Sabtu, 27 November 2010 | 11:23 WIB
fijihoneymoon.com
SUVA, KOMPAS.com - Tiga remaja putra, yang selama 50 hari terapung-apung dalam sebuah perahu kecil di Pasifik Selatan, hari Jumat (26/11) berjalan di darat dengan kaki gemetar setelah mereka diselamatkan.
Ketiga remaja itu—Samuel Pelesa dan Filo-Filo, keduanya 15 tahun, serta Edward Nasau (14)— mengatakan kepada para penyelamat bahwa mereka bertahan hidup dengan air hujan yang mereka tampung, sejumlah kelapa, ikan mentah, dan seekor burung camar yang mendarat di perahu aluminium mereka yang panjangnya 3,5 meter.
Ketiganya berangkat tanggal 5 Oktober dari pulau asal mereka menuju ke sebuah pulau tetangga. Tidak diketahui bagaimana mereka menghilang, tetapi diduga mesin perahu mereka mengalami kerusakan di laut.
Para anggota keluarga yang khawatir melaporkan mereka hilang dan AU Selandia Baru melancarkan sebuah pencarian laut. Tidak ada tanda-tanda perahu kecil itu ditemukan dan desa berpenduduk 500 orang itu mengadakan upacara peringatan, tidak pernah berharap akan melihat anak-anak itu lagi.
Mereka diambil hari Rabu oleh sebuah kapal pukat ikan, kurang gizi, dehidrasi berat, dan terbakar matahari parah, tetapi selain itu baik-baik saja. Kelasi kelas satu kapal itu mengatakan, daerah mereka berada jauh dari rute pelayaran komersial normal.
Mereka hanyut 1.300 km dari tempat mereka berangkat—Tokelau, sekelompok atol karang sebelah utara Samoa yang merupakan wilayah Selandia Baru.
Sebuah kapal patroli AL Fiji bertemu dengan kapal pukat ikan itu hari Jumat dan mengawalnya memasuki pelabuhan ibu kotanya, Suva. Ketiganya ditemui oleh pejabat konsuler Selandia Baru dan dibawa ke sebuah rumah sakit untuk diperiksa.
Tai Fredricsen, kelasi kelas satu kapal itu, mengatakan, para awak melihat sebuah perahu kecil terombang-ambing di laut terbuka sebelah barat laut Fiji hari Rabu. Saat kapal mendekat untuk memeriksa, mereka melihat tiga orang melambai-lambaikan tangan dengan panik. ”Yang bisa mereka katakan adalah ’terima kasih karena mau berhenti’,” kata Fredricsen.
Ketiga remaja itu menceritakan hanya membawa dua kelapa saat berangkat. Selama terkatung-katung, mereka minum air hujan yang mereka tampung di perahu dan makan ikan yang mereka tangkap. Sekali, mereka menangkap seekor camar yang mendarat di perahu dan memakannya. (AP/DI)
Kompas CetakKetiga remaja itu—Samuel Pelesa dan Filo-Filo, keduanya 15 tahun, serta Edward Nasau (14)— mengatakan kepada para penyelamat bahwa mereka bertahan hidup dengan air hujan yang mereka tampung, sejumlah kelapa, ikan mentah, dan seekor burung camar yang mendarat di perahu aluminium mereka yang panjangnya 3,5 meter.
Ketiganya berangkat tanggal 5 Oktober dari pulau asal mereka menuju ke sebuah pulau tetangga. Tidak diketahui bagaimana mereka menghilang, tetapi diduga mesin perahu mereka mengalami kerusakan di laut.
Para anggota keluarga yang khawatir melaporkan mereka hilang dan AU Selandia Baru melancarkan sebuah pencarian laut. Tidak ada tanda-tanda perahu kecil itu ditemukan dan desa berpenduduk 500 orang itu mengadakan upacara peringatan, tidak pernah berharap akan melihat anak-anak itu lagi.
Mereka diambil hari Rabu oleh sebuah kapal pukat ikan, kurang gizi, dehidrasi berat, dan terbakar matahari parah, tetapi selain itu baik-baik saja. Kelasi kelas satu kapal itu mengatakan, daerah mereka berada jauh dari rute pelayaran komersial normal.
Mereka hanyut 1.300 km dari tempat mereka berangkat—Tokelau, sekelompok atol karang sebelah utara Samoa yang merupakan wilayah Selandia Baru.
Sebuah kapal patroli AL Fiji bertemu dengan kapal pukat ikan itu hari Jumat dan mengawalnya memasuki pelabuhan ibu kotanya, Suva. Ketiganya ditemui oleh pejabat konsuler Selandia Baru dan dibawa ke sebuah rumah sakit untuk diperiksa.
Tai Fredricsen, kelasi kelas satu kapal itu, mengatakan, para awak melihat sebuah perahu kecil terombang-ambing di laut terbuka sebelah barat laut Fiji hari Rabu. Saat kapal mendekat untuk memeriksa, mereka melihat tiga orang melambai-lambaikan tangan dengan panik. ”Yang bisa mereka katakan adalah ’terima kasih karena mau berhenti’,” kata Fredricsen.
Ketiga remaja itu menceritakan hanya membawa dua kelapa saat berangkat. Selama terkatung-katung, mereka minum air hujan yang mereka tampung di perahu dan makan ikan yang mereka tangkap. Sekali, mereka menangkap seekor camar yang mendarat di perahu dan memakannya. (AP/DI)
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar