Kamis, 29 Mei 2008

Paradigma Baru Dalam Kurikulum Seni

Oleh H. RAMLAN

FENOMENA kurikulum pendidikan tinggi seni di Indonesia tampaknya masih mencari bentuk ideal dan berusaha mengarahkan busurnya pada fokus sasaran yang bergerak cepat dan dinamis. Ironisnya, perguruan tinggi bidang seni yang terus menjamur belum mampu memaksimalkan dalam memanfaatkan potensi seni tradisi yang ada dalam masyarakat. Selain itu, diperparah dengan belum adanya filter untuk menyaring seni yang datang dari luar. Bahkan, para pendidik seni pun masih mengacu ke pemikiran barat, baik untuk materi, teknik, aliran, atau metode pembelajaran.

Dalam perkembangan pendidikan seni, selain melihat perlunya kurikulum berbasis kompetensi yang berdasar pada multikultural, juga dibutuhkan adanya dialog antarbudaya. Seni budaya tradisional sangat beragam dan punya potensi yang tak pernah habis untuk dikembangkan. Yang tak kalah pentingnya, harus ada pergeseran paradigma dalam melihat pendidikan tinggi seni sehingga memunculkan sikap terbuka dan kritis bagi setiap perguruan tinggi bidang seni yang ada.

Dalam konteks tersebut, setiap pendidikan tinggi seni tak bisa lagi ada sikap sektarianisme, eksklusivisme, dan parsialisme. Namun, memerlukan perkembangan di masa datang, selain didukung dengan penelitian juga pendataan tentang berbagai seni yang ada di masyarakat perlu dimaksimalkan. Artinya, seni masa kini harus bisa mengimbangi perkembangan teknologi, dan riset-riset seni yang mutlak diperlukan.

Alasan bahwa perkembangan seni belakangan ini berlangsung dengan sangat pesat, tentunya dengan berbagai ragam ekspresi kreatif seni tidak saja harus berkompetisi di wilayah lokalitas, tetapi pada forum regional dan internasional. Di samping, munculnya kegairahan dalam mengeksplorasi seni multimedia, kolaborasi, video art, hingga seni konsep, agar memacu kreativitas secara lebih intens. Termasuk pula munculnya berbagai event seni internasional seperti halnya biennale, art forum, ataupun yang berlabel alternatif lainnya tentu harus disambut antusias.

Namun dalam perkembangan kekinian, pendidikan formal seni mengalami kendala kelambanan yang sama. Taufik Rahzen berkata, "Sudah menjadi rahasia umum bagaimana lulusan pendidikan formal seni susah beradaptasi dengan dunia kerja atau kehilangan fungsinya sama sekali dalam pasar sosial, termasuk pembagian klasik disiplin seni dalam seni murni, kriya, dan desain masih memunculkan problematis karena terlalu kaku untuk mengimbangi perubahan global yang ada. Bahkan, orientasinya yang terlalu kuat pada praktik seni sehingga mungkin tak cocok bagi sebuah akademi atau terlalu mewah untuk sebuah institut."

Persoalannya kini bagaimana pendidikan formal bidang seni memperbincangkan secara keseluruhan peranti pendidikan, seperti menelaah kurikulum, membaca proses belajar-mengajar, menimbang intrastruktur penunjang, evaluasi kinerja organisasi intitusi, serta menimbang segala perkembangan seni pada ruang sosial, dan lain-lain yang menyangkut usaha-usaha kolaboratif transinstitusi, organisasi, dan masyarakat seni.

Dalam kaitan dengan konteks kurikulum, sesungguhnya telah ada pembaruan yang disodorkan oleh sistem pendidikan nasional. Namun, dalam konteks pendidikan seni, penyempurnaan dari kurikulum berbasis konservasi pelestarian di masa awal berdirinya pendidikan formal bidang seni, tentunya harus berbasis pada isi (content) yang sekarang kompetensi. Tentunya ada elemen penting dalam kurikulum tersebut, yakni peningkatan daya tanggap terhadap gejala-gejala perkembangan seni dalam masyarakat, bahkan pada ruang global yang dikenal dengan market signal dan pada wilayah ini institusi formal belum mampu berdaya.

Ada tujuh rumusan kompentensi bidang seni, antara lain 1) kompetensi dasar dan kepribadian, 2) kompetensi keahlian dan perilaku berkarya, 3) kompetensi bidang kajian, 4) kompetensi penciptaan, 5) kompetensi penyajian, 6) kompetensi pengelolaan (manejemen), dan 7) kompetensi keguruan.

Pada perguruan tinggi seni di Indonesia terdapat dua kutub yang berbeda, yakni mengembangkan modernisme dalam gaya kubisme yang akhirnya berkembang menuju abstrak formalisme, dan naturalisme dan realisme. Pada akhirnya, kedua isme tersebut bersatu dan menelurkan seni kontemporer. Kurikulum terus bergerak sesuai dengan kemajuan zaman, sedangkan isme-isme belum secara utuh dipahami sehingga terjadi kontradiktif kebanyakan mahasiswa. Padahal, seharusnya mahasiswa harus diberikan kemudahan dan harapan, yang tidak banyak memberi beban seperti masa sebelumnya.

Indonesia adalah bagian dari negara-negara yang menjadi objek serbuan berbagai gelombang kebudayaan pada semua tahap serta sekaligus. Dengan begitu, saratnya kontradiksi dalam kebudayaan Indonesia, unsur-unsur tradisional menghambat proses modernisasi dan sebaliknya unsur modern disikapi secara tradisional. Dengan demikian, gagasan paradigma baru kurikulum pendidikan tinggi seni harus lebih menekankan kurikulum yang berbasis kompetensi dengan tak lepas memerhatikan standar nasional sehingga menjamin mutu lulusan yang dimiliki kualifikasi sesuai dengan rumpun dan tataran kompetensi.

Tak kalah pentingnya lagi, yaitu aspek dosen atau tenaga pengajar yang merupakan inti persoalan yang sangat menentukan untuk mencapainya tuntutan kurikulum penguruan tinggi seni. Mutlak dosen pendidikan seni memiliki kualifikasi akedemik sebagaimana dalam UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 45 menyebutkan, dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi, sehat jasmani dan rohani, serta memenuhi kualifikasi lain yang di persyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan pendidikan nasional.

Kualifikasi akademik yang dimaksud adalah minimum untuk program diploma dan sarjana adalah lulusan program magister pada bidang spesialisasi yang relevan (pencipta seni, kajian seni, manajemen seni, atau keguruan seni). Selain itu, kolaborasi dosen yang berlatar belakang pendidikan akademik dengan profesi seni yang tidak memilih latar belakang pendidikan akademik sangatlah dibutuhkan. Dalam hal ini, praktisi seni yang dimaksud haruslah seorang seniman yang telah diakui publik atau seorang maestro.***

Penulis, alumni pascasarjana ITB Program Studi Seni Murni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar