Istilah awan panas dalam beberapa minggu ini sering kita dengar. Sejak Gunung Merapi yang terletak di perbatasan antara Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta meletus pada 26 Oktober 2010, awan yang disebut juga wedhus gembel ini memang menjadi momok yang membayangi para korban letusan Merapi. Namun, apakah sebenarnya awan panas itu?
Berdasarkan keterangan pada situs Badan Geologi, awan panas ialah istilah untuk menyebut aliran suspensi dari batu, kerikil, abu, pasir dalam suatu massa gas vulkanik panas yang keluar dari gunungapi dan mengalir turun mengikuti lerengnya dengan kecepatan mencapai lebih dari 100 km per jam sejauh puluhan kilometer. Aliran turbulen tersebut tampak seperti awan bergulung-gulung yang menuruni lereng gunung api. Temperatur paling rendah dari awan tersebut sekitar 100° C, tetapi bisa juga mencapai 1.000° C sehingga istilah awan panas pun diberikan untuk menggambarkan bentuk dan kondisinya.
Secara visual, kenampakan awan panas tersebut menyerupai domba-domba yang sedang menyusuri lereng. Oleh karena itu, penduduk sekitar Gunung Merapi menyebutnya sebagai wedhus gembel. Penyebutan ini diperkirakan sudah ada jauh sebelum istilah lain untuk awan panas, yaitu nuee ardente diperkenalkan di dunia kegunungapian.
Perlu diingat bahwa tidak semua material seperti batu, kerikil, abu atau pasir yang keluar dari gunung api bisa disebut awan panas. Jika material tersebut hanya telontar atau membubung ke angkasa, istilah yang digunakan ialah lontaran bom, kerikil, atau pasir (tergantung ukurannya) atau kolom erupsi. Istilah awan panas hanya terbatas untuk aliran suspensi dari material vulkanik yang menuruni lereng dan dikontrol oleh gravitasi dan besarnya daya dorong konvektif dari gas pada lubang kepundan.
Awan panas merapi
Awan panas pada letusan Merapi dapat dibedakan atas awan panas letusan dan awan panas guguran. Awan panas letusan terjadi karena hancuran magma oleh suatu letusan. Kekuatan penghancuran tersebut ditentukan oleh kandungan gas vulkanik dalam magma. Awan panas guguran terjadi akibat runtuhnya kubah lava oleh tekanan magma dan pengaruh gravitasi. Awan panas jenis ini lebih sering terjadi pada letusan Gunung Merapi.
Runtuhnya kubah lava terjadi akibat terganggunya kestabilan kubah yang dapat diakibatkan oleh air hujan yang jatuh di sekitar kubah lava. Air hujan tersebut dapat meresap melalui retakan dan masuk ke kubah lava. Temperatur kubah lava yang tinggi memanaskan air tersebut sehingga terbentuk gas yang bertekanan cukup tinggi untuk mengganggu kestabilan kubah. Penyebab lainnya ialah letusan kecil pada kubah lava itu sendiri yang dipicu oleh gas bertekanan tinggi dalam kubah. Namun, faktor pengganggu kestabilan kubah lava yang paling dominan ialah dorongan dari bawah kubah lava tersebut. Naiknya tekanan gas atau magma di dalam pipa saluran magma akan mendorong kubah lava hingga akhirnya longsor. Karena pengaruh gravitasi, tekanan yang tidak terlalu besar pun sudah cukup untuk mengganggu kestabilan kubah.
Kubah lava tersebut juga menentukan kecepatan dan arah dari awan panas guguran. Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk awan panas letusan yang tidak berhubungan dengan kubah lava. Jarak jangkau awan panas ditentukan oleh kecepatannya yang dipengaruhi morfologi dan kemiringan lereng dari lembah sungai. Semakin besar kemiringan lereng, semakin cepat aliran awan panasnya.
Pada awan panas guguran, gaya berat kubah lava yang runtuh juga ikut menentukan laju dari awan panas. Laju awan panas akan semakin cepat dan jauh jarak jangkaunya jika volume yang runtuh semakin besar. Selain itu, arah dari awan panas guguran juga dapat diprediksi dari orientasi kubah lava yang umumnya berbentuk memanjang menjulur ke arah lerengnya.
Walaupun bergantung pada berbagai faktor di atas, kecepatan awan panas dari letusan gunung api sanggup melewati penghalang alami seperti bukit atau tebing. Di sekitar lereng Gunung Merapi terdapat beberapa bukit kecil yang dipercaya mampu membelah aliran awan panas tersebut. Akan tetapi, dalam jarak sedekat itu bukit tersebut dapat dilewati awan panas dengan mudah. Sebagai perbandingan, awan panas dari letusan Gunung St. Helens di Amerika pada tahun 1980 mampu melewati bukit setinggi 360 m dari muka laut. Bahkan, awan panas tersebut juga dapat menyeberangi laut seperti saat Krakatau meletus pada tahun 1883. Saat itu, awan panas dari salah satu letusan terhebat itu mampu menyeberangi Selat Sunda serta mencapai daratan Lampung dan Anyer.
Dampak awan panas
Dibandingkan dengan dampak letusan yang lain seperti jatuhan debu dan batu, aliran lava, lahar, hujan asam, dan tsunami (untuk gunung api di tengah laut), awan panas memang yang paling berbahaya. Kecepatan dan temperatur awan panas yang tinggi membuatnya menjadi dampak langsung letusan yang paling mematikan dalam empat ratus tahun terakhir. R.J. Blong dalam bukunya yang berjudul Volcanic Hazards menyebutkan lebih dari 70% korban letusan gunung api di seluruh dunia disebabkan oleh terjangan awan panas. Pada letusan Gunung Merapi tahun ini, korban yang telah jatuh mendekati seratus orang dan hampir semuanya akibat terkena semburan awan panas, termasuk sang juru kunci Merapi, Mbah Maridjan (alm.).
Awan panas dapat terjadi di semua gunung api dan arah alirannya sulit ditebak, sekalipun itu berupa awan panas guguran. Sebab, walaupun orientasi dari kubah lava dapat diketahui, morfologi kawah dapat membuat arah aliran berbeda dengan arah orientasi kubah lava. Ditambah lagi, seperti pada Gunung Merapi, kubah lava pada kawahnya berjumlah lebih dari satu. Akibatnya, menyulitkan para ahli untuk memprediksi kubah mana yang akan hancur lebih dulu.
Kecepatan dan temperatur awan panas membuat material yang dibawanya sanggup menghancurkan semua dilewatinya. Efeknya bagi makhluk hidup berupa luka bakar hingga kematian yang disebabkan oleh temperatur yang tinggi dan debu panas yang masuk ke paru-paru. Kekuatan awan panas bahkan sanggup menghancurkan bangunan, pepohonan, dan infrastruktur lain. Jadi, satu-satunya cara untuk menghindari awan panas ialah dengan menjauhi gunung api tersebut hingga batas aman yang ditentukan.
Selain awan panas, dampak letusan gunung api yang lain juga patut diwaspadai, baik dampak langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung dari letusan, selain awan panas ialah jatuhan debu, aliran lava, dan lontaran material vulkanik. Sedangkan yang termasuk dampak tidak langsung ialah lahar, tsunami, longsor, dan hujan asam. Dampak langsung berbahaya, salah satunya karena temperatur yang tinggi. Dampak tidak langsung dapat mengancam karena dapat terjadi bahkan sebelum gunung tersebut meletus atau beberapa jam hingga berhari-hari setelah letusan.
Lahar dingin bahkan bisa terjadi walaupun gunung api tersebut hanya mengalami peningkatan aktivitas vulkanik. Sebab, hujan yang turun di sekitar puncak gunung bisa bercampur dengan endapan tefra atau debu vulkanik yang belum padat. Campuran air dan tefra tersebut akan membentuk lahar yang akan menuruni lereng, menerjang semua yang berada pada jalurnya dan akhirnya masuk ke sungai. (Iqbal E. Putra, alumnus Teknik Geologi ITB) ***
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=163612
Tidak ada komentar:
Posting Komentar