Oleh Edi Sukarmanto T.h.
IBARAT pencandu narkotika, Persib memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap "obat-obatan" bernama dana APBD Kota Bandung. Tingginya ketergantungan ini mulai terasa sejak dikeluarkannya Permendagri No. 13/2006 yang melarang pemberian dana bantuan hibah dalam pos APBD kepada klub. Peraturan ini tidak (belum) dijadikan momentum bagi pengelola Persib untuk lepas atau sedikit mengurangi pendanaan klub dari bantuan APBD.
Simak data berikut. Pada 2006, Persib telah menggunakan dana APBD Rp 11,5 miliar. Nilai itu meningkat tahun 2007 dengan suntikan dana awal dari APBD sebesar Rp 15 miliar ditambah Rp 7,5 miliar dari dana perubahan APBD. Belum termasuk bantuan dari Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 1 miliar.
Tahun 2008 ini, Pemkot Bandung kembali menyuntikkan dana hibah Rp 16,5 miliar. Jika melihat apa yang terjadi tahun lalu, pada pertengahan musim nanti tidak tertutup kemungkinan angka ini akan kembali bertambah. Apalagi, bila melihat jauhnya partai tandang yang akan dilalui Persib.
Masalahnya, sampai kapankah hal itu akan terus berlangsung? Mengapa Persib sulit melepaskan jerat "candu" APBD? Apakah Persib tidak memiliki potensi untuk mandiri?
Sumber pendapatan
Suporter memberi atmosfer luar biasa terhadap jalannya kompetisi. Namun, oleh pengelola klub, keberadaan suporter ini hanya dianggap sebagai penyemangat sebuah pertandingan dan belum dianggap sebagai objek pendapatan klub.
Dalam sepak bola profesional, terjadi suatu keadaan di mana klub dan aspek komersial merupakan dua kutub yang saling membutuhkan dan suporterlah penghubungnya.
Mengapa suporter menjadi sangat penting bagi suatu tim? Jawabannya adalah karena suporter merupakan konsumen utama dari "produk" yang dijual oleh sebuah tim.
Melalui suporter, tim akan mendapatkan sumber keuangan dari penjualan tiket, penjualan atribut klub/pemain, penjualan hak siar pertandingan, dan sponsorship (Deloitte & Touche, 2005).
Bagaimana dengan Persib? Semua orang tahu, Persib adalah tim besar. Persib merupakan salah satu atau bahkan satu-satunya tim sepak bola di Indonesia yang memiliki jumlah suporter yang luar biasa dengan tingkat fanatisme yang juga luar biasa.
Fanatisme ini selalu dibuktikan dengan kehadiran mereka di stadion yang tidak pernah membedakan apakah Persib akan berhadapan dengan tim lemah atau kuat, apakah Persib menang atau kalah. Mencermati fenomena tersebut, harusnya Persib mendapatkan penghasilan yang tidak sedikit.
Dalam hitungan yang sangat sederhana, jika stadion Siliwangi memiliki kapasitas 20.000 orang dan rata-rata tarif tiket yang dijual adalah Rp 30.000,00 maka dalam setiap pertandingan Persib akan menghasilkan pendapatan Rp 600 juta. Jika dalam setiap pertandingan biaya operasional yang dikeluarkan adalah setengah dari total pendapatan maka pada setiap pertandingan Persib akan mendapatkan keuntungan Rp 300 juta.
Dengan total pertandingan kandang satu musim kompetisi sebanyak 17 kali dan 7 pertandingan di antaranya terkena partai usiran maka dari penjualan tiket, minimal Persib akan mendapatkan keuntungan Rp 3 miliar. Jumlah yang tidak sedikit.
Bagaimana dengan atribut tim/pemain? Sama saja. Warna biru-putih yang dimunculkan dari kaos, bandana, penutup kepala, syal, dan bendera itu memancarkan nilai rupiah yang tidak sedikit. Bayangkan, jika 20% warga Jabar adalah penggila bola maka ada sekitar 8 juta orang yang siap merogoh dompetnya demi mendapatkan atribut Persib. Dan, jika masing-masing atribut memiliki harga Rp 5.000,00, dapat dibayangkan berapa besar jumlah pendapatan yang akan diterima Persib? Jumlah pendapatan ini akan terus membengkak jika kita memerhatikan sekeliling stadion. Ada banyak iklan yang mengelilingi lapangan. Semuanya memancarkan nilai rupiah yang tidak sedikit.
Melihat potensi di atas, harusnya Persib sudah dapat melepaskan atau minimal mampu mengurangi ketergantungannya terhadap dana APBD. Dan, pengelola Persib harusnya tidak perlu berniat menjual Persib kepada pihak investor, apalagi dengan nilai hanya Rp 50 miliar. Harga jual yang teramat murah bagi tim sekelas Persib.
Perseroan terbatas?
Ungkapan di atas bukan hanya sebuah harapan. Apalagi sekadar impian. Kemandirian haruslah dianggap sebagai tujuan. Pembentukan PT sebagai badan hukum Persib diharapkan dapat membuat Persib menjadi tim yang tangguh, baik prestasi maupun keuangan.
Butuh waktu yang cukup lama agar PT tersebut menjadi sebuah perusahaan yang tangguh. Pergeseran paradigma dari nonprofit oriented menjadi profit oriented bukanlah perkara mudah. Untuk mengubah paradigma ini diperlukan orang-orang profesional. Orang yang bisa memikirkan bahwa sepak bola adalah bisnis.
Sekecil apa pun, pendapatan adalah sesuatu yang sangat berharga demi kelangsungan hidup suatu usaha. Mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan yang ada haruslah dilakukan oleh pengelola Persib di kemudian hari.
Pada tahap awal setelah PT terbentuk, hendaknya pengelola Persib lebih memfokuskan sumber-sumber pendapatan yang telah ada di depan mata. Manajemen tiket pertandingan kandang dan mematenkan brand/ikon Persib (logo, nama) merupakan langkah serius yang perlu dilakukan oleh pengelola Persib agar nilai rupiah tidak tercecer di mana-mana.
Jika mengamati kondisi yang ada, amat disayangkan apabila selama Persib mengikuti Liga Indonesia (1994) tidak satu sen pun pendapatan tiket masuk ke dalam keuangan Persib. Rentang waktu yang sangat lama untuk belajar dari pengalaman diri sendiri. Jika tidak mampu melakukannya secara profesional, mengapa terus dipaksakan?
Oleh sebab itu, niat melakukan lelang terhadap pertandingan kandang yang dikemukakan oleh Ketua Harian Persib H. Edi Siswadi merupakan langkah awal yang tepat, dalam upaya menjaring rupiah melalui penjualan tiket (Pikiran Rakyat, 15/5/2008).
Demikian pula halnya dengan brand atau ikon (nama, logo) Persib. Tidak sedikit perusahaan yang mengambil keuntungan dengan menggunakan ikon Persib. Suatu hal yang wajar apabila Persib mendapatkan bagian keuntungan dari penggunaan ikon tersebut. Dengan demikian, mematenkan ikon Persib perlu dilakukan untuk mendapatkan payung hukum kepemilikan.
Upaya lain yang perlu dilakukan adalah mendapatkan sponsor atau investor. Agak aneh memang jika Persib tidak mampu mendapatkan sponsor atau investor. Apabila kita coba melihat jauh ke belakang, Bandung Raya pun mampu melakukannya. Untuk tim sebesar Persib harusnya mendapatkan sponsor atau investor bukanlah hal yang sulit.
Proaktif terhadap calon investor atau sponsor tampaknya perlu dilakukan oleh pengelola Persib. Tindakan proaktif adalah bagian dari promosi Persib.
Melihat besarnya potensi sumber pendapatan yang ada dan pengelolaan PT yang profesional, percayalah bahwa kemandirian keuangan akan segera terwujud. Dana APBD Persib pun bisa dialokasikan untuk kepentingan rakyat banyak. Rakyat senang, Persib menang.***
Penulis, dosen Jurusan Akuntansi FE Unisba dan "bobotoh" Persib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar