Rabu, 10 November 2010

Dulu "Mamnu", Sekarang "Tafaddol"


SALAH seorang jemaah haji dari Timur Tengah mencari posisi saat hendak memotret Kabah di Masjidil Haram Mekah, beberapa waktu lalu.* WAKHUDIN/"PR"

Memotret Kabah dulu mamnu (terlarang), bahkan haram. Sekarang, memotret Kabah tafaddol (silakan). Tentu dengan syarat tidak boleh mengganggu ketertiban dan kekhusyukan orang-orang yang beribadah di sana. 

Tentu juga tidak boleh berpose terlalu lama. Apalagi pada saat musim haji seperti sekarang yang membuat masjid penuh sesak. Yang penting, jepret, jepret, secepat mungkin, sekadar menghasilkan gambar seseorang berlatarbelakang Kabah, Makam Ibrahim, Hijir Ismail, Safa, Marwa, Sumur Zamam, dan tempat istimewa lainnya di dalam Masjidilharam.

Hal tersebut merupakan sesuatu yang amat mustahil dapat terjadi lima atau sepuluh tahun lalu. Ketika itu, kamera tak boleh dibawa masuk ke masjid, baik Masjidilharam maupun Nabawi. Pemeriksaan terhadap barang bawaan para jemaah di pintu masuk amat ketat. 

Jika ditemukan kamera, telefon seluler (walaupun tidak dilengkapi kamera), dan alat elektronik lain, petugas askar (polisi masjid) langsung melakukan penyitaan. Apakah nanti barang-barang itu akan dapat kembali utuh kepada pemilik masing-masing, entahlah. Yang jelas, orang hanya akan berkata, salah sendiri membawa barang-barang semacam itu ketika akan melakukan ibadah.

Larangan memotret berlaku tidak hanya di dalam masjid, tetapi juga di mana saja. Yang melarang bukan hanya askar atau baladiyah (satpol PP), masyarakat biasa pun suka ikut-ikutan. Fatwa tasywir (gambar, potret) haram berlaku menyeluruh. 

Seorang rekan wartawan sekitar tahun 1990-an memotret Masjid Quba, Madinah. Kebetulan di depan masjid tersebut ada nenek-nenek pedagang memakai abaya hitam dengan penutup wajah. Nenek itu segera bangkit memarahi pemotret. Mengacung-acungkan gulungan sajadah siap dipukulkan. Untunglah, rekan tadi cukup gesit menyelamatkan diri di tengah umpatan nenek-nenek yang terus berteriak "haram haram".

Sekarang tidak lagi ada teriakan tasywir haram. Tidak ada lagi bentakan askar menyatakan alatut tyaswir mamnu. Kamera terlarang. Istilah alatut tasywir juga sekarang jarang lagi diucapkan, telah diganti dengan kamera. Istilah foto lebih sering terdengar daripada tasywir. 

Mungkin karena seketat apa pun aturan, sulit membendung kemajuan teknologi, termasuk dalam bidang potret-memotret, sehingga terjadilah perubahan elastis. Namun pada batas-batas tertentu, tetap berlaku larangan-larangan agar tidak mengganggu kepentingan umum di tengah kegiatan ibadah.

Beruntunglah generasi para hujjaj masa kini yang bebas leluasa berfoto di tempat-tempat sakral yang dulu amat tabu diabadikan dalam gambar, kecuali mendapat izin khusus penguasa. Semoga tidak menjadi ria.

Rekan-rekan wartawan muda juga tentu tak usah repot-repot lagi melarikan diri dari kejaran nenek-nenek yang tak mau dirinya terekspose bersama Masjid Quba, seperti dialami para seniornya dua puluh tahunan lalu. Memotret di Tanah Suci sekarang tafaddol, tidak mamnu, apalagi haram.****

H.Usep Romli H.M., Aziziyah Shamaliyah, Mekah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar