Jumat, 12 November 2010

Ali Sadikin dan Sanusi Tertunda Jadi Pahlawan

Leimena dan Abraham Ditetapkan

 
BANDUNG, (PR).-
Dua kandidat yang diajukan Tim Pengkaji dan Penilai Gelar Daerah (TP2GD) Provinsi Jawa Barat, Ali Sadikin (alm.) dan K.H. Ahmad Sanusi (alm.), gagal mendapat gelar Pahlawan Nasional. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Dr. Johannes Leimena (alm.) dan Johanes Abraham Dimara (alm.) yang diterima para ahli warisnya di Istana Negara, Jakarta, Kamis (11/11).

Keputusan tersebut berdasarkan masukan Dewan Gelar yang pada umumnya beranggotakan sejarawan. "Maka dari itu, calon yang terpilih pasti sudah memenuhi kriteria jasa yang disyaratkan. Adapun kandidat yang gagal, bukan berarti kalah, karena masih dapat diusulkan kembali tahun depan," ujar Ketua TP2GD Provinsi Jawa Barat, Prof. Dr. Hj. Nina Herlina Lubis, M.S., ketika dihubungi Kamis (11/11) malam.

Langkah itu pula yang akan dilakukan TP2GD. Ali Sadikin akan diusulkan kembali sebagai pahlawan nasional, sedangkan terhadap K.H. Ahmad Sanusi, masih akan melihat rekomendasi dari Dewan Gelar. Alasannya, menurut aturan yang berlaku saat ini, pengusulan seseorang menjadi Pahlawan Nasional hanya dapat dilakukan maksimal dua kali.

"Dukungan penuh yang diberikan TP2GD kepada Ali Sadikin membuat kami yakin untuk mengusulkan beliau kembali. Jika dibutuhkan data tambahan untuk memperkuat usulan tersebut, akan kami siapkan," ucapnya.

Disinggung mengenai pilihan Yudhoyono yang menganugerahkan gelar pahlawan kepada dua putra bangsa asal Indonesia Timur, Nina kembali menegaskan bahwa keputusan tersebut murni hak prerogatif presiden. "Kalau muncul kesan ada pembagian giliran, mungkin saja, karena hingga saat ini memang masih sedikit Pahlawan Nasional asal Indonesia Timur. Akan tetapi, tetap saja mereka juga telah berjasa bagi bangsa ini," katanya.

Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengatakan, pihaknya akan terus mengajukan nama Ali Sadikin dan K.H. Ahmad Sanusi pada tahun berikutnya. "Keputusan untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional itu murni dari pemerintah pusat. Kalau tahun sekarang gagal, kami akan coba terus rekomendasikan pada tahun berikutnya. Sebab, usulan kami bukan ditolak tapi tidak terpilih saja," kata Heryawan saat ditemui wartawan seusai acara Seminar Nasional Produk Perencanaan Kementerian Bappenas, di Hotel Grand Aquila, Kota Bandung, Kamis (11/11).

Ketika ditanya mengenai maestro tari topeng Mimi Rasinah (alm.) dan maestro angklung Udjo Ngalagena (alm.) yang mendapatkan tanda kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma, Gubernur menyatakan, pihaknya merasa bangga. "Alhamdulillah, maestro berasal dari Jawa Barat mendapatkan penghargaan dari Presiden," katanya. 

Soeharto-Gus Dur
Menyoal gagalnya mantan Presiden Soeharto (alm.) dan Abdurrahman Wahid (alm.) sebagai Pahlawan Nasional, Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso menegaskan, pihaknya dapat mengerti dan menghargai semua keputusan yang dikeluarkan pemerintah. Priyo mengatakan, sebenarnya Soeharto dan Gus Dur sangat layak untuk mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional karena mereka adalah putra-putra terbaik yang telah dilahirkan oleh Bangsa Indonesia.

"Ini bukan karena pemerintah menolak Pak Harto ataupun Gus Dur mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Saya tadi nyaman atas penjelasan informal yang diberikan oleh Menko Polhukam Pak Djoko (Suyanto), ini hanya faktor waktu. Kalau itu soalnya, saya bisa mengerti," kata Priyo.

Pernyataan Priyo tersebut berbeda dengan pengakuan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Chairun Nisa yang terkejut dengan hasil keputusan itu. "Saya kaget juga kok Pak Harto dan Gus Dur enggak masuk. Padahal sudah banyak daerah yang mengusulkan ke Kemensos. Bahkan, sempat diolah tim pemerintah tapi ternyata keduanya enggak jadi," ujarnya.

Politisi Partai Golkar ini beranggapan, sebenarnya Soeharto dan Gus Dur layak untuk mendapatkan gelar tersebut. Oleh karena itu, menurut Nisa, Komisi VIII akan mempertanyakan alasan tidak masuknya nama-nama yang pernah diajukan sebagai Pahlawan Nasional ini kepada Kemensos.

Sementara itu, Ketua Fraksi PKB Marwan Jafar menyatakan, meskipun almarhum Gus Dur tidak mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional, di mata dunia Gus Dur telah dipandang sebagai pahlawan. "Gus Dur telah menjadi pahlawan di mata rakyat dan Bangsa Indonesia. Bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di dunia internasional," ucapnya.

Menurut Marwan, pemberian gelar Pahlawan Nasional dari negara hanyalah formalitas. "Sejatinya beliau sudah menjadi pahlawan bagi bangsa ini," kata Marwan.

Selain pemberian gelar pahlawan, pemerintah pun memberikan Bintang Mahaputera Adipradana yang diberikan kepada lima tokoh besar, yaitu pujangga Ronggowarsito (alm.), Kanjeng Gusti Pangeran AA Mangkoenagoro IV (alm.), pejuang dari Sulawesi Tengah Sayyid Idrus bin Salim Al Jufrie (alm.), budayawan Prof. Sutan Takdir Alisjahbana (alm.), dan pelukis Raden Saleh Syarif Bustaman (alm.). Pemerintah juga menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada tokoh pejuang dari Sulawesi Tengah, Andi Makkasau Parenrengi Lawawo (alm.) dan tokoh pejuang dari Sulawesi Selatan, Andi Depu (alm).

Presiden Yudhoyono pun memberikan tanda kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma kepada pelukis Prof. Sjafei Soemardja (alm.), dalang Ki Nartosabdo (alm.), pelukis Dr. (HC) Affandi Koesoema (alm.), budayawan Romo Yosef Bilyarto Mangunwijaya (alm.), sutradara Drs. Sjumandjaja (alm.), budayawan W.S. Rendra (alm.), maestro tari topeng Mimi Rasinah (alm.), dan maestro angklung Udjo Ngalagena (alm.). Seniman Abdul Kadir (alm) mendapatkan tanda kehormatan Bintang Jasa Nararya.

Pemerintah juga menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputera Nararya kepada dua jurnalis foto pada masa revolusi, yaitu Alexius Impurung Mendur (alm.) dan Frans Soemarto Mendur (alm). Sementara akademisi Dr. Marwoto Hadi Soesastro (alm.) juga mendapat Bintang Jasa Pratama atas perannya sebagai Direktur Eksekutif Center of Strategic and International Studies (CSIS). (A-109/A-130/ A-184/A-194)***

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=163847 


Penggagas Puskesmas

Dr. Johannes Leimena lahir di Lateri, Ambon, Maluku, 6 Maret 1905. Anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Dominggus Leimena dan Elizabeth Seilatu. Dokter lulusan School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) pada 1930 itu telah aktif sejak mahasiswa di berbagai organisasi pemuda dan politik seperti Sarekat Ambon, Yong Ambon. Ia juga turut dalam persiapan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. 

Dalam bidang pemerintahan, Leimena merupakan tokoh yang paling sering menjabat sebagai menteri kabinet Indonesia. Ia juga satu-satunya menteri yang menjabat selama 21 tahun berturut-turut tanpa terputus. Leimena masuk dalam 18 kabinet yang berbeda, mulai dari Kabinet Sjahrir II (1946), Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (1947), Kabinet Hatta I dan II (1949), hingga Kabinet Dwikora II pada 1966.

Pascaera Soekarno, Leimena mengundurkan diri sebagai menteri. Ketika itu partai yang didirikannya berfusi ke PDI, ia diangkat sebagai Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) partai berlambang banteng itu. Ia juga masih dipercaya Presiden Soeharto sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) hingga 1973. Leimena juga pernah juga menjabat Direktur Rumah Sakit DGI Cikini. 

Berbagai penghargaan pernah diterima Leimena atas pengabdiannya seperti Bintang Gerilya (1959), Bintang Mahaputera Adipradana (1973), Satyalancana Pembangunan (1961), Satyalancana Kemerdekaan, dan Satyalancana Karya Satya. Leimena juga pernah mendapat penghargaan dari negara sahabat, seperti Bintang Penghargaan dari Thailand, Republik Persatuan Arab, Bintang Jasa dan Penghormatan dari Kamboja dan Meksiko.

Salah satu legasi yang ditinggalkan Leimena adalah Leimena Plan, sebuah projek kesehatan di Bandung pada 1954 yang kemudian berkembang menjadi pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan mendapatkan penghargaan dari WHO. Leimena meninggal dunia pada 29 Maret 1977 di Jakarta. (Handriansyah/"PR")***

 http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=163846



Pengibar Sang Saka

Johanes Abraham Dimara atau Pejuang Dimara dilahirkan di Korem, Biak Utara, Provinsi Papua pada 16 April 1916. Dimara sempat mengenyam pendidikan sekolah rakyat (SR) atau pendidikan dasar di Ambon pada 1930, lalu melanjutkan sekolah pertanian di Laha 1935. Setelah lulus dari sekolah pertanian, Dimara melanjutkan sekolah agama Kristen hingga tahun 1940. Ia kemudian membaktikan dirinya menjadi guru Protestan di Pulau Buru tahun 1941.

Catatan perjuangan Johanes Abraham Dimara bermula pada 8 April 1946, saat dirinya bersama sejumlah pemuda melakukan aksi pengibaran bendera Merah Putih dan melucuti pasukan polisi di Namela. Ia kemudian direkrut menjadi anggota TNI dengan pangkat Letnan Dua. 

Pada pertengahan Oktober 1954, bersama 40 anggota pasukannya, Dimara melakukan infiltrasi ke Irian Barat. Tujuannya adalah membangkitkan perlawanan penduduk terhadap Belanda. Atas jasa dan pengabdian Johanes Abraham Dimara, pemerintah telah menganugerahkan berupa Satyalancana Gerakan Operasi Militer III dari Menteri Pertahanan RI Djuanda pada 22 Januari 1958 serta piagam Satyalancana Perang Kemerdekaan satu dan dua tahun 1958.

Bahkan, pada tahun 1962 Pejuang Dimara juga mendapatkan Satyalancana Satya Dharma dari Wakil Panglima Bidang Pertahanan/Keamanan Jenderal TNI Abdul Haris Nasution serta Satya Bhakti tahun 1963 dari Menhan Djuanda.

Sementara piagam penghargaan lain dimiliki Pejuang Dimara dari Wakil Perdana Menteri Bidang Sosial/Koordinator Urusan Irian Barat yang ditandatangani Adam Malik pada tanggal 12 April 1966. Selanjutnya, pada Mei 1999 pemerintah telah menganugerahkan beberapa penghargaan Lencana Kemerdekaan RI di Istana Merdeka Jakarta. Dimara meninggal di Jakarta pada 20 Oktober 2000 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. (Miradin Syahbana/"PR")***

 http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=163845

Tidak ada komentar:

Posting Komentar