Rabu, 24 November 2010

Wayang Golek Tergolek



Raja Prabanala dari Kerajaan Pringgandani akan menyerang Kerajaan Astina. Rencana pun disusun oleh keponakan dari Ksatria Gatotkaca itu. Untuk menaklukkan kerajaan yang dipimpin oleh Raja Parikesit yang merupakan cucu dari Arjuna, tentu bukanlah perkara mudah. 

Sayangnya, puluhan penonton yang akan menjadi saksi penyerangan, malam itu tak semuanya menyimak rencana tersebut. Ada yang menyimak, ada yang sibuk dengan handphone, dan ada pula yang tertidur. Padahal, sebentar lagi kekuatan para prajurit akan dihimpun oleh Senopati sang pemimpin perang. 

Di tengah-tengah persiapan perang sambil menunggu komando dari sang Senopati, sejumlah prajurit melakukan percakapan. Percakapan mereka semula tentang persiapan perang. Tetapi namanya juga obrolan, akhirnya merambat ke mana-mana. Yang tadinya bahasa Sunda pun menjadi bahasa Indonesia. 

"Bagaimana suara anjing?" kata prajurit satu.
"Ah itu mah gampang. Guk guk," jawab prajurit dua.
"Oke. Kalau suara kucing?" tanya prajurit satu lagi.
"Meong.. meong," timpal prajurit dua.
"Suara anjing, suara kucing, sekarang bagaimana suara cacing?" ujar prajurit satu dengan bangga.

"Eghh.. Cacing? Eghh..," jawab prajurit kedua yang langsung disambut grrrrrr oleh penonton. Yang semula terkantuk menjadi penasaran mengapa semuanya tertawa. 

Seolah mengerti dengan kondisi penontonnya yang semula tak begitu menyimak, sang dalang Umar "Riswa" Darusman Sunandar Sunarya pun mengulangi bobodoran itu dengan reaksi yang tambah heboh dari penonton yang duduk sejak pukul 21.00 WIB di aula Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung itu. Bobodoran itu mampu menarik perhatian kembali hingga akhirnya cerita berjudul "Sencamuka Pejah" itu berakhir pukul 3.00 WIB.
**

"Nasib" Umar dengan sebagian penontonnya yang berpaling pada malam itu, boleh dibilang tak jauh berbeda dengan nasib dunia pewayangan Indonesia, khususnya wayang golek saat ini. Wayang golek yang digagas oleh Bupati Bandung Wiranata Kusumah III (Dalem Karang Anyar) pada 1840-an, kini sudah mulai ditinggalkan penontonnya yang dahulu setia.
Agaknya bukan salah penonton juga jika mereka tidak menjadikan lagi wayang sebagai satu-satunya hiburan. Karena hiburan-hiburan baru "garapan" globalisasi zaman, menawarkan suguhan yang lebih praktis, murah, dan menarik ketimbang wayang. 

Melalui televisi yang masuk di Indonesia pada 1930-an dan berkembang pada 1970-an, aneka hiburan menggeser wayang golek. Barangkali yang turut berperan besar di dalamnya adalah lahirnya musik dangdut Indonesia yang dipelopori Sang Raja Dangdut Rhoma Irama pada 1970-an. 

Hajatan-hajatan yang semula hampir selalu menanggap wayang, perlahan lebih memilih menggandeng orkes melayu atau dangdut. Kalau penonton sudah tak lagi setia dengan wayang, masa iya dalang akan tetap menyabet "lakonnya". Makanya, mau tak mau dalang dituntut menciptakan kreativitas untuk mampu merebut perhatian penonton. 

Gebrakan pun muncul pada 1980-an dari keluarga Giriharja (kelompok dalang keluarga yang tinggal di Jelekong dan Ciparay) yang dimotori dalang Ade Kosasih Sunarya (kakak dalang kenamaan Asep Sunandar Sunarya). Seperti yang diungkapkan Penulis buku Wayang Golek Sunda: Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek, Jajang Suryana, gebrakan itu merupakan upaya para dalang Giriharja dalam menghadirkan pola dan isi pertunjukan golek yang berbeda dengan pola pertunjukan yang telah mapan tetapi mulai kurang disukai masyarakat. 

Banyolan-banyolan misalnya dari punakawan (Semar, Cepot, Dewala, dan Gareng) atau lakon-lakon pendamping, akan lebih sering ditampilkan oleh pengikut gerakan ini seperti yang dilakukan oleh Umar tadi. Ada pula tokoh-tokoh wayang lain yang sedikit dipoles "aktingnya" agar lebih menarik. Bima misalnya, yang digambarkan tidak pernah tertawa, demi menyampaikan pesan tetapi tetap menghibur, dibuat tertawa dengan tetap mempertahankan sifat aslinya.

Jajang menilai, gebrakan itu merupakan momen bahwa wayang mulai menceburkan diri lebih basah ke "kawah" hiburan alias wayang pergi ke "pasar". Jika dahulu wayang lebih menonjolkan sisi cerita, sekarang lebih ke pertunjukannya. 

Perubahan itu, tak sedikit menuai cibiran dari berbagai kalangan khususnya dari sejumlah dalang konservatif. Kelompok Giriharja dinilai telah melanggar pakem yang sejak dahulu telah dipatri dalam kesejarahan wayang. 

Namun, siapa nyana gebrakan itu justru mampu merebut kembali apresiasi masyarakat. Saat ini, mungkin ketika menyebut wayang golek sunda, orang akan begitu lebih cepat mengaitkannya dengan nama Asep Sunandar Sunarya sebagai pentolan kelompok Giriharja saat ini. 

Panitia siaran wayang di RRI Bandung pun sudah hafal benar. Jika Asep dalangnya, pertunjukan tidak bisa dilangsungkan di dalam ruangan, melainkan di luar ruangan karena membeludaknya penonton. "Masyarakat kita mendambakan sesuatu yang benar-benar bisa menghibur. Masyarakat modern sekarang tekanan hidupnya tinggi sehingga cenderung stres," ujar Jajang.
**

Namun, seperti yang diakui produser siaran wayang RRI Bandung Engkos Kosasih, tidak semua dalang berpenonton membeludak seperti Asep. Dari sekitar tiga ratus dalang se-Jawa Barat yang diundang mengisi acaranya pada minggu kedua dan keempat setiap bulan, menurut dia, tujuh puluh lima persennya baru mampu "mengisi" separuh aula atau sekitar lima puluhan orang. 

Engkos yang juga Wakil Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia Jawa Barat itu mengatakan, mau tak mau kreativitas dalang adalah kuncinya. Sayangnya, sebagian besar dalang terbentur oleh minimnya wawasan dan rendahnya pendidikan.

Alhasil, untuk melestarikan wayang yang ditetapkan sebagai Karya Agung Warisan Budaya oleh UNESCO PBB, dalang tidak bisa bekerja sendiri. Mereka butuh dukungan khususnya dari pemerintah untuk membuat wayang kembali berjaya seperti saat dahulu setelah pemerintah menggagasnya. 

"Sekarang kesenian menjadi bidang yang kurang diperhatikan oleh pemerintah termasuk dalam regenerasi," kata Jajang. 

Kalau si empunya bangsa dan negara ini tak menjalankan peran yang seharusnya dilakonkan, bukan tidak mungkin suatu saat wayang golek hanya tergolek sebagai hiasan.

Di sejumlah daerah di Jawa Barat, banyak dalang beralih profesi ke usaha lain karena jarang manggung. Wayang golek milik mereka, satu per satu masuk ke kotak. (Amaliya/"PR")***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar