google.com
ilustrasi
Oleh Zaenal Abidin
Perempuan paruh baya asal Jawa itu agak terkaget-kaget ketika datang pertama kalinya di Kota Pontianak, saat ingin berbelanja sayuran.
Ia terkaget tidak hanya karena harga sayuran yang mahal harganya dibanding di daerah asalnya di Jawa Tengah, tetapi pedagang sayuran di pinggir jalan itu ternyata seorang Tionghoa, sebuah pemandangan yang jarang ditemui di daerahnya.
Belum lagi, saat ia menawar terlalu rendah, laki-laki penjual itu malah berbicara kepada perempuan Tionghoa di sampingnya, yang kemungkinan isterinya, dengan bahasa yang tak dimengertinya.
Sekilas didengarnya, seperti bahasa di film-film Mandarin. Namun setelah diberitahu, ternyata mereka menggunakan bahasa tutur asli dari kalangan mereka, yakni bahasa Khek.
"Kalau di daerah saya, pada umumnya mereka (warga Tionghoa) berbicara sesamanya, menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur Jawa dengan dialek Jawa yang "medok" (kental). Jadi kita juga tahu. Tapi di sini, bahasa di antara mereka familiar juga dan cukup kental," kata Anisya, warga Magelang, Jateng.
Di Pontianak atau Kalbar secara umum, warga Tionghoa memang fasih berbicara dengan bahasa ibu mereka sendiri, yang disebut sebagai bahasa Khek. Walaupun di antara warga Tionghoa ada juga minoritas yang menggunakan bahasa Hoklo (Tewcu).
Di antara mereka, kalau bertemu sesamanya menggunakan bahasa Khek, seperti halnya orang Melayu atau Jawa, bertemu sesamanya menggunakan bahasa etnis mereka.
Bahasa Khek pada dasarnya memang bahasa dari daratan China, namun ia berbeda dengan bahasa Mandarin, yang menjadi salah satu bahasa internasional, walau terdapat kosa kata yang mirip-mirip.
Menurut tokoh masyarakat Tionghoa Pontianak, Andreas Acui Simanjaya, bahasa Khek memang menjadi bahasa pergaulan di keluarga-keluarga Tionghoa di Kalbar ini.
Walau yang tersebar bahasa Khek pasaran daripada bahasa Khek halus, kata Acui yang juga Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Pontianak, menjadikan bahasa orang Hakka itu terjaga sebagai bahasa komunikasi warga Tionghoa. Tidak hanya di wilayah Pontianak, tetapi warga Tionghoa di daerah lain, seperti Singkawang, Sekadau, Sanggau, Sambas, Sintang, dan Ketapang, juga membiasakan berbahasa Khek dengan keluarga atau sesame etnis.
Bahkan untuk keluarga campuran, seperti keluarga dari pasangan warga Tionghoa dan Dayak, bahasa Khek tetap kental diajarkan.
Seorang peneliti asal Universiti Kebangsaan Malaysia, Chong Shin, dalam makalahnya (2005) tentang "Masyarakat Tionghoa Kalimantan Barat: Tinjauan Pemilihan Bahasa di Kota Sekadau" terungkap bahwa warga Tionghoa dalam perkawinan campuran tetap berusaha mengajarkan bahasa Khek ke anaknya, walau bahasa lain juga diajarkan.
Seperti halnya, tulis Chongsin, yang mendapat cerita berasal dari informannya, seorang pria Tionghoa Khekmenikahi perempuan Dayak Kerabat, maka anaknya tetap diajari berbahasa Khek dengan bapaknya dan berbahasa Kerabat dengan ibunya.
Sama halnya, dengan saudara di pihak bapak (yang bersuku Tionghoa Khek), anak dari pernikahan campuran itu berbahasa Khek, namun saat dengan saudara dari pihak ibunya yang bersuku Dayak Kerabat, dia berbahasa Dayak Kerabat.
Chongsin juga menemukan, di dalam keluargan kawin campur, antara warga Tionghoa Hoklo (bapak)- Khek (ibu), bahasa sehari-hari di keluarganya adalah bahasa Khek.
Tetapi pada hari-hari, dimana isterinya berangkat ke Pontianak, pertukaran bahasa berlaku. Bapak di rumah itu mulai berbahasa Hoklo dengan anak-anaknya, dan anaknya membalas dan bertutur bahasa Hoklo dengan bapaknya.
Sekembali ibunya ( penutur bahasa Khek) ke rumah lagi, dengan sendirinya bahasa harian diubah balik ke bahasa Khek, ungkap Chongs Shin.
Bagian dari Multikulturisme
Bahasa Khek sendiri asal-muasalnya dari para leluhurnya, orang Hakka, yang merupakan bagian dari suku Han yang tersebar di kawasan pegunungan provinsi Guangdong, Fujian dan Guangxi di China sebelah utara.
Mereka beremigrasi ke Asia Tenggara termasuk Indonesia. Penutur bahasa Khek di Indonesia cukup banyak, khususnya warga Tionghoa di Kalbar, Palembang, dan Bangka-Belitung.
Menurut peneliti budaya lokal asal Kalbar Dedy Ari Asfar MA, bahasa Khek ini memang bukan bahasa daerah, namun bahasa ini menjadi bagian multikulturisme di masyarakat provinsi ini.
Berdasarkan pengamatannya, bahasa Khek ini berkembang pada ranah oralitas saja. Artinya ini menjadi sekadar bahasa tutur dan pergaulan di keluarga warga Tionghoa dan interaksi antar-Tionghoa.
Perkembangan bahasa Khek, kata Dedy yang bekerja di Balai Bahasa Pontianak itu, tidak memiliki kedalaman dalam pelestariannya. Di sini tidak ada pengembangan linguistiknya di segi bahasa tulis, seni sastra, atau terstruktur diajarkan di kegiatan belajar formal atau semiformal, seperti kursus-kursus.
Bahkan, pada keluarga Tionghoa di Kalbar, anak-anak mereka saat ini mulai disuruh belajar bahasa Mandarin, setidaknya melalui kursus bahasa, apabila di sekolahnya tidak diajarkannya.
Acui mengakui, anak-anak Tionghoadi kota-kota besar di Kalbar ada kecenderungan mulai mempelajari bahasa Mandarin secara sistematis. Namun belajar bahasa Mandarin bukan masalah etnisitas atau rasa keturunan China, tetapi karena kegunaannya sebagai salah satu bahasa internasional.
"Hal ini dinilai akan baik bagi masa depan anak-anaknya di pergaulan internasional, di mana China juga mengalami perkembangan ekonomi terpesat di dunia saat ini," katanya.
Hal yang sama diakui Soni Sujaya, siswa SMA Santo Petrus Pontianak yang merupakan keturunan Tionghoa. Ia biasa berbahasa Khek dalam berkomunikasi di keluarga dan kerabatnya. Namun ia juga disuruh belajar bahasa Mandarin.
"Antara bahasa Khek dan Mandarin banyak perbedaan, walau ada yang mirip. Tapi kita tetap harus belajar Mandarin serius, karena walau sudah bisa berbahasa Khek, bukan berarti mudah berbahasa Mandarin," katanya.
Perkembangan berbahasa Mandarin di warga keturunan Tionghoa, dalam pengamatan Acui tidak akan menggeser bahasa Khek, karena kebiasaan berbahasa Khek di keluarga Tionghoa sudah kental dan menurun secara alami dari generasi ke generasi.
Di samping itu dengan komunitas Tionghoa di Kalbar yang cukup besar, yang diperkirakan sekitar 20-an persen, menurut Acui, bahasa Khek akan tetap lestari, karena faktor lingkungan yang cukup besar itu bakal mendukungnya.
Apalagi sebagian warga dari komunitas lain di Kalbar, seperti Melayu, Dayak dan Bugis, menurut pengamatan Acui, ada yang ikut mempelajarinya akibat adanya hubungan dagang dan sosio-ekonomi yang intens dengan warga Tionghoa berbahasa Khek.
ANTPerempuan paruh baya asal Jawa itu agak terkaget-kaget ketika datang pertama kalinya di Kota Pontianak, saat ingin berbelanja sayuran.
Ia terkaget tidak hanya karena harga sayuran yang mahal harganya dibanding di daerah asalnya di Jawa Tengah, tetapi pedagang sayuran di pinggir jalan itu ternyata seorang Tionghoa, sebuah pemandangan yang jarang ditemui di daerahnya.
Belum lagi, saat ia menawar terlalu rendah, laki-laki penjual itu malah berbicara kepada perempuan Tionghoa di sampingnya, yang kemungkinan isterinya, dengan bahasa yang tak dimengertinya.
Sekilas didengarnya, seperti bahasa di film-film Mandarin. Namun setelah diberitahu, ternyata mereka menggunakan bahasa tutur asli dari kalangan mereka, yakni bahasa Khek.
"Kalau di daerah saya, pada umumnya mereka (warga Tionghoa) berbicara sesamanya, menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur Jawa dengan dialek Jawa yang "medok" (kental). Jadi kita juga tahu. Tapi di sini, bahasa di antara mereka familiar juga dan cukup kental," kata Anisya, warga Magelang, Jateng.
Di Pontianak atau Kalbar secara umum, warga Tionghoa memang fasih berbicara dengan bahasa ibu mereka sendiri, yang disebut sebagai bahasa Khek. Walaupun di antara warga Tionghoa ada juga minoritas yang menggunakan bahasa Hoklo (Tewcu).
Di antara mereka, kalau bertemu sesamanya menggunakan bahasa Khek, seperti halnya orang Melayu atau Jawa, bertemu sesamanya menggunakan bahasa etnis mereka.
Bahasa Khek pada dasarnya memang bahasa dari daratan China, namun ia berbeda dengan bahasa Mandarin, yang menjadi salah satu bahasa internasional, walau terdapat kosa kata yang mirip-mirip.
Menurut tokoh masyarakat Tionghoa Pontianak, Andreas Acui Simanjaya, bahasa Khek memang menjadi bahasa pergaulan di keluarga-keluarga Tionghoa di Kalbar ini.
Walau yang tersebar bahasa Khek pasaran daripada bahasa Khek halus, kata Acui yang juga Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Pontianak, menjadikan bahasa orang Hakka itu terjaga sebagai bahasa komunikasi warga Tionghoa. Tidak hanya di wilayah Pontianak, tetapi warga Tionghoa di daerah lain, seperti Singkawang, Sekadau, Sanggau, Sambas, Sintang, dan Ketapang, juga membiasakan berbahasa Khek dengan keluarga atau sesame etnis.
Bahkan untuk keluarga campuran, seperti keluarga dari pasangan warga Tionghoa dan Dayak, bahasa Khek tetap kental diajarkan.
Seorang peneliti asal Universiti Kebangsaan Malaysia, Chong Shin, dalam makalahnya (2005) tentang "Masyarakat Tionghoa Kalimantan Barat: Tinjauan Pemilihan Bahasa di Kota Sekadau" terungkap bahwa warga Tionghoa dalam perkawinan campuran tetap berusaha mengajarkan bahasa Khek ke anaknya, walau bahasa lain juga diajarkan.
Seperti halnya, tulis Chongsin, yang mendapat cerita berasal dari informannya, seorang pria Tionghoa Khekmenikahi perempuan Dayak Kerabat, maka anaknya tetap diajari berbahasa Khek dengan bapaknya dan berbahasa Kerabat dengan ibunya.
Sama halnya, dengan saudara di pihak bapak (yang bersuku Tionghoa Khek), anak dari pernikahan campuran itu berbahasa Khek, namun saat dengan saudara dari pihak ibunya yang bersuku Dayak Kerabat, dia berbahasa Dayak Kerabat.
Chongsin juga menemukan, di dalam keluargan kawin campur, antara warga Tionghoa Hoklo (bapak)- Khek (ibu), bahasa sehari-hari di keluarganya adalah bahasa Khek.
Tetapi pada hari-hari, dimana isterinya berangkat ke Pontianak, pertukaran bahasa berlaku. Bapak di rumah itu mulai berbahasa Hoklo dengan anak-anaknya, dan anaknya membalas dan bertutur bahasa Hoklo dengan bapaknya.
Sekembali ibunya ( penutur bahasa Khek) ke rumah lagi, dengan sendirinya bahasa harian diubah balik ke bahasa Khek, ungkap Chongs Shin.
Bagian dari Multikulturisme
Bahasa Khek sendiri asal-muasalnya dari para leluhurnya, orang Hakka, yang merupakan bagian dari suku Han yang tersebar di kawasan pegunungan provinsi Guangdong, Fujian dan Guangxi di China sebelah utara.
Mereka beremigrasi ke Asia Tenggara termasuk Indonesia. Penutur bahasa Khek di Indonesia cukup banyak, khususnya warga Tionghoa di Kalbar, Palembang, dan Bangka-Belitung.
Menurut peneliti budaya lokal asal Kalbar Dedy Ari Asfar MA, bahasa Khek ini memang bukan bahasa daerah, namun bahasa ini menjadi bagian multikulturisme di masyarakat provinsi ini.
Berdasarkan pengamatannya, bahasa Khek ini berkembang pada ranah oralitas saja. Artinya ini menjadi sekadar bahasa tutur dan pergaulan di keluarga warga Tionghoa dan interaksi antar-Tionghoa.
Perkembangan bahasa Khek, kata Dedy yang bekerja di Balai Bahasa Pontianak itu, tidak memiliki kedalaman dalam pelestariannya. Di sini tidak ada pengembangan linguistiknya di segi bahasa tulis, seni sastra, atau terstruktur diajarkan di kegiatan belajar formal atau semiformal, seperti kursus-kursus.
Bahkan, pada keluarga Tionghoa di Kalbar, anak-anak mereka saat ini mulai disuruh belajar bahasa Mandarin, setidaknya melalui kursus bahasa, apabila di sekolahnya tidak diajarkannya.
Acui mengakui, anak-anak Tionghoadi kota-kota besar di Kalbar ada kecenderungan mulai mempelajari bahasa Mandarin secara sistematis. Namun belajar bahasa Mandarin bukan masalah etnisitas atau rasa keturunan China, tetapi karena kegunaannya sebagai salah satu bahasa internasional.
"Hal ini dinilai akan baik bagi masa depan anak-anaknya di pergaulan internasional, di mana China juga mengalami perkembangan ekonomi terpesat di dunia saat ini," katanya.
Hal yang sama diakui Soni Sujaya, siswa SMA Santo Petrus Pontianak yang merupakan keturunan Tionghoa. Ia biasa berbahasa Khek dalam berkomunikasi di keluarga dan kerabatnya. Namun ia juga disuruh belajar bahasa Mandarin.
"Antara bahasa Khek dan Mandarin banyak perbedaan, walau ada yang mirip. Tapi kita tetap harus belajar Mandarin serius, karena walau sudah bisa berbahasa Khek, bukan berarti mudah berbahasa Mandarin," katanya.
Perkembangan berbahasa Mandarin di warga keturunan Tionghoa, dalam pengamatan Acui tidak akan menggeser bahasa Khek, karena kebiasaan berbahasa Khek di keluarga Tionghoa sudah kental dan menurun secara alami dari generasi ke generasi.
Di samping itu dengan komunitas Tionghoa di Kalbar yang cukup besar, yang diperkirakan sekitar 20-an persen, menurut Acui, bahasa Khek akan tetap lestari, karena faktor lingkungan yang cukup besar itu bakal mendukungnya.
Apalagi sebagian warga dari komunitas lain di Kalbar, seperti Melayu, Dayak dan Bugis, menurut pengamatan Acui, ada yang ikut mempelajarinya akibat adanya hubungan dagang dan sosio-ekonomi yang intens dengan warga Tionghoa berbahasa Khek.
Sumber :
Editor: Jodhi Yudono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar