Asep Sunandar Sunarya (56), sejak kecil sampai sekarang hidup tidak bisa dipisahkan dengan wayang. Kakeknya seorang dalang, bapaknya dalang, pamannya dalang. Begitu juga kakak dan adiknya menjadi dalang. Tiga anak kandungnya juga kini menjadi dalang. Dengan latar belakang seperti itulah, secara otomatis hampir setiap saat selalu melihat dan bergaul dengan pewayangan.
"Tetapi walaupun dibesarkan di lingkungan wayang dan dalang, tidak semua putra Abah Sunarya jadi dalang karena ada yang menjadi pengusaha dan ulama," kata Asep Sunandar Sunarya.
Dirinya terjun menjadi dalang itu, selain darah seni yang mengalir dari keluarganya, juga karena ia sering menonton Abah Sunarnya mendalang. Lambat laun, profesi itu menular kepada dia. "Sejak kecil saya mulai belajar mendalang, mulai belajar sendiri, secara autodidak," ujarnya.
Asep Sunarya mengaku bahwa mulai mendalang sejak usia tujuh belas tahun saat ayahnya, Abah Sunarya, masih ada. Asep Sunandar Sunarya merupakan anak ke-7 dari 17 bersaudara. Dari 17 putra Abah Sunarya itu yang mengikuti jejak atau profesi Abah Sunarya hanya 4 orang, yakni Ade Kosasih, Iden, Ugan dan Asep.
Dalam dunia pewayangan ada yang disebut "pakem" atau tetekon yang harus dipegang teguh oleh seorang dalang saat ia mendalang.
"Tetapi dalam praktiknya sehari-hari, pakem tidak boleh menjadi pedoman yang kaku atau "rigid". Dalam praktiknya sehari-hari, seorang dalang harus bisa melakukan improvisasi. Terutama supaya tidak ditinggalkan penontonnya. Tetapi tetap, seorang dalang tidak boleh meninggalkan, apalagi melenyapkan pakem atau tetekon," katanya.
Asep sendiri m menolak tuduhan itukeluar dari pakem saat mendalang. "Kalau ada orang yang mengatakan bahwa saya mendobrak, misalnya dengan menjadikan pertunjukan wayang itu dari asalnya seni tradisional menjadi seni modern. Misalnya dengan mengubah sedikit-sedikit atau melakukan improvisasi dalam bentuk fisik wayangnya atau dalam ceritanya, saya tidak menolak pernyataan itu sebab itu tidak jadi masalah, sebab saya tidak keluar dari pakem atau tetekon," ujar Asep menegaskan.
Menurut Asep Sunandar, dalang wayang golek Sunda yang telah diangkat menjadi dosen dan malahan diangkat menjadi Guru Besar Luar Biasa (Profesor) oleh Institut De La Marionette International di Kota Sarvile Prancis itu, dalam setiap pertunjukan wayang golek, tidak pernah mengubah makna atau mengubah citra tradisional dari cerita wayang itu sendiri.
"Pokoknya, seorang dalang itu harus serbatahu. Ia harus cendekia yang cerdas. Karena apa? karena mendalang adalah pekerjaan seorang komunikator, seorang juru penerang, seorang guru, pendidik, pedakwah (dai)," kata Asep.
Pada akhir tahun 70-an atau awal tahun ’80-an Asep Sunandar Sunarya melakukan gebrakan yang cukup mengejutkan dalam mendalang. Ia misalnya mempersingkat waktu pertunjukan wayang golek, dari yang semula semalam suntuk atau 7-8 jam (biasanya dari pukul 21.00 sampai menjelang waktu subuh), ia mulai memperkenalkan pertunjukan wayang yang hanya berlangsung 1, 2, atau 3 jam.
Kenapa dalam seni pewayangan atau pedalangan itu ia banyak melakukan gebrakan-gebrakan?
"Saya melakukan gebrakan dalam pewayangan di Sunda karena waktu itu pewayangan atau pedalangan di Sunda sudah mulai ditinggalkan orang. Yang mau menonton pertunjukan wayang golek semalam suntuk sudah hampir menghilang," katanya.
Oleh karena itu, supaya keberadaan wayang di Jawa Barat itu bisa bertahan, eksis dan disukai masyarakat, secara otomatis seorang dalam itu harus melakukan terobosan-terobosan dan berkolaborasi dengan menggunakan ilmu tadi.
Agar menjawab tantangan penonton dan supaya keberadaan wayang tetap eksis sekaligus diminati generasi muda, seorang dalang itu harus bisa beradaptasi, berkolaborasi, dan apresiatif terhadap perkembangan zaman sambil tetap tidak terlalu meninggalkan tradisi, apalagi meninggalkan pakem. Menyinggung masalah keberadaan Semar, Cepot, Dewala, dan Gareng dalam pewayangan Sunda, sebetulnya dari Indianya tidak ada. Sebab eksistensi punakawan itu hanya ada dalam pewayangan di Indonesia (Jawa Barat). Itu hanya rekaan para wali yang dititipkan kepada para dalang. Nah, yang menyuarakan suara rakyat dalam cerita itu biasanya adalah ketiga tokoh tersebut. Cara itu ternyata lebih efektif dan komunikatif.
Masalah pewayangan ini boleh ada perubahan, asal terpakai dan disukai masyarakat dan menghasilkan uang. Hal itu disebabkan masalah pewayangan ini, merupakan budaya, artinya bisa diubah-ubah. Oleh karena itu, merupakan seni dan budaya, tetapi tetap tidak boleh keluar dari prisip semula, tidak boleh meninggalkan apalagi bertentangan dengan pakem. (Ahmad Yusuf/"PR") ***
Banyolan untuk Menahan Kebetahan Penonton
Ksatria Somantri tengah mencari pekerjaan. Datanglah Cepot menghampiri dengan suara khasnya. "Insya Allah kamu segera dapat pekerjaan. Di negeri kita mah lapangan pekerjaan banyak. Namanya juga negeri yang makmur dan sentosa. Tidak seperti di negara luar yang satu itu, susah sekali menarik pajak. Giliran sudah berhasil dikumpulkan, eh malah dimakan Gayung."
Demikian guyonan ala Dalang Umar Darusman Sunandar Sunarya. Guyonan semacam itu boleh jadi saat ini akan lebih mudah ditemukan di pertunjukan wayang.
Ya, kebanyakan dalang sekarang lebih memilih menyampaikan tuntunan yang berhubungan dengan fenomena yang hangat misalnya di bidang politik, hiburan, sosial, atau ekonomi.
Cerita semacam itu memang tidak ada dalam kesejarahan wayang. Dalang seperti Umar sengaja menciptakannya agar interaksinya lebih mudah diterima oleh penonton yang tengah dihebohkan berita Gayus Tambunan, terdakwa mafia pajak. Lawakan atau banyolan pun sengaja ditampilkan lebih sering.
Sebenarnya, itu dilematis bagi para dalang khususnya dalang-dalang beraliran Giriharja seperti Umar. Di satu sisi, penonton sekarang kemungkinan besar tak akan betah terus-menerus dituntun secara serius melalui tokoh-tokoh wayang yang sebagian besar karakternya memang serius. Oleh karena itu, mengusung lebih banyak banyolan paling tidak merupakan upaya menahan kebetahan penonton.
Di sisi lain, para dalang khususnya yang konservatif menuntut dalam pelestarian wayang harus lebih banyak mensyiarkan tuntunan ketimbang banyolan. Dahulu pun pertunjukan wayang bisa berjaya dengan lebih menitikberatkan kepada tuntunan terutama masalah kemasyarakatan daripada tontonannya.
Soleh, akademisi dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung menuturkan, jika dituntut memberikan tuntunan seperti dahulu, posisi dalang saat ini cukup sulit. Itu karena kondisinya memang sudah berbeda.
"Dahulu dalang bisa menjadi guru hampir dalam segala hal. Guru agama, guru dalam bidang pertanian, bahkan KB (Keluarga Berencana)," katanya. Namun, sekarang masyarakat sudah punya panutan lain untuk memenuhi kebutuhan itu.
Di bidang agama misalnya, sudah ada banyak dai yang bahkan kondang di televisi. Lalu juga sudah ada banyak ahli termasuk di bidang pertanian dan KB yang lebih mengerti bidang-bidang itu daripada seorang dalang.
Oleh karena itu, jika dalang dituntut berperan seperti dahulu, mau tak mau dalang harus menjadi orang yang lebih pintar daripada dai atau ahli-ahli tadi. Yang terjadi pada saat ini justru dalang di Jawa Barat khususnya, seperti yang diakui Persatuan Padalangan Indonesia (Pepadi) Jawa Barat, masih banyak yang kurang wawasan sehingga sulit untuk "bermain" di tuntunan yang sama dengan dahulu.
Itulah sebabnya dalang lebih memilih mengambil tema-tema yang sedang hangat untuk sekadar "ditoel" dalam pertunjukkannya. "Dengan kata lain sebenarnya di dalam banyolan itu juga ada tuntunannya," kata Soleh.
Umar mengatakan, banyaknya banyolan yang dia sampaikan ke penonton pun, tak lantas melanggar pakem (aturan main) pokok. Hampir semua dalang masih berusaha berjalan selaras dengan tetekon (batasan-batasan) pewayangan. "Ketika Sencamuka diceritakan harus mati, ya saya ceritakan mati," kata dalang di Pojok si Cepot yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi nasional itu.
Namun, ketika misalnya Arjuna yang dalam kisah tak pernah bernyanyi tetapi dibuat bernyanyi lagu band, itu adalah untuk menarik perhatian penonton. Jika perhatian penonton tetap tertuju kepada wayang, selanjutnya tuntunan pun bisa disampaikan.
Menurut Umar, jika dalang tidak mau beradaptasi dengan kondisi masyarakat sekarang, sulit untuk bisa eksis di tengah menjamurnya hiburan alternatif, khususnya di televisi. Apalagi, dengan persaingan stasiun televisi, acara-acara yang ditayangkan tak pernah lepas dari polesan tim kreatif masing-masing stasiun televisi.
Rating acara "Pojok si Cepot" di salah satu stasiun televisi nasional itu pun, menurut dia, turun ketika disiarkan pada jam yang sama dengan acara wayang wong di stasiun televisi lain. Namun, paling tidak, upaya yang dilakukan para dalang sekarang, akan mampu mempertahankan eksistensi wayang di jagat hiburan. (Amaliya/"PR")***
mari kita lestarikan budaya kita
BalasHapus