Agak aneh memang, biasanya kata "subur" sering diartikan sebagai sebuah daratan yang hijau dan menghasilkan. Akan tetapi, bukankah subur juga bisa berarti sehat, baik, bertambah besar, kuat, dan sebagainya. Seperti halnya si Fulan, sekarang bertambah "subur ". Jadi, tak salah kiranya apabila laut pun dikatakan subur karena memiliki makna "subur" dalam artian berkembang, dikelola dengan baik dan sejahtera (Kamus Besar bahasa Indonesia edisi IV)
Adalah negeri Indonesia yang kaya ini memiliki luas lautan 5,8 juta km² hampir tiga perempat dari wilayah keseluruhan tanah air dengan jumlah 17.499 pulau (data Dinas Hydro Oceanografi TNI AL) dengan berjuta ragam flora fauna dan beribu budaya dan dialek bahasa.
Sungguh tak ada satu pun negara di dunia yang menyamai keindahan dan kekayaannya. Tak heran bila peneliti Arysio Santos dari hasil penelitiannya selama 30 tahun mengatakan bahwa benar Atlantis yang hilang itu bernama "Indonesia" (Atlantis, The Lost Continent Finally Found the Definitive Localization of Plato`s Lost Civilization-2005), yaitu sebuah tempat "Nirvana" yang pernah ada.
Tak heran pula apabila Presiden Soekarno saat terbang di atas bumi pertiwi setelah mengunjungi Aceh pada Juni 1948 di atas ketinggian langit mengatakan, "Negeriku bak titian zamrut khatulistiwa sungguh amat indah dan memesona."
Tidaklah heran apabila negeri ini begitu menghasilkan potensi kekayaan sebesar 149,94 miliar dolar AS atau setara Rp 1.499,4 triliun yang berasal dari sektor perikanan 35,94 miliar dolar AS, wilayah pesisir 56 miliar dolar AS, dari bioteknologi 40 miliar dolar AS, wisata bahari 2 miliar dolar AS, minyak bumi 6,64 miliar dolar AS, dan transportasi laut 20 miliar dolar AS (data DKP 2009).
Bandingkan dengan hutang luar negeri kita berdasarkan data Bank Indonesia sampai dengan akhir Januari 2010 sebesar 174,041 miliar dolar AS atau hampir setara dengan Rp 2.000 triliun (bila kurs per 1 dolar AS adalah Rp 10.000).
Bila saja potensi ini dikemas dengan baik, dapat membantu meringankan beban hutang dan dapat dipergunakan untuk kesejahteraan orang banyak. Laut sedang menunggu dirinya diberdayakan, sudah saatnya rencana pembangunan di Indonesia mengacu pada sektor kelautan dan bidang maritim atau yang menyertainya.
**
Ironisnya, saat ini, para pengguna laut, khususnya nelayan tradisional, banyak hidup jauh dari berkecukupan dan rakyat Indonesia termasuk dalam negara yang amat minim mengonsumsi ikan laut. Pada ikan inilah banyak mengandung zat antioksidan yang berguna bagi kesehatan dan kecerdasan.
Betapa banyak ikan-ikan segar kita harus hengkang karena dicuri para nelayan asing. Di daerah Kalimantan Barat saja, kerugian mencapai Rp 20 triliun per tahun akibat pencurian ini (data DKP Kalimantan Barat, 2009). Belum lagi daerah lainnya di perairan Arafuru, Laut Sulawesi, Natuna, dan lain-lain.
"Rumah" kita yang kaya akan potensi laut ini harus rela kiranya dimasuki maling-maling lihai setiap harinya. Alutsista dan sarana patroli kita amat terbatas bahkan cenderung tua dibandingkan dengan kebutuhannya. Letak geografis Indonesia yang amat terbuka dan luas ini amat memungkinkan para pemburu ikan ini masuk dari mana pun celah yang mereka inginkan.
Dengan demikian, laut menjadi harapan para pencari ikan asing seperti Vietnam yang saat ini menjadikan industri ikan sebagai bahan baku utama pabriknya sehingga suplai ikan harus tetap berjalan tak penting dari mana asalnya.
Keadaan tersebut diperparah dengan tercemarnya lautan akibat limbah tambang sebanyak 340.000 ton per hari di Papua dan NTB. Belum lagi tumpahan minyak oli kapal yang mencapai 80 juta liter per tahun.
Limbah asam sulfat (H2SO4) di Selat Madura dan perairan Situbondo, dari pengolahan kepala dan kulit udang ini mengancam keberadaan kehidupan biota laut. Padahal, 18 persen terumbu karang dunia tempat berkembangnya ikan-ikan, khususnya tuna, terdapat di Indonesia mulai dari utara Kalimantan, Halmahera, Papua, Arafuru, Nusa Tenggara, Bali, hingga selatan Kalimantan sepanjang 75.000 kilometer, menyimpan berbagai kekayaan ikan dan flora laut sebagai sumber daya yang harus dijaga.
Lebih jauh lagi, ternyata flora laut menjadi tempat berputarnya siklus suhu permukaan. Sebanyak 44 persen laut mampu menyerap CO2 dari lapisan atmosfer, selain juga tumbuhan. Bagaimana mungkin? Ternyata sistem mata rantai makanan di laut fitoplankton (alga) membutuhkan gas CO2 guna fotosintesis.
Karbon itu diserap dari atmosfir oleh plankton hidup yang kemudian akan menjadi sumber makanan ikan di laut. CO2 adalah penjaga agar suhu bumi tidak menjadi dingin, tetapi apabila terlalu banyak dan tak seimbang, terjadilah pemanasan global. Oleh karena itu, laut harus bersih dan terjaga plankton-planktonnya agar ikan dan manusia saling menjaga kelangsungannya.
Meski saat ini pemerintah telah menaikkan anggaran hingga 134 persen untuk Dinas Kelautan dan Perikanan pada tahun 2011. Belumlah cukup kiranya menjadikan laut sebagai upaya agar "laut subur ". Perlu paradigma dan keseriusan dari semua pihak, pemerintah dan rakyatnya, pembuat kebijakan dan undang-undang, penegak hukum di laut serta sarananya agar "lautan menjadi subur dan negeriku menjadi makmur".
(Kolonel Laut Ivan Yulivan, S.E., M.M., mantan Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut Bandung)***
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=165150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar