Oleh Prof. Dr. H. SUTARMAN, Ir., M.Sc.
AKTOR utama perberasan nasional adalah para petani di perdesaan. Mereka merupakan pekerja yang penuh dedikasi dan tak pernah berkeluh kesah sehingga profesi tersebut terus dihadapinya dengan penuh tanggung jawab, dan yang sangat menyentuh hati bahwa mereka tidak merasa hasil profesinya itu memiliki kontribusi besar bagi terciptanya ketahanan pangan dan stabilitas ekonomi serta politik nasional.
Padahal, kita mulai sadar bahwa perberasan kini sudah menjadi isu nasional bahkan global. Sebaliknya, para petani kita tidak hirau terhadap globalisasi perberasan ini, yang menjadi pusat perhatiannya adalah bagaimana agar mereka mampu keluar dari impitan ekonomi yang tidak berpihak kepada mereka.
Obsesi mereka tidak muluk, hanya ingin hasil jerih payahnya itu dihargai secara bermartabat, yaitu hasil produksinya bisa memperoleh keuntungan yang wajar. Layaknya para pekerja lain yang bergerak di subsektor industri dan jasa, pada subsektor ini mereka mendapat penghasilan yang baik, pemerintah pun selalu membuat kebijakan yang promereka, dan jika terdapat kebijakan yang kontradiktif dengan kepentingannya, mereka pun diwadahi dan dibenarkan untuk melakukan unjuk rasa.
Kendatipun demikian, kini upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan para petani sudah banyak dilakukan, antara lain dengan memberikan subsidi pupuk, bantuan benih, dan pembangunan/pemeliharaan irigasi teknis. Jika dihitung bantuan dan subsidi ini telah menelan dana APBN dan APBD yang tidak kecil, namun semua bantuan tersebut masih belum menghasilkan tingkat produktivitas yang diharapkan, dan hingga saat ini rata-rata produktivitas petani kita baru mencapai 4,7 ton GKP per hektare.
Bantuan pemerintah terhadap para petani harus dilakukan melalui dua dimensi, yaitu pada aktivitas on farm dalam upaya menekan biaya produksi dan meningkatkan produktivitas, dan off farm agar terjadi peningkatan pendapatan, antara lain berupa kemudahan dalam penjualan hasil panen dengan harga jual yang layak.
Dalam upaya peningkatan pendapatan petani, pemerintah telah mengeluarkan regulasi berupa Inpres No. 1 tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan, yang mulai diberlakukan 22 April 2008.
Substansi utama dari Inpres tersebut ditetapkan bahwa harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) adalah Rp 2.200,00 per kg dari sebelumnya Rp 2.000,00 per kg. Sementara HPP gabah kering giling (GKG) adalah Rp 2.840,00 per kg franko gudang Bulog dari sebelumnya yang hanya Rp 2.600,00 per kg. Demikian pula HPP beras di gudang Bulog naik menjadi Rp 4.300,00 per kg dari Rp 4.000,00 per kg.
Petani untung?
Penetapan HPP tersebut diharapkan dapat menaikkan pendapatan para petani, namun kenyataannya masih jauh dari harapan mereka. Alasannya adalah (1) penetapan HPP sudah terlambat karena banyak petani yang sudah telanjur melepas hasil panennya sebelum HPP ditetapkan, (2) HPP baru tersebut masih di bawah harga pasar yang ditetapkan para tengkulak, (3) HPP untuk gabah kering panen, pada kenyataannya harga pada tingkat penggilingan bukan pada tangan petani, sedangkan untuk mencapai penggilingan masih perlu ongkos tambahan.
Melalui kebijakan tersebut, masalah utama yang menyelimuti para petani masih belum terselesaikan secara nyata. Sebab, pada dasarnya walaupun HPP naik, tetap para petani tidak bisa menikmatinya karena kebijakan HPP datang tidak tepat waktu dan nilainya pun masih di bawah harga pasar, sedangkan marjin harga pasar masih dinikmati para bandar, tengkulak, dan para pedagang.
Petani serbagai aktor penting dalam pengadaan beras nasional masih belum mendapat prioritas penanganan dari pihak pemerintah, padahal para pekerja di subsektor lain mendapat perhatian pemerintah yang sangat intens. Apakah karena petani tidak banyak menuntut, ataukah mereka memiliki tingkat kepasrahan yang tinggi. Hal ini merupakan pekerjaan rumah pemerintah, dan kita menunggu dengan sabar akan keluarnya kebijakan propetani.
Penuhi cadangan
Bulog sebagai stabilisator harga beras nasional memerlukan stok aman agar tercipta keseimbangan antara supply dan demand beras. Suplai tinggi saat para petani panen, Bulog melakukan pembelian dan saat suplai rendah (paceklik), Bulog melakukan penjualan sehingga harga beras di pasar bisa terkendali. Itulah misi ideal Bulog.
Akan tetapi, terminologi "harga terkendali" berkonotasi bahwa harga beras di pasar adalah murah, dan upaya nyata untuk meningkatkan harga bagi kepentingan petani "nyaris tak terdengar". Namun, lain halnya jika harga beras di pasar sedang melambung tinggi maka pihak Bulog seperti "kebakaran jenggot" sehingga berbagai upaya dilakukan, misalnya dengan melakukan operasi pasar besar-besaran.
Dengan aksi seperti itu Bulog masih terlalu prokonsumen dan kurang proteksi terhadap produsen.
Target pengadaan beras Bulog untuk tahun 2008 sebesar 2,4 juta hingga 3 juta ton, tidak akan mendapat hambatan jika tahun 2008 Menteri Pertanian optimistis akan mampu mencapai target produksi sebesar 60,09 juta ton GKG. Jadi, pengadaan cadangan yang dilakukan Bulog akan tercapai karena Bulog telah membeli sebagian besar beras saat belum adanya HPP baru karena sudah panen. Dengan demikian, HPP lebih mementingkan penyerapan cadangan Bulog dan belum cukup upaya untuk meningkatkan pendapatan petani.
Bulog sebagai institusi yang memiliki otoritas penanganan logistik beras nasional, sebaiknya lebih menitikberatkan kepada kepentingan petani, jangan telalu berorientasi profit motive karena HPP yang ditetapkan melalui Inpres No. 1 tahun 2008 lebih berpihak kepada kepentingan Bulog dan sedikit sekali manfaat yang dapat ditangkap petani.
"The silent tsunami"
Beras yang semula tidak terlalu diperhitungkan eksistensinya dan hanya dipandang sebagai komoditas biasa, kini menyeruak menjadi komoditas strategis dan mampu mengguncang dunia.
Asia, Afrika, dan Amerika Latin sedang dilanda krisis pangan, karena kenaikan tingkat konsumsi, kenaikan kebutuhan dan harga bahan bakar fosil serta alih fungsi lahan pertanian, sehingga beras akan berubah menjadi komoditas mewah, karena suatu saat nanti akan menjadi barang langka, dan jika tersedia pun harganya akan mahal.
Kini negara-negara penghasil beras seperti Thailand, Vietnam, India, Cina, dan Brasil terpaksa menahan ekspor dan memprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan domestiknya, karena terjadinya pengurangan stok beras dunia, sebagai akibat meningkatnya konsumsi, alih fungsi lahan, dan meningkatnya konsumsi bahan bakar nabati.
Langkanya pasokan pangan dunia telah menyebabkan kerusuhan sosial di negara-negara Asia, Afrika, dan kawasan Karibia, antara lain Bangladesh, Kamerun, dan Haiti karena pemerintahnya tidak mampu mengendalikan harga sebagai akibat langkanya pasokan pangan.
Atas situasi yang memprihatinkan tersebut tak urung pihak PBB melalui Program Pangan Dunia (World Food Program) mengingatkan kepada dunia tentang kemungkinan akan terjadinya silent tsunami, yang akan melanda dunia dalam wujud kelaparan massal sebagai akibat langka dan mahalnya bahan pangan untuk kepentingan rakyat, bahaya ini akan lebih dahsyat dibandingkan dengan real tsunami, karena akan mampu memorak-porandakan jutaan umat manusia di seantero dunia, peringatan tersebut merupakan early warning system, yang harus diantisipasi secara signifikan oleh pemerintah Indonesia.
Indonesia masih beruntung, karena memiliki sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi yang digunakan mampu untuk memproduksi pangan, hampir semua jenis bahan pangan dunia bisa dibudidayakan di Indonesia, jadi dengan potensi yang dimiliki tersebut, kita tidak punya alasan silent tsunami itu akan melanda Indonesia, jika kita mampu mengatisipasinya.
"Gempa-gempa" kecil kini sedang melanda beberapa negara seperti Haiti, Banglades, Kamerun dan beberapa negara Asia Barat, dan belum disertai gelombang tsunami, yang ditandai dengan kelaparan dan kerusuhan sosial, hingga telah menumbangkan pemerintah Haiti.
Indonesia masih memiliki kesempatan untuk dapat mengantisipasi melalui beberapa program, antara lain (1) crash program, dengan cara mengintegrasikan antara kebijakan on farm dan off farm, (2) jangka panjang, melakukan intensifikasi dan ekstensfikasi secara simultan agar mampu meningkatkan produksi pangan, kurangi hasrat untuk melakukan alih fungsi lahan, (3) menggalakkan program diversifikasi pangan, dalam upaya mengurangi konsumsi beras, (4) berpihaklah secara nyata terhadap kepentingan petani, karena pengadaan bahan pangan kita 100% tergantung terhadap mereka, (4) tetapkan HPP yang layak agar petani bergairah dalam berproduksi, (5) efektifkan kredit usaha rakyat tanpa agunan sepenuhnya untuk kepentingan petani, (6) efektifkan Sistem resi gudang, agar stok beras tidak terlalu terkonsentrasi di Bulog dan petani akan menikmati harga tinggi, tapi kebutuhan yang sifatnya darurat pun bisa terpenuhi pula.
Penulis, anak petani, Guru Besar Teknik Industri, dan Dekan Fakultas Teknik Universitas Pasundan Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar