Jumat, 30 Mei 2008

Kembangkan Budaya "Dilarang Mencontek"

Korupsi Lahir dari Hasil Pendidikan tidak Jujur

BANDUNG, (PR).-
Perilaku menyontek dalam proses ujian adalah simpul strategis yang harus dibasmi dalam proses ujian dunia pendidikan Indonesia. Karut-marut dunia pendidikan kita menyisakan persoalan yang tidak kunjung selesai, sehingga sulit untuk memikirkan awal untuk mengubah dan simpul mana yang harus dibongkar.

"Selama ini manusia tidak jujur dan korupsi lahir dari hasil pendidikan kita. Setelah tamat, mereka menjadi polisi, tentara, hakim, jaksa, guru, pegawai negeri, pengusaha yang berbaur dengan lingkungan eksternal yang sudah rusak oleh generasi pendahulu," demikian disampaikan Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof. Dr. Buchari Alma di Bandung, Kamis (29/5). Ia menyampaikan pemikiran tentang benang kusut persoalan pendidikan di negeri ini.

Menurut Buchari, budaya menyontek dalam fenomena ujian telah terjadi di beberapa tingkat pendidikan. Dari sekolah dasar (SD) sampai strata 3 (S-3). "Dalam ujian selalu saja terbuka kesempatan dan banyak peluang untuk menyontek. Murid sama murid menyontek. Guru sama guru jika diuji menyontek, atau guru memberikan jawaban soal dalam ujian nasional (UN)," ucapnya.

Buchari mengatakan, harus ada ketegasan untuk mengembangkan budaya "Dilarang Keras Menyontek". "Saya pernah melakukan survei dan memberi angket kepada para mahasiswa. Hasilnya sangat mengagetkan. Seratus persen menyatakan pernah menyontek dalam ujian dan lebih dari separuhnya sering menyontek," ucapnya.

Membodohi

Lebih lanjut, kata Buchari, akibat dari menyontek, lembaga pendidikan turut membodohi generasi muda bangsa. Hal tersebut akan memunculkan banyak perilaku negatif seperti rasa tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, dan hanya suka pada jalan pintas dengan membuat catatan-catatan kecil untuk bahan contekan. Perilaku tersebut menggambarkan tindakan menghalalkan segala macam cara yang berakhir pada arah menjadi koruptor.

"Alasan klasik selalu muncul untuk membiarkan berkembangnya perilaku menyontek. Kelas terlalu besar, misalnya. Sebagai gambaran, dalam satu kelas terdapat 50-60 orang, sehingga tempat duduk terlalu dekat. Pada akhirnya mereka mudah untuk menyontek atau kerja sama," tuturnya melanjutkan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Buchari memberikan sebuah solusi untuk mengatur sebuah pelaksanaan ujian dengan membagi peserta didik menjadi dua kelompok. Hal itu untuk meminimalisasi kemungkinan untuk bertindak tidak jujur dalam ujian.

"Metode ini memacu siswa untuk belajar lebih giat, rajin membaca, dan fokus pada pelajaran sehingga tidak bergantung pada contekan. Akibatnya semua prestasi hasil belajar adalah benar-benar murni mencerminkan kemampuan mereka," katanya menambahkan.

Dengan demikian, sistem ujian nasional (UN) yang dikatakan sebagai bentuk pelanggaran hak-hak anak didik tidak perlu menjadi hal yang dipersoalkan lagi. Selanjutnya, UN akan menjadi hal yang biasa dan tidak memerlukan adanya pengawasan ketat karena perilaku jujur dalam pelaksanaan ujian sudah menjadi sebuah budaya nasional. "Sejatinya, budaya ini akan mengurangi perilaku korupsi, uang negara bisa dihemat, dan gaji guru bisa naik," tuturnya.

Komitmen

Menindaklanjuti hal tersebut, Buchari menegaskan perlunya komitmen jelas para pemegang kebijakan mulai dari presiden hingga tampuk pimpinan pemerintah daerah untuk mendeklarasikan pelarangan menyontek di semua institusi pendidikan. "Tidak perlu malu untuk mendeklarasikan hal ini karena kita semua adalah produk yang pernah nyontek," ungkap Buchari.

Ia menguraikan fenomena yang terjadi di masyarakat. Pengumuman tingkat kelulusan dalam UAN di tiap daerah disalahtafsirkan oleh segelintir orang. Mereka berlomba menaikkan peringkat kelulusan UN dengan berbagai cara, positif maupun negatif.

"Kita sulit mencari pegawai, kasir, mitra bisnis, bahkan mencari calon pemimpin yang jujur. Kalaupun ada pemimpin yang jujur, orang-orang sekitarnya banyak yang tidak jujur, sehingga menghambat kinerja sang pemimpin. Akibatnya, bangsa ini sulit maju," katanya. (CA-172/CA-186)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar