Kamis, 29 Mei 2008

Fenomena Artis Jadi "Vote Getter"

Oleh LIA MULIAWATI

PESTA demokrasi pemilihan umum (pemilu) di negeri ini sudah lama menjadi "lahan baru" bagi sejumlah artis yang mencoba ikut berebut kursi di legislatif. Bahkan mereka kini sudah merambah "pasar" pemilihan kepala daerah (pilkada). Partai politik (parpol) yang mengusung sosok artis atau selebriti mencoba "menjual" figur artis untuk meraup suara sebanyak mungkin, agar "jago"-nya terpilih menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah.

Harus diakui, kesuksesan sebagian kalangan artis dalam memenangi pemilihan kepala daerah mencerminkan perubahan sikap pemilih yang kurang percaya terhadap calon dari kalangan birokrat. Bisa jadi fenomena ini menjadi sebuah cermin ketidakpercayaan masyarakat pemilih terhadap para calon pemimpinnya yang sebagian besar maju dari kalangan pejabat atau mantan pejabat. Tetapi, tak semua artis bisa sesukses Rano Karno sebagai Wakil Bupati Tangerang dan Dede Yusuf sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat.

Pasca Pemilu 2004, artis juga dijadikan sebagai vote getter dalam pemilihan kepala daerah, seperti Marissa Haque yang berpasangan dengan Zulkieflimansyah dalam Pilkada Gubernur Banten tahun 2006. Dalam berbagai pilkada tahun 2007 artis yang maju dalam pemilihan kepala daerah adalah pasangan H. Ismet Iskandar-Rano Karno dalam Pilkada Bupati Tangerang dan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf dalam Pilkada Gubernur Jawa Barat.

Artis masuk parpol juga terjadi di tahun 2008 seperti halnya di tahun-tahun sebelumnya, seperti "Oneng" atau Rieke Diah Pitaloka yang bergabung dengan PDI Perjuangan dengan alasan kesamaan perjuangan. Karena dinilai efektif sebagai vote getter, artis juga kerap menjadi juru kampanye pasangan tertentu dalam pemilihan kepala daerah.

Benar atau tidak, opini yang muncul bahwa artis melenggang ke pilkada awalnya mungkin bukan niatan sang artis sendiri, namun bujukan dan rayuan partai politik. Artis menjadi sasaran rayuan, karena popularitasnya sangat layak dijual. Selain itu, dengan kondisi memungkinkan, bahwa tren artis masuk parpol juga sangat menguntungkan parpol. Sebab, popularitas artis bisa menjadi modal untuk memperbesar potensi raihan suara dalam pemilihan kepala daerah maupun presiden, sehingga menjadi lumbung suara bagi setiap partai politik. Wajar jelang penilu 2009, setiap partai politik berebutan mencari artis yang potensial.

Pada sisi lain, masyarakat lebih mengenal para artis yang kerap muncul di televisi ketimbang para birokrat atau pensiunan TNI dan polisi. Kondisi tersebut, tentunya akan dimanfaatkan partai politik dalam mendulang suara setiap pemilu kepala daerah. Selain itu, masyarakat juga akan menilai artis mana yang kompeten untuk dipilih.

Dari berbagai survei membuktikan, bahwa untuk memenangi pilkada itu, popularitaslah yang nomor satu. Sementara misi dan visi itu menjadi nomor sekian. Itulah sebabnya, artis-artis banyak didekati parpol untuk menjadi jago mereka. Karena sangat sedikit dari kader mereka yang benar-benar ngetop. Maka dengan menjagokan artis, parpol-parpol tak perlu capai-capai memopulerkan terlebih dahulu jagoannya. Namun yang disesalkan, aspek kualitas menjadi dinomorsekiankan oleh parpol. Karena pragmatisnya, parpol cenderung mengabaikan bobot kepemimpinan jagoannya.

Seorang pemimpin harus memiliki integritas dan menghindari sikap dan perilaku manipulatif, misalnya menyiapkan rencana atau agenda tersembunyi, yang biasanya hanya menguntungkan kelompok tertentu atau diri sendiri, tetapi merugikan kelompok masyarakat lain. Bila ini terjadi, sang pemimpin mengorbankan sendiri reputasinya sehingga akan cepat kehilangan kredibilitas dan dukungan jangka panjang.

Secara harfiah "integritas" (dari bahasa Inggris integrity) diartikan sebagai ketulusan hati, kejujuran, dan keutuhan (kepribadian). Kata ini menjadi amat penting bahkan menjadi salah satu kata kunci dalam kepemimpinan, baik di dunia bisnis maupun politik. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah para calon pemimpin dari kalangan artis tersebut memiliki integritas? Apakah mereka punya sistem dan urutan prioritas nilai (value) yang jelas dan baik? Adakah mereka jujur, selalu berterus-terang dan tidak manipulatif? Apakah mereka selalu mengatakan kebenaran dan memegang janji meski keadaan sudah berubah menjadi lebih sulit sejak mereka mengucapkan janji itu?

Apabila belum memiliki konsep yang jelas dan matang di perpolitikan, jangan asal terjun, karena dapat berakibat fatal. Mungkin mereka akan menang dalam pemilu atau pilkada karena masyarakat tertarik dengan figur mereka. Tetapi apakah mereka mampu bekerja dengan baik, itu yang menjadi tantangan. Sementara permasalahan di Indonesia sekarang sangat beragam dan tidak mudah menanganinya. Sehingga, apabila seorang artis hanya berbekal kepopuleran dan akhirnya terpilih menjadi kepala daerah, apakah nanti mampu menangani tugas berat di daerahnya?

Namun yang terjadi saat ini, pencalonan seorang artis untuk menduduki jabatan di birokrat seperti yang diusung sejumlah parpol kecenderungan hanya dimanfaatkan sebagai "mesin" untuk memperoleh keuntungan bagi parpol itu sendiri melalui popularitas artis. Artinya, parpol hanya memanfaatkan artis untuk memperoleh dukungan massa guna meraih kemenangan dalam pemilu maupun pilkada. Bahkan ada yang lebih ekstrem yakni memanfaatkan artis untuk mencari dana bagi parpol, sehingga jika para artis maupun selebriti kurang jeli dan matang dalam berpolitik, justru bisa merugikan diri artis itu sendiri. Dari sisi materi, mungkin artis sudah berkecukupan. Namun terkadang ini yang justru dimanfaatkan parpol untuk mencari keuntungan bagi kelompoknya.

Kemenangan dalam pilkada sebagaimana yang ditargetkan parpol yang mencalonkan artis, dapat tercapai. Parpol menganggap dengan mencalonkan artis dapat dengan "mudah" memenangi pilkada. Atas dasar itu, sebagian parpol "berani" mencalonkan artis untuk bersaing memperebutkan kursi kepala daerah atau wakil kepala daerah di sejumlah kota/kabupaten bahkan provinsi di Indonesia. Meskipun demikian, popularitas artis tidak serta-merta menjadi jaminan untuk dapat memenangi pilkada, karena ada artis yang dicalonkan parpol untuk ikut pilkada di sejumlah daerah ternyata kalah. Tentunya semua itu akan kembali kepada hati nurani rakyat yang akan memilih untuk sosok pemimpin selama lima tahun ke depan.***

Penulis, dosen Kopertis Wil. IV Jabar-Banten, dpk. Fisip Unpas Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar