Sabtu, 27 November 2010

Ini Lho Cara Menghindari Obat Palsu

Rabu, 24 November 2010, 03:58 WIB


Amin Madani/Republika
Obat-obatan, ilustrasi


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Mengamati pemberitaan tentang obat tak ada habisnya. Walau selalu ada obat baru ditemukan, ada saja kasus-kasus obat palsu yang muncul. Itu yang mengemuka. Berapa banyak kasus yang tak muncul karena tak terendus oleh media bisa jadi tak terbilang jumlahnya.

“Obat palsu ada di mana-mana,” tandas konsultan dan pemerhati penegakan hukum di bidang obat dan makanan, Weddy Mallyan, pada Sanofi-Aventis Media Forum, di Jakarta beberapa waktu lalu. Sementara obat-obat ilegal dengan mudah ditemukan di pojok-pojok jalan atau kawasan. Biasanya, lanjut Kepala Seksi Pengawasan Pelayanan Obat, Ditjen POM Depkes Rim pada 1988-1997 itu, yang menjual adalah orang yang mempunyai kuasa di sekitar kawasan itu.

Disebut obat palsu karena ada obat aslinya. Sementara obat disebut ilegal karena tak memenuhi persyaratan dan tak terdaftar. Menurut Weddy, obat palsu termasuk obat ilegal. Sebenarnya, lanjut mantan PNS Badan POM RI ini, obat yang diedarkan di Indonesia haruslah memenuhi unsur aman, berkhasiat, dan bermutu. Dari ketiga unsur itu, yang paling utama adalah aman.

“Meskipun berkhasiat dan dibuat dengan bermutu, kalau tidak aman ya tidak ada gunanya,” tutur Weddy. Disebut aman karena risikonya lebih kecil dari manfaat yang dihasilkan. Atau, dengan kata lain, manfaatnya lebih besar dari risiko yang mungkin ada.

Kenyataan di pasaran, obat-obat palsu masih tersedia. Berdasarkan UU RI no 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, obat adalah bahan atau gabungan bahan termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penepatan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.

“Selama membicarakan manusia maka semua harus dikesampingkan karena tujuan akhir adalah nyawa atau jiwa manusia,” tegas Weddy. Kenapa terus ada kasus-kasus pemalsuan? Karena high profit tapi low risk dalam hal penegakan hukum. Kasus-kasus obat palsu tak hanya di Indonesia. Di negara semaju AS pun banyak ditemukan kasus-kasus seperti itu.

Bedanya, di sana penegakan hukum dilaksanakan dengan baik. Juga di negaranegara maju lainnya, pendekatan hukum sudah dilaksanakan dengan baik. Weddy memberi istilah “mulut dan hati sama.” Sayangnya, tidak ada satu negara pun di dunia yang punya data akurat tentang obat palsu karena masalahnya memang kompleks. "Pemerintah Indonesia pun belum pernah merilis angka-angka obat palsu," ungkap Weddy.

Secanggih apa pun dibuat, obat mana pun bisa dipalsukan. Di Indonesia belum dapat diketahui siapa pembuat obat-obat palsu. Namun, kata Weddy, bukan rumahan karena ada kaitan dengan investasi besar untuk alat-alat canggih. Yang jelas, tempat produksi berpindah-pindah untuk menghindari penggerebekan.

Data WHO menyebutkan, estimasi prevalensi obat palsu di negara maju sebesar satu persen, sementara negara berkembang 10 persen. "Tidak usah menunggu 10 persen. Satu persen pun kalau menyangkut nyawa manusia harus diselesaikan dan ditindaklanjuti," tegas Weddy.

Untuk menjamin keamanan obat ada regulasi yang mengatur mulai pembuatan sampai distribusi. Dengan demikian, meski pabrik farmasi kalau memproduksi obat tidak ada dokumen maka obat yang dihasilkan bisa dikategorikan obat ilegal.

Weddy mengungkapkan, sebenarnya gampang untuk menyebutkan obat itu legal atau ilegal. Karena semua obat ada dokumennya. "Maka, kalau obat tidak didukung dokumen, maka obat itu harus dimusnahkan."

Yang dipalsu Obat yang mana yang banyak dipalsukan? Menurut Weddy, semua obat berpeluang sama. Yang paling banyak adalah obat keras, yang dalam kemasan ditandai dengan lingkaran merah, karena faktor supply and demand. Masyarakat senang membeli sendiri karena jikalau datang ke dokter harganya mahal.

Yang lain adalah obat-obat fast moving, yakni obat yang cepat laku dan diiklankan seperti antibiotika, antiparasit, analgesik, antipirektik, antihipertensi, dan antidiabet.
Juga obat-obat lifestyle seperti untuk disfungsi ereksi, antikolesterol, dan obat pelangsing. Serta obat-obatan mahal.

Ciri obat palsu adalah harganya dekat dengan harga aslinya. Kenapa produsen tidak menuntut? Pemalsu tahu benar kalau pemilik obat asli tidak akan memasalahkan karena terkait reputasi. Obat palsu membahayakan semua pihak. Weddy memaparkan, obat palsu meruntuhkan kredibilitas. Kalau tidak kunjung sembuh dokternya terkena reputasi.

Lebih berat lagi investasi di Indonesia akan hilang. Weddy mengatakan BPOM adalah penyidik PNS. Tugasnya lebih pada menyelidiki mana yang tidak memenuhi syarat mutu. Kalau sudah terkait dengan istilah palsu, maka kasus itu masuk ke polisi. Jadi sebaiknya kepada siapa masyarakat seharusnya melapor jika menemukan obat palsu? Weddy menjawab, ke dua-duanya, baik ke BPOM maupun polisi.

Untuk menghindari obat palsu dia mengajak masyarakat melakukan langkah kecil bermanfaat. “Jangan membuang sembarangan karton pembungkus obat. Kalau membuang sobek atau hancurkan dulu,” lanjutnya. Itu untuk menghindari penyalahgunaan karton kemasan untuk diisi obat palsu. Karena, ada pihak-pihak yang menawarkan untuk membeli dos bekas dengan harga mahal. Pada apotek yang benar karton-karton itu akan disobek dahulu sebelum dibuang.

Menurut staf pengajar pada Fakultas MIPA Jurusan Farmasi, ISTN, ini tren obat palsu ke depan naik. Untuk itu LSM harus berteriak, dan harus ada pressure group yang menekan semua pihak. Selain itu, harus ada asosiasi yang menjadi tempat pasien mengadu. Produsen harus mau melihat ke lapangan.

Sementara konsumen atau masyarakat harus membeli obat di sumber-sumber resmi seperti apotek. Apotek yang ideal adalah apotek yang mencantumkan nama, nama apoteker, dan ada izin praktik.

Yang juga penting, pesan Weddy, jangan sampai memberikan resep dokter ke toko obat sebab toko obat berizin pun tidak menerima resep dokter. Selain itu, obat dengan logo merah pada kemasan hanya dijual di apotek. Sementara toko obat hanya boleh menjual obat dengan logo biru dan hijau.
Red: irf
Rep: Christina Purwatiningsih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar