Senin, 29 November 2010

Kualitas Guru tidak Hanya Terkait Program Sertifikasi


SEJUMLAH guru melihat puisi karya siswa SMP se-Kecamatan Kadungora di pelataran SMPN 1 Kadungora, Jln. Raya Mandalagiri, Kec. Kadungora, Kab. Garut, Kamis (25/11). Sebanyak 3.663 puisi karya para siswa dipersembahkan kepada para guru dalam rangka memperingari Hari Guru.* RIRIN N.F./"PR"


BANDUNG, (PR).-
Program sertifikasi mestinya dipandang hanya sebagai salah satu upaya memetakan kualifikasi pendidik dalam bentuk portofolio. Dengan demikian, upaya meningkatkan kualitas tenaga pendidik harus dilakukan dengan menciptakan suasana sekolah dengan guru di dalamnya, betul-betul sebagai sebuah masyarakat pendidik (community of educators). 

"Pemerintah harus sadar bahwa munculnya sebuah kebijakan harus dilihat dalam kerangka luas dan memperhatikan beragam faktor, tidak hanya asal. Kita jangan berpikir dangkal dengan mempersepsi bahwa dengan meningkatkan tunjangan, maka otomatis akan tercipta peningkatan kualitas. Portofolio bukan alat ukur peningkatan kualitas, sebab hanya merupakan gambaran kompetensi yang dimiliki seorang guru pada saat sekarang," ujar pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Prof. Dr. Said Hamid Hasan, Minggu (28/11). 

Ia dimintai pendapat tentang refleksi peringatan Hari Guru Nasional yang jatuh pada 25 November lalu. Salah satu wacana yang mencuat dalam peringatan Hari Guru adalah indikasi penurunan kinerja guru, justru setelah yang bersangkutan telah disertifikasi. Hal ini kian menambah rumit problematika pendidikan di Indonesia.

Sekretaris Sertifikasi Rayon X Jawa Barat, Prof. Uman Suherman, mengakui bahwa dari hasil evaluasi terhadap sertifikasi guru, ada kecenderungan penurunan kinerja pada 10 persen guru yang telah bersertifikat.

Namun, Uman tidak serta merta menyatakan sertifikasi bagi guru gagal atau tidak berdampak. "Uji kompetensi yang dilakukan setiap lima tahun sekali merupakan salah satu upaya untuk mengevaluasi kinerja para guru ini," katanya.

Menurut Said, secara teoretis, memang ada kaitan injeksi dari sisi kesejahteraan akan berdampak pada peningkatkan kualitas. "Namun, itu bukan satu-satunya faktor dan juga bukan yang paling menentukan. Yang terpenting adalah tercipta suasana dan iklim bahwa sekolah benar-benar menjadi pusat transfer pengetahuan dan pendidikan. Di sini harus ada sinergi antarguru, suasana kerja yang mendorong guru selalu termotivasi, termasuk infrastruktur pendidikan yang memadai," katanya.

Masih jauh
Ketua Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman menguraikan, jika berbicara mengenai kualifikasi guru di Indonesia, apa yang diharapkan pemerintah masih jauh dari kenyataannya. Saat ini, pemerintah mensyaratkan kualifikasi guru harus S-1. Sementara dari 2,7 juta guru di mana 1,5 juta guru adalah guru SD, baru 10 persen berkualifikasi S-1.

"Meski dalam perkembangannya, guru S-1 kini mencapai 50 persen. Ini yang sering kali disampaikan oleh akademisi mengenai kualifikasi guru yang harus S-1, pada akhirnya menyingkirkan guru-guru yang tidak berkualifikasi S1," tuturnya.

Oleh karena itu, pendidikan bermutu di Indonesia masih menjadi perdebatan. Dalam undang-undang, guru disyaratkan harus mampu memberikan pembelajaran yang aktif, kreatif, dan syarat ideal lainnya. "Apakah guru kita sudah mampu? Ini masih menjadi problem besar." (A-64/A-157)***

1 komentar:

  1. Perlunya pengukuran kinerja guru yang jelas, sehingga dapat terukur secara kualitas bukan diukur oleh gelar, sertifikat, ataupun kuantitas mengajar....

    BalasHapus