Rabu, 28 Mei 2008

Subsidi BBM untuk Biayai Pendidikan

Diarahkan untuk Mempercepat Pendidikan Gratis


MURID SDN 5 Wangunjaya Kec. Cisaga, Kab. Ciamis belajar di tenda karena sekolah mereka sedang diperbaiki oleh anggota Batalyon 323/Raider Banjar, beberapa waktu lalu. Kenaikan harga BBM memicu lonjakan harga barang-barang yang menjadi kebutuhan sekolah, sehingga sekolah harus mengurangi anggaran operasionalnya.* NURHANDOKO/"PR"


BANDUNG, (PR).-
Pemerintah harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pembengkakan biaya pendidikan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Di sisi lain, kompensasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) seharusnya lebih dialokasikan untuk pembangunan pendidikan, kesejahteraan, dan infrastruktur.

Demikian benang merah pendapat pakar manajemen pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. Nanang Fatah serta Rektor Universitas Katholik Parahyangan (Unpar) Dr. Cecilia Lauw. Mereka dimintai pendapat, Selasa (27/5), tentang kemungkinan melambungnya biaya pendidikan pascapengurangan subsidi BBM oleh pemerintah.

Menurut Nanang, kenaikan harga BBM pasti memicu lonjakan harga barang-barang yang menjadi kebutuhan sekolah. Kebutuhan dana operasional kegiatan sekolah membengkak. Di sisi lain, penerimaan sekolah yang tetap akan membuat daya beli sekolah terhadap barang-barang keperluan KBM menurun. Akhirnya, ini akan mengakibatkan penurunan kualitas pelayanan sekolah dalam KBM.

"Dalam jangka panjang, akan terjadi penurunan prestasi siswa dan kualitas pendidikan secara keseluruhan," ungkapnya.

Untuk menjaga kualitas pelayanan dan mutu pendidikan keseluruhan, sekolah harus dapat meningkatkan pendapatannya. Namun, peningkatan pendapatan sekolah tersebut tidak boleh dibebankan kepada masyarakat dengan menaikkan SPP atau DSP. "Hal ini menjadi kewajiban pemerintah sepenuhnya," ujar Nanang.

Pemerintah harus mencermati kembali APBN dan APBD untuk menambah alokasi dana untuk pendidikan. Dana subsidi yang dicabut dari BBM sudah seharusnya dipindahkan ke pendidikan, selain BLT untuk masyarakat miskin.

Tanpa pungutan

Cecilia Lauw menuturkan, bantuan langsung tunai (BLT) Rp 300.000,00 cenderung kurang dirasakan manfaatnya secara nyata karena jumlahnya yang relatif kecil, selain hanya habis untuk konsumsi sementara.

Padahal, melihat besaran BLT yang disalurkan kepada jutaan masyarakat kurang mampu, sebenarnya pemerintah mempunyai banyak dana untuk digunakan sebagai sumber pengembangan sektor pendidikan melalui bantuan pendanaan sekolah. "Deangan demikian, konsep pendidikan gratis yang kerap diwacanakan dapat terealisasi tanpa harus ada lagi pungutan," ucapnya.

Kendati demikian, ia berpendapat perlunya keseimbangan penyaluran kompensasi BBM ke tiga sektor yang menurutnya penting untuk diprioritaskan yaitu masalah pendidikan, kesejahteraan, dan infrastruktur.

Cecilia menambahkan, BLT tetap harus disalurkan pada kalangan tidak mampu karena problem kenaikan harga BBM ini memang mendadak. "Mereka tetap harus mendapat bantuan menjalankan kehidupan mereka di tengah kenaikan harga agar tidak timbul lagi masalah kesejahteraan," ucap Cecilia. (CA-178/CA-172)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar