Rabu, 28 Mei 2008

Masakan Tradisional, Kerinduan yang Jadi Tren


KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Lontong Cap Gomeh di salah satu restoran di Semarang, Jawa Tengah.



Rabu, 28 Mei 2008 | 10:03 WIB

JAKARTA, RABU - Apa yang kerap membuat seseorang rindu akan kampung halaman? Selain keluarga, biasanya banyak orang rindu akan makanan khas tanah kelahirannya.

Buat mereka yang tinggal di kota besar macam Jakarta, tentulah repot jika harus meluangkan waktu sekadar untuk mencicipi makanan kerinduan mereka. Selain masalah waktu, urusan transportasi yang mahal rasanya kurang sebanding dengan sepiring makanan tradisional di kampung halaman.

Kerinduan ini dicermati betul oleh para pelaku industri kuliner. Warung makan khas tradisional pun bermunculan. Mulai dari pinggir jalan hingga ke mall.

Di kawasan Casablanca, Jakarta Selatan, sejak beberapa bulan lalu dibuka gerai Rawon Setan Mbak Endang. Rawon setan "asli" asal Surabaya yang buka mulai tengah malam ini sudah tak asing lagi bagi warga Surabaya. Bagi pecinta kuliner di Jakarta pun nama rawon setan amatlah kondang. Bahkan orang Jakarta rela memburu rawon ini ke sana. Kini, tidak perlu lagi ke Surabaya untuk bisa mencicipi citarasa rawon yang kesohor itu.

Di mall, gerai makanan tradisional yang lebih komplet ada di basement Pasaraya Blok M, Jakarta Selatan. Namanya Wajan-wajan Tanah Air (Wata) Kitchen. Tempat makanan ala foodcourt ini memang bertujuan untuk melestarikan masakan Indonesia. Menu-menu yang disajikan sebagian besar adalah rekomendasi dari pakar kuliner, Bondan Winarno.


Bazaar
Satu tempat lain yang juga acap menjadi pusat perburuan makanan tradisional adalah bazaar. Seperti beberapa waktu lalu ketika Pemda DKI Jakarta menggelar bazaar pencanangan HUT Kota Jakarta di silang Monas, Jakarta Pusat, Minggu (26/5). Di sana ada berbagai macam makanan tradisional, mulai dari lontong cap go meh, nasi bali, nasi gudeg, soto lamongan, hingga jajan pasar tersedia di situ.

Harganya pun relatif terjangkau, sebab tidak perlu mengeluarkan ongkos pesawat atau kereta untuk membelinya. Seperti, nasi bali buatan Ningsih Hartanti. Pemilik catering itu menjajakan dagangannya dengan harga Rp 20 ribu per porsi.

"Ini untuk porsi komplet. Isinya sambal goreng kentang, ayam suwir, sate ikan tengiri lilit, tahu isi, dan sambal goreng tempe kacang. Kalau ingin lebih murah, bisa dikurangi atau campurannya diganti," ujarnya ketika ditemui di stand-nya.

Menurut dia, pada saat ini masakan daerah sedang menjadi tren di dunia wisata kuliner. Banyak yang cari. Oleh karena itu, dia tetap bertahan untuk berjualan masakan tradisional. Ia juga berusaha mempertahankan ciri khas dan cita rasa masakannya agar pembelinya selalu teringat akan kampung halaman.

"Kalau dulu masakan tradisional hanya ada di daerah, kondangan, atau acara-acara tertentu. Sekarang orang-orang di Jakarta pada nyari lho. Makanya saya tetap akan berjualan masakan daerah untuk mengobati kerinduan orang Jakarta," jelas dia.

Seperti halnya Ningsih, pedagang lontong Cap Go Meh dalam acara yang sama, Meike, juga menyatakan saat ini masyarakat yang tinggal di ibu kota dan sedang rindu kampung halaman tak perlu cemas, karena makanan daerah sedang menjamur. Dia juga yakin lontong cap go meh buatannya mampu menepis kerinduan tersebut.

"Jangan takut, ini asli semarang sama seperti yang jualan. Jadi orang Jakarta tak perlu lagi naik pesawat ke semarang kalau ingin makan lontong cap go meh," katanya berpromosi.

Dulu, lanjut Meike, masakan ini hanya tersedia pada saat cap go meh dan acara hajatan. Namun, berkembangnya wisata kuliner di Indonesia mampu mengangkat masakan tradisional tersebut. Sayangnya, penjual seperti Meike dan Ningsih hanya berjualan saat bazaar.

BOB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar