Rabu, 24 November 2010

Banyolan untuk Menahan Kebetahan Penonton

Ksatria Somantri tengah mencari pekerjaan. Datanglah Cepot menghampiri dengan suara khasnya. "Insya Allah kamu segera dapat pekerjaan. Di negeri kita mah lapangan pekerjaan banyak. Namanya juga negeri yang makmur dan sentosa. Tidak seperti di negara luar yang satu itu, susah sekali menarik pajak. Giliran sudah berhasil dikumpulkan, eh malah dimakan Gayung." 

Demikian guyonan ala Dalang Umar Darusman Sunandar Sunarya. Guyonan semacam itu boleh jadi saat ini akan lebih mudah ditemukan di pertunjukan wayang. 

Ya, kebanyakan dalang sekarang lebih memilih menyampaikan tuntunan yang berhubungan dengan fenomena yang hangat misalnya di bidang politik, hiburan, sosial, atau ekonomi. 

Cerita semacam itu memang tidak ada dalam kesejarahan wayang. Dalang seperti Umar sengaja menciptakannya agar interaksinya lebih mudah diterima oleh penonton yang tengah dihebohkan berita Gayus Tambunan, terdakwa mafia pajak. Lawakan atau banyolan pun sengaja ditampilkan lebih sering. 

Sebenarnya, itu dilematis bagi para dalang khususnya dalang-dalang beraliran Giriharja seperti Umar. Di satu sisi, penonton sekarang kemungkinan besar tak akan betah terus-menerus dituntun secara serius melalui tokoh-tokoh wayang yang sebagian besar karakternya memang serius. Oleh karena itu, mengusung lebih banyak banyolan paling tidak merupakan upaya menahan kebetahan penonton. 

Di sisi lain, para dalang khususnya yang konservatif menuntut dalam pelestarian wayang harus lebih banyak mensyiarkan tuntunan ketimbang banyolan. Dahulu pun pertunjukan wayang bisa berjaya dengan lebih menitikberatkan kepada tuntunan terutama masalah kemasyarakatan daripada tontonannya. 

Soleh, akademisi dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung menuturkan, jika dituntut memberikan tuntunan seperti dahulu, posisi dalang saat ini cukup sulit. Itu karena kondisinya memang sudah berbeda. 

"Dahulu dalang bisa menjadi guru hampir dalam segala hal. Guru agama, guru dalam bidang pertanian, bahkan KB (Keluarga Berencana)," katanya. Namun, sekarang masyarakat sudah punya panutan lain untuk memenuhi kebutuhan itu. 

Di bidang agama misalnya, sudah ada banyak dai yang bahkan kondang di televisi. Lalu juga sudah ada banyak ahli termasuk di bidang pertanian dan KB yang lebih mengerti bidang-bidang itu daripada seorang dalang. 

Oleh karena itu, jika dalang dituntut berperan seperti dahulu, mau tak mau dalang harus menjadi orang yang lebih pintar daripada dai atau ahli-ahli tadi. Yang terjadi pada saat ini justru dalang di Jawa Barat khususnya, seperti yang diakui Persatuan Padalangan Indonesia (Pepadi) Jawa Barat, masih banyak yang kurang wawasan sehingga sulit untuk "bermain" di tuntunan yang sama dengan dahulu.

Itulah sebabnya dalang lebih memilih mengambil tema-tema yang sedang hangat untuk sekadar "ditoel" dalam pertunjukkannya. "Dengan kata lain sebenarnya di dalam banyolan itu juga ada tuntunannya," kata Soleh. 

Umar mengatakan, banyaknya banyolan yang dia sampaikan ke penonton pun, tak lantas melanggar pakem (aturan main) pokok. Hampir semua dalang masih berusaha berjalan selaras dengan tetekon (batasan-batasan) pewayangan. "Ketika Sencamuka diceritakan harus mati, ya saya ceritakan mati," kata dalang di Pojok si Cepot yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi nasional itu.

Namun, ketika misalnya Arjuna yang dalam kisah tak pernah bernyanyi tetapi dibuat bernyanyi lagu band, itu adalah untuk menarik perhatian penonton. Jika perhatian penonton tetap tertuju kepada wayang, selanjutnya tuntunan pun bisa disampaikan.

Menurut Umar, jika dalang tidak mau beradaptasi dengan kondisi masyarakat sekarang, sulit untuk bisa eksis di tengah menjamurnya hiburan alternatif, khususnya di televisi. Apalagi, dengan persaingan stasiun televisi, acara-acara yang ditayangkan tak pernah lepas dari polesan tim kreatif masing-masing stasiun televisi. 

Rating acara "Pojok si Cepot" di salah satu stasiun televisi nasional itu pun, menurut dia, turun ketika disiarkan pada jam yang sama dengan acara wayang wong di stasiun televisi lain. Namun, paling tidak, upaya yang dilakukan para dalang sekarang, akan mampu mempertahankan eksistensi wayang di jagat hiburan. (Amaliya/"PR")***



Sekolah Ditutup, Berguru Harus ke Dalang

Jika masyarakat sudah mulai meninggalkan wayang golek seperti yang saat ini terjadi, regenerasi dalang bisa jadi adalah yang paling terancam. Sayangnya, saat ini khususnya di Jawa Barat, regenerasi hanya bisa mengandalkan kesadaran dan kemauan dalang yang ada untuk membentuk bibit-bibit dalang yang baru. 

Karena dalam pendidikan formal boleh dibilang tidak ada lagi jurusan padalangan. Jurusan padalangan memang dahulu pernah ada di Kota Bandung yaitu di Sekolah Menengah Karawitan (SMK) Indonesia yang terletak di Cijawura Hilir (sekarang Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 10 Bandung). Namun, sekarang tak ada lagi. 

Soleh, pengajar di Jurusan Karawitan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, adalah salah seorang alumnusnya, tepatnya tahun 1985. Namun, ketika Umar "Riswa" Darusman Sunandar Sunarya datang dari Cilacap Jawa Tengah untuk mendaftar pada 1995, jurusan padalangan sudah dihilangkan. 

"Karena peminatnya hanya 1 sampai 2 orang sehingga ditutup. Jadi, saya terpaksa masuk ke jurusan karawitan, tetapi hanya bertahan delapan bulan," ujar dalang berusia tiga puluh tahun itu. Ketika berkuliah di STSI Bandung pun, Umar tetap tak menemukan jurusan dambaannya itu. 

Agaknya iklim yang mendorong minat generasi bangsa menjadi dalang belum begitu kuat di Jawa Barat. Padahal jika mau, bisa saja iklim itu diciptakan khususnya oleh pemerintah sebagai pemangku kebijakan. 

Seperti halnya ketika pemerintah berupaya menggiring minat rakyatnya ke sekolah menengah kejuruan (SMK) untuk menekan angka pengangguran, pemerintah dengan gencar mempromosikan dukungannya terhadap SMK. Hasilnya, saat penerimaan siswa baru pascapromosi itu, SMK di Jawa Barat kewalahan menerima pendaftar, bahkan sampai menolak calon siswa.

Namun, karena mungkin pelestarian wayang belum menjadi hal yang menarik bagi pemerintah, bibit-bibit dalang baru tumbuh dari mereka yang sejak awal memang berada di lingkungan padalangan. Seperti Umar, keinginannya menjadi dalang begitu kuat karena dia tumbuh bersama ayahnya yang tak lain adalah pemusik wayang golek di Cilacap.

Satu-satunya yang kemudian bisa dituju oleh calon-calon dalang seperti Umar saat ini adalah sanggar-sanggar dalang. Umar pun setelah drop out dari Jurusan karawitan SMK I tadi, akhirnya memilih "berguru" di Sanggar Giriharja, tempat idolanya, Asep Sunandar Sunarya berbagi ilmu. 

Artinya, sekarang dalang memang memegang peranan penting dalam regenerasi, baik dalam menumbuhkan minat maupun mengasah kemampuan calon dalang. 

Dalang pun harus siap menjadi lebih pintar dalam berkreativitas ketimbang muridnya. Dihadapkan dengan kurang luasnya wawasan, artinya saat ini mungkin hanya dalang-dalang tertentu yang siap diperguru. 

Seandainya pemerintah masih getol mengadakan penataran dalang seperti pada 1980-an, mungkin akan lebih banyak dalang yang siap menjadi guru. "Penataran itu banyak manfaatnya bagi para dalang. Selain menambah wawasan dan belajar bahasa, antardalang pun bisa bertukar pikiran terutama dengan yang senior," kata Soleh yang dahulu juga pernah menjadi dalang.
Sekarang gairah menjadi dalang hanya diwadahi dalam binojakrama yaitu semacam pasanggiri atau kompetisi dalang. Binojakrama ini paling tidak menjadi pemicu para dalang untuk tetap eksis dan melahirkan dalang-dalang baru. (Amaliya/"PR") ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar