Dalem Karanganyar (1829-1846). Menjelang akhir masa jabatannya, tepatnya pada tahun 1840, ia merekrut Ki Rumyang, salah seorang murid Ki Guna, sebagai dalang tetap kabupaten. Selain itu, ia juga merekrut Ki Darman sebagai pembuat wayang (menetap di Cibiru) dan Ki Surasungging sebagai pembuat gamelan (menetap di Cimahi). 

Menurut Jajang, berdasarkan sejumlah penelitian, pada mulanya, bentuk wayang golek yang dibuat Ki Darman masih gepeng (pipih). Kemungkinan besar, menyerupai raut pipih wayang klitik. "Jadi, pada awal pembuatan golek, pola pembuatan wayang kulit masih begitu melekat di dalam diri Ki Darman," katanya. (Hazmirullah/"PR" dari berbagai sumber) ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar