Senin, 26 Mei 2008

Bangkitlah Bangsaku, Bangkitlah Pasarku!


              
Loro Blonyo                                                                  Penjual Jajan Pasar Gede          



Sesajen Pasar Gede




Senin, 26 Mei 2008 | 08:45 WIB

Menjelang Hari Kebangkitan Nasional, saya mewakili Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) hadir di Solo dalam acara yang diberi tajuk Festival Seni “Pasar Kumandang”.

Bagi orang Jawa, kata-kata “Pasar Kumandang” itu pastilah akan langsung mengingatkan kita pada pemeo “pasar sing ilang kumandange” – pasar yang kehilangan gaungnya.

Fenomena itulah yang sedang terjadi di negeri kita yang tercinta ini. Pasar tradisional semakin tergilas oleh kehadiran supermarkets dan shopping malls yang merupakan simbol-simbol kemajuan dan peradaban. Berbagai rekayasa “kebakaran” telah menghancurkan pasar tradisional. Dan sebagai gantinya, muncullah mall baru – seolah-olah kita selalu kekurangan tempat belanja.

Sebetulnya, pasar yang hilang itu memang tidak pernah tergantikan. Mall yang hadir adalah sebuah fenomena baru, bukan pengganti pasar. Kenapa? Karena kita semua tahu bahwa pasar tradisional adalah pusat budaya dan aktivitas sosial masyarakat kita sejak dulu. Ruh itulah yang hilang dan tak akan pernah tergantikan oleh kelahiran mall baru.

Festival Seni “Pasar Kumandang” di Solo itu merupakan sebuah penjelajahan ke lima pasar tradisional yang masih hidup di Solo, yaitu: Pasar Gede, Pasar Kembang, Pasar Triwindu, Pasar Nusukan, dan Pasar Legi. Acara ini diselenggarakan oleh Komunitas Pusaka Solo yang didukung oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat. Penjelajahan dilakukan dengan naik andong – kereta kuda khas Solo – yang beriringan menuju ke pasar-pasar tujuan.

Di depan Pasar Gede, sebuah panggung dipenuhi sesajen berupa tumpeng dan berbagai jajan pasar. Grebeg lesung Loroblonyo dari Karanganyar sejak pagi sudah menghibur pengunjung dengan atraksinya. Nyeni, ndesani, tetapi cukup otentik untuk mewakili salah satu tampilan seni rakyat yang semakin termarjinalkan. Belasan anak-anak kecil yang lucu-lucu juga menampilkan tari-tarian Jawa klasik. Mbah Prapto (Soeprapto Soerjosoedarmo) dari Padepokan Lemah Putih menyambut saya dengan “seragam”-nya yang nyentrik.

Pasar Gede adalah salah satu pasar tradisional di Indonesia yang secara arsitektur masih sama dengan desain aslinya, dan hingga kini menjalankan fungsinya secara terus-menerus sebagai pasar. Seperti juga pasar-pasar utama di kota-kota lain, Pasar Gede Solo berada tepat di tengah kota. Karena itu, Pasar Gede juga menghadapi ancaman bahaya yang sama dengan pasar-pasar tradisional lain yang menempati lahan realestat prima. Diratatanahkan, di-ruilslag, dan berubah wajah menjadi mall modern.

Untungnya, Walikota Solo Ir. H. Joko Widodo, memahami makna sejarah dan nilai budaya pasar-pasar tradisional di wilayahnya. Ia bahkan berada di ujung tombak pelestarian dan revitalisasi pasar-pasar tradisional.

Pasar Gede Harjanagara ini selesai dibangun pada tahun 1930, karya arsitek Herman Thomas Karsten. Setelah membangun Pasar Gede, Karsten juga mendesain dan membangun Pasar Johar di Semarang – dimulai tahun 1933 dan rampung pada tahun 1939. Karsten membeli biro arsitek milik Henri Maclaine Pont – juga seorang arsitek tersohor – yang harus kembali ke tanah airnya karena alasan kesehatan. Karsten adalah adik kelas Maclaine Pont di Sekolah Tinggi Teknik di Delft.

Bagi pengamat arsitektur Indonesia, Karsten adalah seorang yang istimewa. Ia bukan jenis orang yang sibuk di belakang meja gambar, tetapi selalu sibuk mengamati objek garapannya sebelum mulai mendesain. Siapa arsitek yang tekun memerhatikan ulah lalat? Karsten menyimpulkan bahwa lalat tidak mampu terbang tinggi. Dengan kesimpulan itu, ia mendesain pasar bertingkat dua. Los daging dan ikan – yang biasanya menjadi sasaran lalat – ditempatkan di lantai dua agar bebas dari serbuan lalat. Karsten juga membuat lantai pasar lebih tinggi dari jalan agar kuli panggul dapat menurunkan dan mengangkat barang-barang berat secara ergonomik.

Bila Pasar Gede di Solo mendapat dukungan penuh dari walikotanya, Pasar Johar di Semarang justru masih belum terbebas dari ancaman kepunahan. Padahal, Pasar Johar yang dibangun setelah Pasar Gede memiliki keunggulan arsitektur lebih banyak – antara lain: bentuk kolom cendawan segi delapan yang unik dengan teknologi struktur beton bertulang yang mampu menahan bentangan maksimal, lubang-lubang atap yang berpengaruh terhadap ventilasi silang, serta pencahayaan alami yang memberi kesan artistik dan unik.

Sebagai pecinta pasar tradisional, Pasar Gede Harjanagara adalah salah satu favorit saya. Di belakang pasar ada Timlo Sastro yang enak dan sangat populer. Saya sangat suka makan di sana sambil mendengarkan grup pemusik keroncong. Tetapi, sayangnya, di dekat situ ada tempat sampah dengan ribuan lalat.

Di pintu depan pasar, ada seorang penjual gempol plered yang punya banyak pelanggan. Gempol plered sendiri sebenarnya sudah mulai langka dan tidak banyak lagi dapat dijumpai. Padahal, minuman yang dapat disajikan hangat maupun pakai es ini sangat khas dan unik. Tidak jauh dari situ, ada penjual berbagai lauk-pauk yang dapat dibawa pulang. Beberapa makanan langka yang dijual misalnya adalah: cabuk (pepes dari wijen), gembrot sembukan (pepes dari daun sembukan), dan lain-lain.

Di dalam pasar, ada pula penjual dawet telasih yang sangat terkenal. Dawetnya berwarna putih, dibuat dari tepung beras. Santan encernya dicampur telasih yang membuatnya semakin khusus. Cabuk rambak yang khas Solo pun dapat dijumpai di dalam pasar ini.

Saya sempat mengatakan kepada Pak Walikota Joko Widodo agar tidak sekadar melestarikan Pasar Gede, tetapi juga membuatnya sebagai atraksi pariwisata utama di Solo. Saya contohkan Pike Place Market di Elliott Bay, Seattle. Pike Market lebih tua daripada Pasar Gede maupun Pasar Johar karena selesai dibangun pada tahun 1907. Sekarang, setiap wisatawan ke Seattle tidak akan merasa lengkap berkunjung ke kota sleepless ini tanpa singgah ke Pike Market. Bahkan, warga kota pun tidak pernah bosan untuk berbelanja di Pike Market – khususnya pada akhir pekan.

Saya juga bercerita tentang Pasar Petaksembilan di kawasan Glodok, Jakarta, yang mempunyai keunikan dan dapat dikembangkan menjadi tujuan wisata. Komunitas Jalansutra, misalnya, sudah menganggap Pasar Petaksembilan sebagai official meeting place.

“Apa resepnya untuk membuat Pasar Gede jadi tujuan wisatawan?” tanya Pak Walikota.

“Kita belajar saja dari pengalaman Pike Market dan Pasar Petaksembilan,” jawab saya. “Di Pike Market, berbagai jenis ikan paling segar dan bermutu paling baik, dijajakan dengan cara-cara yang lucu dan heboh, sehingga menarik perhatian wisatawan. Di Pike Market juga dijajakan berbagai dagangan unik yang sulit ditemukan di tempat lain. Hal yang sama juga ditemui di Pasar Petaksembilan. Saya selalu membeli telur asin dan bebek asin di sana, karena di sanalah yang terbaik. Juga banyak jajanan dan makanan yang tidak dapat dijumpai di tempat lain.”

Pak Walikota mengangguk-angguk. Tampaknya ia mengerti.
“Pasar Gede harus dibuat lebih bersih lagi, dengan fasilitas toilet yang juga bersih. Dawet telasih dan gempol plered yang terbaik harus ada di Pasar Gede. Makanan-makanan langka – seperti cabuk rambak, cabuk, gembrot, brambang asem, dan lain-lain – harus tersedia di Pasar Gede. Pastilah wisatawan akan datang. Untuk rakyat Solo sendiri, hadirkan sayur-mayur terbaik, daging dan ikan paling segar, pastilah mereka akan senang berbelanja di sini juga. Tidak perlu semuanya digarap, Pak. Fokus saja ke satu pasar dulu, sampai benar-benar sukses,” kata saya.

Ya, semoga Pasar Gede akan tetap lestari, dan menjadi tujuan wisata utama Kota Solo. Begitu juga Pasar Johar di Semarang, dan pasar-pasar tradisional di berbagai kota Indonesia lainnya.

Bangkitlah bangsaku! Bangkitlah pasarku! Semoga pasar tradisional kembali berkumandang – menjadi pusat budaya, sosial, dan ekonomi rakyat.


Bondan Winarno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar