LAWANG kejaksan di lingkungan Keraton Kanoman Kota Cirebon. Bagian-bagian bangunan keraton, persenjataan, dan simbol-simbol lainnya yang merupakan simbol-simbol bangunan kuno (artefak) kadang dilengkapi juga dengan "petatah-petitih" yang biasa diucapkan kalangan tua.* NURDIN M. NOER
Sun titip tajug lan fakir miskin.
HAMPIR semua wong Cerbon meyakini jika petitih di atas merupakan ucapan dan pesan Sunan Gunung Jati. Apalagi, kalimat itu sering kali dikutip kalangan Raja Cirebon, para kiai, guru, birokrat, bahkan kalangan agamawan non-Islam, termasuk di dalamnya kalangan Tionghoa. Namun, apakah benar petitih itu di-ucapkan oleh Sunan Gunung Jati?
Kalimat seorang sunan merupakan sesuatu yang harus dilakoni para kawula dan rakyatnya. Ia merupakan sabdoning pandito ratu (sabda raja yang harus dipatuhi) sekaligus khalifatullah filardli (wakil Allah di muka bumi). Oleh karena itu, apa pun yang telah diucapkan seorang raja, pantang dijilat kembali dan harus dilakukan oleh rakyat dan kawulanya secara mutlak.
Sejarawan Universitas Pa-djadjaran Ahmad Mansur Suryanegara pun seakan meyakini bahwa kalimat itu berasal dari Sunan Gunung Jati. Hal itu diungkapkannya dalam seminar sejarah di Cirebon, akhir Oktober lalu. "Banyak naskah peninggalan para wali dituliskan dengan bahasa tersirat dan simbolistik," katanya. "Tentu tidak bisa diinterpretasikan sesederhana bahasa tersuratnya. Harus dengan pemahaman yang bertolak dari pesan tersiratnya bila ingin diterapkan untuk menjawab problema pemba-ngunan masa kini."
Budayawan Keraton Kacirebonan drh. R. Bambang Iriyanto pun tampaknya me-ngalami kesulitan dalam mencari sumber petitih itu. Bersama penulis dan beberapa peneliti dari Bagian Penelitian dan Pengembangan Departemen (sekarang Kementerian-pen.) Agama, Bambang pernah menelusuri artefak dan manuskrip peninggalan keraton masa lalu. Namun, sumber petitih itu tak jua ditemukan. "Padahal, hampir semua artefak dan manuskrip kami udal-udal," katanya.
Ragu-ragu
Penata lakon sandiwara rakyat Cirebon, H. Sulama --yang biasa membolak-balik manuskrip untuk kepentingan gelar lakonnya-- pun merasa ragu-ragu akan asal-usul petitih itu. Bahkan, ia dengan berani menyatakan bahwa kalimat semacam itu diduga dimunculkan setelah masa kemerdekaan. Ia beralasan, pesan-pesan yang diumumkan pada abad ke-14, lazimnya, berbahasa Sansekerta. "Coba periksa bahasanya, seperti bahasa masyarakat sekarang," katanya.
Pendapat serupa dinyatakan Kartani, budayawan yang dikenal sebagai pendokumentasi manuskrip dari daun lontar. Ia menyatakan, tak ditemui petitih semacam itu di daun lontar. "Terutama kalimat sun titip tajug lan fakir miskin," ungkapnya. Kendati demikian, ia mengakui bahwa petitih itu memiliki nilai berharga untuk pendidikan.
Sangat sulit memang untuk mencari asal-usul petitih itu. Hal itu karena tak adanya catatan yang dilakukan oleh orang yang se zaman dan sulitnya mendapatkan refe-rensi yang berkaitan dengan hal itu. Selama ini, referensi yang dianggap paling tua di-tulis pada tahun 1689 oleh Pangeran Wangsakerta meski banyak sejarawan yang me-ragukan tentang manuskrip tersebut.
Hasan Effendi dalam Petatah-Petitih Sunan Gunung Jati (1994) memberikan gambaran bahwa petatah-petitih itu secara historis diciptakan Sunan Gunung Jati (sebagai seorang ayah) bagi anaknya dan sebagai pucuk leluhur bagi trah atau keturunan keraton Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan maupun Keprabonan. Sebagai seorang ayah, ia berharap agar anak dan keturunanannya kelak menjadi manusia yang mampu menjunjung tinggi hukum-hukum Allah. Selain itu, ia berharap agar mereka dapat melanjutkan perjuangan menauhidkan atau menyiarkan ajaran agama Islam.
Menurut Hasan, ada lima macam petatah-petitih yang mengandung nilai kesopanan, baik secara tersurat maupun tersirat. Petitih itu adalah den hormat ing wong tuwa (harus hormat kepada kedua orang tua), den hormat ing leluhur (menghormati leluhur), hormaten, emanen, mulyaken ing pusaka (hormati, sayangi, dan muliakan warisan leluhur), den welas asih ing sepapada (berbelas kasih terhadap sesama), danmulyaaken ing tetamu (memuliakan tamu).
Ada ucapan yang selalu dihadirkan pada saat pelal mulud oleh Sultan Sepuh Maulana Pakuningrat (almarhum) tentang "jimat". Simbol "jimat" di sini dimaknai sebagai siji kang dirawat, yakni dua kalimat syahadat. Demikian pula simbol-simbol yang ada di lingkungan Keraton Cirebon, seperti Panca Niti, bermakna lima titian, yang tak lain adalah Rukun Islam yang lima.
Selain itu, masyarakat Cirebon juga memiliki petitih, seperti yen sembahyang kungsi pucuke panah (jika salat harus khusyuk), yen puasa den kungsi totaling gundewa (jika puasa harus mampu menahan segala kesabaran), ibadah kang tetep (kuat dalam beribadah), lurus den syukur ing Allah (pasrah dan selalu bersyukur kepada Allah), aja nyindra janji (ja-ngan cidera janji), pemboraban kang ora patut anulungi (yang salah tak perlu ditolong), dan aja ngaji kejayaan ala rautah (jangan belajar untuk kepentingan yang tidak benar).
Di samping secara lisan di-ucapkan kalangan tetua, petitih juga dibangun pada simbol-simbol bangunan kuno (artefak), seperti bagian-bagian bangunan keraton, persenjataan, dan simbol-simbol lain. Kini, muncul pula petitih dalam masyarakat yang juga sering diucapkan, yakni yen pareng kudu kiyeng, yen bodoh kudu weruh lan yen pinter aja keblinger.
Simbol-simbol semacam itu hingga kini masih ada dan melekat sebagai filosofi masyarakat Cirebon. Namun, Hasan Efendi sendiri justru tidak memberikan jawaban secara pasti atas pertanyaan kapan petitih itu diucapkan? Siapa yang mengucapkan ? Dan sampai kapan ungkapan-ungkapan itu berlaku? "Semua itu belum terjawab," katanya. "Namun, keberadaannya akan terus menggema, sepanjang masyarakat masih mengindahkan nilai budaya warisan leluhurnya." (Nurdin M. Noer)***
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=165602
Tidak ada komentar:
Posting Komentar