Oleh GEGER RIYANTO
TAMPAKNYA, ada sebuah anggapan umum bahwa pertumbuhan ekonomi akan selalu disertai dengan pertumbuhan konsumsi energi. Konsumsi BBM Indonesia telah melewati kemampuan produksinya pada periode Megawati, dan kebanyakan yang memerhatikan ini sepertinya memakluminya--setidaknya karena ini terlihat tak pernah menyeruak sebagai persoalan publik di masa itu.
Tak lama setelah itu, negeri ini harus menerima dampaknya. Dua kali. Saat negara-negara penghasil minyak bumi menikmati tingginya harga emas hitam ini, Indonesia hanya bisa gigit jari. Akan tetapi, semua seakan masih berupaya memaklumi tingginya konsumsi energi sebagai dampak pembangunan.
Perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi (elastisitas energi) di Indonesia mencapai 1,84 pada 2004. Namun taruhlah Malaysia yang dahulu berguru kepada kita perbandingannya 1,69, lalu Thailand 1,16, dan Singapura hanya 0,73. Lebih mirisnya, konsumsi energi per kapita di Indonesia mencapai 757,4 kg minyak per kepala pada 2003, sementara di Malaysia mencapai 2.318,4 kg per kepala, Thailand mencapai 1.405,7 kg per kepala, dan Singapura mencapai 5.158,7 kg per kepala.
Pertanyaan yang semestinya dijawab di awal adalah, apa sajakah faktor yang menyebabkan sebagian dari masyarakat ini boros dalam mengonsumsi energi? Terdapat sejumlah faktor, namun dalam tulisan ini saya hendak menekankan faktor persepsi atau kesadaran masyarakat tentang energi.
Energi adalah sebuah realitas sosial. Tiap-tiap masyarakat memiliki pandangan yang berbeda terhadap energi. Dalam hal ini, pasar, industri, negara, kondisi geografis, dan kebudayaan masyarakat setempat memainkan peran yang besar dalam menentukan realitas energi ini.
Di Jepang, realitas bahwa minyak bumi adalah sumber energi yang sangat terbatas dan akan segera habis tereksploitasi telah menancap keras di benak masyarakatnya. Ada semacam kesadaran umum yang memaksa orang-orang Jepang untuk berhemat energi dalam kesehariannya, seperti tidak menggunakan lift di gedung yang tidak terlalu tinggi, mematikan pemanas dan lampu saat tidak diperlukan, bahkan tak sedikit yang memilih untuk memakai pakaian hangat ketimbang pemanas saat musim dingin tiba.
Kesadaran ini sangat terkait dengan amat terbatasnya sumber daya minyak yang dimiliki Jepang. Sementara sebagai negara industri raksasa yang merupakan konsumen energi terbesar ketiga dunia setelah Amerika Serikat, Jepang mesti mengimpor hampir semua dari kebutuhan minyaknya. Artinya, Jepang sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak global. Setiap hari, masyarakatnya dibayangi oleh ketakutan akan krisis energi, ketakutan akan berhenti beroperasinya mesin-mesin yang mengisi perut mereka, dan menjaga mereka agar tidak mati kedinginan.
Elastisitas energi Jepang hanya 0,10. Penggunaan energi di Jepang lebih efisien daripada AS yang elastisitasnya 0,26, atau Kanada yang mencapai 0,17, dan jauh lebih efisien daripada negara-negara Asia Tenggara. Namun dalam mencapai ini, peran aktif dari masyarakat itu sendiri pun penting. Dari ilmuwan hingga komikus, dalam profesinya masing-masing manusia Jepang menjadi agen penyampai realitas bahwa minyak bumi merupakan sumber daya yang terbatas. Bila sampai habis, masa depan yang suram sudah menghadang.
Berbeda halnya dengan realitas energi dalam masyarakat Indonesia. Sebab keadaannya sendiri berbeda jauh. Di Indonesia, rasa kepemilikan terhadap energi cenderung tipis. Hal ini wajar, mengingat kenangan manis yang pernah dirasakan Indonesia dengan komoditas emas hitam ini, di samping Indonesia tidak mengalami musim dingin sehingga tidak membutuhkan penghangat. Pada 1974, negara mengeruk keuntungan yang luar biasa akibat meroketnya harga minyak dunia. Pada tahun yang sama, negara mulai memberikan subsidi terhadap BBM. Dikatakan, modus kebijakan ini adalah untuk memacu pertumbuhan ekonomi dari arah dalam (dalam negeri). Meski demikian, sudah sejak awal diberikan ini subsidi BBM lebih banyak dinikmati kalangan kelas menengah ke atas.
Masyarakat ahistoris
Sejak saat itulah, tembok bernama subsidi ini melindungi masyarakat dari gejolak pasar global. Namun, ia kini justru menghantam balik negara ini. Pasalnya, ia tak hanya melindungi, tetapi juga menghalangi daya terawang publik terhadap pasar global, yang sebenarnya telah mengajar dengan paksa negara-negara Barat dan Jepang untuk menghemat energi. Oleh karena itu, masyarakat merasa tetap nyaman dengan kebiasaan hidupnya yang boros. Energi menjadi realitas yang tidak berarti bagi masyarakat.
Kondisi ini kian dibuat rawan oleh lemahnya kontrol terhadap pasar dan infrastruktur yang tidak memadai. Bahkan di Jepang, kendaraan bermotor dipandang sebagai barang yang sangat mewah, namun di sini kendaraan bermotor dengan harga yang relatif murah diproduksi secara besar-besaran. Di samping itu, infrastruktur seperti kendaraan umum cenderung tidak memadai, bahkan tidak layak digunakan. Di sini kita tentu dapat menerka, apa arti kendaraan bermotor bagi masyarakat kita.
Tak heran, tabiat boros ini berkembang, pasalnya ia mendapatkan ruang yang luas di negara ini. Dan pada akhirnya, dampak buruknya kembali kepada masyarakat luas. Masyarakat yang tak pernah dibiasakan dengan wacana krisis energi ini, bagai mendapatkan hunjaman yang luar biasa ketika kondisi pasar global memaksa negara mencabut subsidinya. Yang masyarakat tahu hanyalah, bila harga BBM naik hidup mereka akan semakin sukar.
Sebenarnya sudah terlambat bila baru sekarang kita menyadari bahwa kebiasaan hidup yang boros ini tak bisa dipertahankan lagi. Begitu pula dengan realitas kita tentang energi. Seolah kita tak sadar saat ditegur, dan baru sadar saat ditampar. Bila pemerintah berasumsi bahwa peningkatan konsumsi energi tak terhindarkan dalam proses pembangunan, seharusnya mereka tak boleh tetap berkutat dalam asumsi bahwa sumber energi negeri ini masih begitu melimpah.
Pemerintah pun telah melalaikan tanggung jawabnya ketika mereka tak mampu membimbing masyarakat ini keluar dari kebiasaan hidup yang boros, dari realitas kita tentang energi yang sudah usang--ataukah pemerintah tak pernah mulai mencoba? Dalam hal ini kita seakan menjadi masyarakat yang ahistoris, yang tak mampu melihat keberadaan dan posisi diri dalam sejarah perjalanannya.
Namun, saya tetap optimistis. Ketika pemerintah sudah terlalu lambat dan hanya bereaksi secara meletup-letup, masyarakat akan mulai membenahi dirinya sendiri, melansir sebuah perubahan dari bawah. Dapat dilihat, wacana-wacana tentang krisis energi mulai dikembangkan oleh media-media massa. Para sopir angkutan umum bersekutu dan menuntut agar mereka tak disamaratakan dengan pengendara pribadi yang biasa boros.. ***
Penulis, sosiolog, alumnus Sosiologi Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar