MANUSIA lahir ke dunia adalah anugerah. Namun, kelahiran anak barulah potensi. Ia akan bermanfaat atau tidak bagi dirinya sendiri dan lingkungannya tergantung dari perlakuan (treatment) yang dilakukan terhadap anak manusia itu. Perlakuan itulah yang disebut pendidikan. Itu karena pendidikan bukan saja sekolah yang bersifat formal, tetapi juga pendidikan keluarga (informal), dan pendidikan yang dilakukan oleh lingkungan (nonformal). Bahkan, pendidikan yang dilakukan diri sendiri (autodidak) merupakan bagian dari pendidikan.
Karena kualitas kemanusiaan sangat tergantung dari perlakuan yang diberikan, sejarah kemanusiaan membuktikan bahwa semakin tinggi kualitas perlakuan akan semakin tinggi pula kualitas sumber daya manusia yang dihasilkannya. Semakin berkualitas pendidikan akan semakin berkualitas pula output yang dihasilkan.
Menilik kehidupan berbangsa dan bertanah air saat ini, bangsa Indonesia mengalami pasang surut dalam pergaulan dengan bangsa lain di dunia. Melihat dari sumber daya manusianya, sebagian dari mereka sudah mencapai derajat internasional. Mereka sudah berani dan mampu memenangi persaingan pada tingkat dunia. Namun, sebagian yang lain masih sangat tertinggal, bahkan sekadar mempertahankan hidup pun tertatih-tatih.
Terjadinya disparitas kualitas sumber daya manusia Indonesia akibat kebijakan pemerintah. Konstitusi yang dihasilkan, apa pun teksnya, sesungguhnya bertujuan mulia agar bangsa Indonesia mampu berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah bersama bangsa lain di dunia. Pelaksanaan berbagai aturan main justru lebih menentukan tercapainya tujuan bersama, menjadi bangsa yang maju dan beradab berlandaskan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kejujuran dan keikhlasan melaksanakan kesepakatan yang tertuang dalam konstitusi menjadi kunci keberhasilan suatu bangsa. Seburuk apa pun konstitusi, kalau dilaksanakan secara bersemangat dan konsisten serta dilakukan secara sinergis akan menghasilkan dinamika bangsa yang dahsyat. Kalaupun konstitusi, misalnya, bersemangat untuk diktator sekalipun, negara itu akan menghasilkan manusia diktator yang terhebat di dunia.
Kenyataannya, konstitusi Indonesia tidaklah buruk, apalagi diktator. Tapi kenyataannya, di berbagai sektor pembangunan terjadi saling sikut, tipa menipu yang menjadi lazim dilakukan agar mampu memenangi persaingan, sogok menyogok dan korupsi menjadi tabiat hampir di semua sektor. Yang paling menyedihkan, dunia pendidikan yang mestinya mampu merekayasa agar moral hazard ini dapat dihentikan justru terkontaminasi. Semua orang seakan mengubah "konstitusi" dari Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila menjadi keuangan yang maha esa.
Ada gejala distorsi di kalangan guru yang sudah sejahtera. Mereka yang sudah mendapatkan sertifikat justru telah merasa selesai bekerja, padahal tunjangan sebagai guru profesional sudah keluar. Artinya, kesejahteraan tidak serta-merta menjadikan seorang pengajar menambah energi untuk meningkatkan kualitas.
Gejala terjadinya stagnasi semangat guru mengajar pascasertifikasi sempat diteliti oleh Prof. Dr. Baedhowi, M.Si., Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Menurut dia, kualitas guru pascasertifikasi tidak ada bedanya dengan mereka yang belum bersertifikat.
Menjawab masalah ini, Baedhowi bersama Hartoyo, M.A., Ph.D. melakukan penelitian, 2009. Hasilnya menunjukkan bahwa motivasi guru segera ikut sertifikasi bukanlah semata-mata untuk mengetahui tingkat kompetensi mereka, melainkan yang lebih menonjol adalah motivasi finansial.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Prof. Dr. Wahyudin Zarkasyi, C.P.A., meningkatkan kualitas guru tidak mudah tanpa disertai peningkatan kualitas kesejahteraan guru. Itu karena orang yang kesulitan keuangan sering tidak rasional.
Itulah sebabnya peningkatan kesejahteraan juga harus dibarengi dengan karakter yang kuat, sehingga kesejahteraan dapat mendatangkan berkah, bukan malah menjadi musibah.
Namun bukan berarti, tanpa kesejahteraan, pendidikan bisa berjalan dengan baik. Yang baik adalah pendidikan berjalan lebih baik, dan para guru serta tenaga kependidikan yang lain juga sejahtera.
Ada kata kunci dari penyebab semua ini terjadi, belum semua pendidik memiliki karakter yang baik. Padahal, guru adalah agen perubahan yang akan mengubah pola pikir bangsa sebagai bangsa yang inferior menuju yang superior. Guru yang akan mengubah dari iklim yang chaos menuju kehidupan yang santun, saling menghargai, dan saling mengasihi. Guru adalah sumber berkah, bukan sumber musibah.
Lalu, bagaimana nasib bangsa ini jika guru yang menjadi pelaku perlakuan bangsa ini juga mengalami distorsi? Tentu, bangsa ini akan mengalami penyelewengan yang semakin parah. Pada gilirannya, semua sektor kehidupan tidak ada yang bisa dipercaya. Itulah sebabnya, guru pun harus memiliki karakter yang kuat, dengan memiliki kepribadian yang stabil.
"Karakter yang baik dan kepribadian yang stabil bukanlah diberikan, terjadi begitu saja. Melainkan dididik. Itulah sebabnya, Universitas Pendidikan Indonesia sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan terus memikirkan bagaimana agar pendidikan karakter dididikkan kepada para guru. Hal tersebut karena merekalah agen perubahan. Untuk mengubah bangsa harus diubah dari gurunya," kata Rektor Universitas Pendidikan Indonesia Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd., di Kampus UPI pekan lalu.
Dalam kerangka itu pula, UPI Bandung bersama Universitas Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia menyelenggarakan konferensi internasional ke-4 tentang pendidikan guru, yang digelar 8-10 November di Kampus UPI Jln. Setiabudhi Bandung. Konferensi tersebut membahas tentang pendidikan guru dalam mengembangkan karakter dan kultur bangsa.
Menurut Sunaryo, ada beberapa rambu dalam pendidikan karakter ini. Pertama, sekolah tidak perlu membentuk mata pelajaran baru yang terpisah dari mata pelajaran yang sudah ada. Namun, nilai dan karakter yang hendak dibinakan kepada anak didik diintegrasikan dengan mata pelajaran yang relevan.
"Pendidikan karakter jangan sampai menambah beban baru bagi siswa. Itu karena sekarang banyak muatan yang sudah dibebankan kepada sekolah, seperti pendidikan lingkungan hidup, pendidikan antikorupsi, mitigasi bencana, dan sebagainya," ujar Sunaryo.
Dikatakan, muatan pendidikan karakter harus dikukuhkan dengan usaha nyata sekolah dalam penciptaan kondisi yang kondusif, misalnya, melalui kegiatan ekstrakurikuler, keteladanan, sistem reward and punishment, dan lain-lain.
"Dalam hal ini, setiap sekolah perlu melakukan inovasi pembelajaran nilai, pembenahan karakter guru, memberikan contoh yang baik. Mengajarkan nilai demokrasi, misalnya, harus diajarkan dengan cara demokratis. Masa, mengajarkan nilai demokrasi dilakukan dengan cara otoriter," ujar Sunaryo. (Wakhudin/"PR")***
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=164135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar