Jumat, 26 November 2010 | 09:06 WIB
KOMPAS/LASTI KURNIA
Masyarkat sipil dan buruh yang tergabung dalam Komite Aksi PRT melakukan aksi damai menyuarakan kekecewaan terhadap tindakan Pemerintah dan DPR dalam menangani berbagai kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT), Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (23/11). Pengunjuk rasa berharap DPR segera merevisi UU No.39 tahun 2004 agar menjadi UU yang melindungi Buruh Migran dan tidak terkecuali PRT.
Oleh Sulistyowati Irianto*
KOMPAS.com — Sebut saja Nani, pekerja rumah tangga Indonesia di Uni Emirat Arab, dijebloskan majikan ke penjara karena kedapatan memiliki handphone dan ada SMS dari seorang laki-laki Banglades.
Temuan penelitian Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia menunjukkan, memiliki handphone adalah larangan besar begitu masuk rumah majikan. Sekitar 80 persen tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia mendekam di penjara Uni Emirat Arab (UEA) karena tuduhan kasus asusila. Setelah diselidiki, ternyata berupa hubungan dengan laki-laki, termasuk hubungan bermesraan, melalui handphone (ponsel).
Terdapat jurang antara kultur Arab dan kultur Indonesia yang tidak dipahami banyak pihak terkait ”bisnis” migrasi. Secara budaya, pekerjaan domestik dianggap pekerjaan tambahan, kotor, berbahaya, ”undangan kerja dalam keluarga”, dan tidak dianggap layak masuk sebagai pekerjaan formal sehingga dianggap tidak perlu ada hukum khusus yang mengatur. Padahal, ketiadaan hukum ini adalah sumber utama berbagai persoalan.
Pemantauan dari representasi negara pengirim berhenti sampai pintu rumah majikan karena ketidakseimbangan dengan negara penerima. Selanjutnya, apa yang terjadi di dalam rumah adalah perwujudan relasi kuasa berdasarkan perbedaan kelas, ras, bangsa, dan jender.
Pembedaan
Ketiadaan hukum khusus dalam sektor domestik, baik di negara pengirim maupun penerima, menyebabkan pembedaan perlakuan yang sangat timpang antara pekerja formal dan informal. Salah satunya urusan TKW ditempatkan di kantor imigrasi, di bawah kementerian dalam negeri, bukan kementerian ketenagakerjaan.
Di rumah aman KBRI Abu Dhabi, setiap hari selalu terdapat 60-70 orang TKW yang lari dari rumah majikan karena berbagai sebab dan sekitar 100 orang di Konjen RI Dubai. Kasus lari dari majikan adalah kasus terbesar, yang oleh negara penerima dianggap merugikan.
Pemerintah mengatasi persoalan ini dengan mensyaratkan kontrak yang harus ditandatangani TKW di depan kantor imigrasi UEA. Artinya, ada multikontrak yang menyebabkan ketidakpastian hukum.
Pertama, kontrak di Tanah Air seperti dipersyaratkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004. Kedua, kontrak antara majikan dan TKW di depan pejabat imigrasi (dalam praktiknya dapat ditandatangani di mana saja, bahkan di jalan). Ketiga, kontrak antara majikan dan agensi di UEA yang sama sekali tidak melibatkan TKW, di UEA ditulis dalam bahasa Inggris dan Arab.
Di UEA keberadaan TKW Indonesia sangat diinginkan karena sifat patuh, loyal, pekerja keras, dan beragama sama. Namun, sekaligus mereka dilekati stereotip tidak menguntungkan sebagai ”mudah berpacaran”, ”imoral”, dan senang ”mejik”, yang semua menunjukkan jurang budaya.
Relasi ras, kelas, jender
Fenomena keberadaan TKW di UEA dapat dijelaskan dari kultur Arab dan klasifikasi yang dibangun berdasarkan identitas. Secara jelas kultur mereka membedakan ”orang Arab” dan ”bukan Arab” dalam kedudukan tidak setara. Kultur mereka juga menempatkan perempuan (istri, anak, apalagi ”pembantu rumah tangga”) sebagai ”milik” laki-laki.
Mengacu pada persoalan identitas, secara sosial-budaya TKW dilihat sebagai ”liyan” karena perbedaan ras, kelas, dan seksualitasnya sebagai perempuan. Mereka juga dilihat sebagai warga dari bangsa ”miskin”. Di rumah aman di UAE, kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga verbal dengan penyebutan ”bangsa asal” yang merendahkan. Pelaku kekerasan adalah juga (staf) agensi, yang di UAE terdiri atas berbagai bangsa dan kalangan (termasuk ningrat).
Relasi kelas ditunjukkan dengan adanya kekerasan seksual, dilakukan majikan laki-laki dan perempuan. Pembedaan terhadap perempuan Arab dan bukan Arab secara umum kelihatan dari keharusan TKW Indonesia menyerahkan biodata lengkap, termasuk foto wajah, badan, tanpa dan dengan penutup kepala. Padahal, perempuan berfoto tidak diperkenankan bagi perempuan Arab. Biodata dengan foto inilah yang menentukan apakah seorang TKW dipilih atau tidak oleh calon majikan di kantor agensi.
Ekonomi global
Jutaan rumah tangga telah menjadi keluarga multibangsa dengan kehadiran para TKW. Mereka menyumbang remitansi ke negara asal dan ekonomi global. Peran mereka dalam rumah tangga memungkinkan produksi barang dan jasa dalam perputaran ekonomi global terus berjalan.
Mereka juga memperkenalkan budaya kuliner Indonesia ke rumah tangga Timur Tengah, yang berpotensi menjadi industri masa depan. Keberadaan mereka menggiatkan bisnis perbankan, pengiriman barang dan uang, penerbangan, serta firma hukum.
Remitansi sosial juga dihasilkan. Setelah mereka pulang, ada yang memanfaatkan akumulasi modal untuk berwirausaha atau keterampilan berbahasa asing dan pengetahuan umum yang mengantarkan beberapa di antaranya menjadi kepala desa.
Memahami keberadaan fenomena migrasi dari berbagai sisi sepertinya menunjukkan upaya penghentian pengiriman bukan solusi terbaik. Apalagi, membekali mereka dengan ponsel.
Yang dibutuhkan penguatan perlindungan hukum berupa perjanjian bilateral dengan negara penerima. Tak kalah pentingnya, akses keadilan berupa pengetahuan hukum (yang melindungi dirinya), jaminan terhadap identitas hukum (memegang paspor dan kontrak), serta mekanisme bantuan hukum.
*Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia.
Kompas CetakKOMPAS.com — Sebut saja Nani, pekerja rumah tangga Indonesia di Uni Emirat Arab, dijebloskan majikan ke penjara karena kedapatan memiliki handphone dan ada SMS dari seorang laki-laki Banglades.
Temuan penelitian Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia menunjukkan, memiliki handphone adalah larangan besar begitu masuk rumah majikan. Sekitar 80 persen tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia mendekam di penjara Uni Emirat Arab (UEA) karena tuduhan kasus asusila. Setelah diselidiki, ternyata berupa hubungan dengan laki-laki, termasuk hubungan bermesraan, melalui handphone (ponsel).
Terdapat jurang antara kultur Arab dan kultur Indonesia yang tidak dipahami banyak pihak terkait ”bisnis” migrasi. Secara budaya, pekerjaan domestik dianggap pekerjaan tambahan, kotor, berbahaya, ”undangan kerja dalam keluarga”, dan tidak dianggap layak masuk sebagai pekerjaan formal sehingga dianggap tidak perlu ada hukum khusus yang mengatur. Padahal, ketiadaan hukum ini adalah sumber utama berbagai persoalan.
Pemantauan dari representasi negara pengirim berhenti sampai pintu rumah majikan karena ketidakseimbangan dengan negara penerima. Selanjutnya, apa yang terjadi di dalam rumah adalah perwujudan relasi kuasa berdasarkan perbedaan kelas, ras, bangsa, dan jender.
Pembedaan
Ketiadaan hukum khusus dalam sektor domestik, baik di negara pengirim maupun penerima, menyebabkan pembedaan perlakuan yang sangat timpang antara pekerja formal dan informal. Salah satunya urusan TKW ditempatkan di kantor imigrasi, di bawah kementerian dalam negeri, bukan kementerian ketenagakerjaan.
Di rumah aman KBRI Abu Dhabi, setiap hari selalu terdapat 60-70 orang TKW yang lari dari rumah majikan karena berbagai sebab dan sekitar 100 orang di Konjen RI Dubai. Kasus lari dari majikan adalah kasus terbesar, yang oleh negara penerima dianggap merugikan.
Pemerintah mengatasi persoalan ini dengan mensyaratkan kontrak yang harus ditandatangani TKW di depan kantor imigrasi UEA. Artinya, ada multikontrak yang menyebabkan ketidakpastian hukum.
Pertama, kontrak di Tanah Air seperti dipersyaratkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004. Kedua, kontrak antara majikan dan TKW di depan pejabat imigrasi (dalam praktiknya dapat ditandatangani di mana saja, bahkan di jalan). Ketiga, kontrak antara majikan dan agensi di UEA yang sama sekali tidak melibatkan TKW, di UEA ditulis dalam bahasa Inggris dan Arab.
Di UEA keberadaan TKW Indonesia sangat diinginkan karena sifat patuh, loyal, pekerja keras, dan beragama sama. Namun, sekaligus mereka dilekati stereotip tidak menguntungkan sebagai ”mudah berpacaran”, ”imoral”, dan senang ”mejik”, yang semua menunjukkan jurang budaya.
Relasi ras, kelas, jender
Fenomena keberadaan TKW di UEA dapat dijelaskan dari kultur Arab dan klasifikasi yang dibangun berdasarkan identitas. Secara jelas kultur mereka membedakan ”orang Arab” dan ”bukan Arab” dalam kedudukan tidak setara. Kultur mereka juga menempatkan perempuan (istri, anak, apalagi ”pembantu rumah tangga”) sebagai ”milik” laki-laki.
Mengacu pada persoalan identitas, secara sosial-budaya TKW dilihat sebagai ”liyan” karena perbedaan ras, kelas, dan seksualitasnya sebagai perempuan. Mereka juga dilihat sebagai warga dari bangsa ”miskin”. Di rumah aman di UAE, kekerasan tidak hanya fisik, tetapi juga verbal dengan penyebutan ”bangsa asal” yang merendahkan. Pelaku kekerasan adalah juga (staf) agensi, yang di UAE terdiri atas berbagai bangsa dan kalangan (termasuk ningrat).
Relasi kelas ditunjukkan dengan adanya kekerasan seksual, dilakukan majikan laki-laki dan perempuan. Pembedaan terhadap perempuan Arab dan bukan Arab secara umum kelihatan dari keharusan TKW Indonesia menyerahkan biodata lengkap, termasuk foto wajah, badan, tanpa dan dengan penutup kepala. Padahal, perempuan berfoto tidak diperkenankan bagi perempuan Arab. Biodata dengan foto inilah yang menentukan apakah seorang TKW dipilih atau tidak oleh calon majikan di kantor agensi.
Ekonomi global
Jutaan rumah tangga telah menjadi keluarga multibangsa dengan kehadiran para TKW. Mereka menyumbang remitansi ke negara asal dan ekonomi global. Peran mereka dalam rumah tangga memungkinkan produksi barang dan jasa dalam perputaran ekonomi global terus berjalan.
Mereka juga memperkenalkan budaya kuliner Indonesia ke rumah tangga Timur Tengah, yang berpotensi menjadi industri masa depan. Keberadaan mereka menggiatkan bisnis perbankan, pengiriman barang dan uang, penerbangan, serta firma hukum.
Remitansi sosial juga dihasilkan. Setelah mereka pulang, ada yang memanfaatkan akumulasi modal untuk berwirausaha atau keterampilan berbahasa asing dan pengetahuan umum yang mengantarkan beberapa di antaranya menjadi kepala desa.
Memahami keberadaan fenomena migrasi dari berbagai sisi sepertinya menunjukkan upaya penghentian pengiriman bukan solusi terbaik. Apalagi, membekali mereka dengan ponsel.
Yang dibutuhkan penguatan perlindungan hukum berupa perjanjian bilateral dengan negara penerima. Tak kalah pentingnya, akses keadilan berupa pengetahuan hukum (yang melindungi dirinya), jaminan terhadap identitas hukum (memegang paspor dan kontrak), serta mekanisme bantuan hukum.
*Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar