Jumat, 02 Mei 2008

"Enggak" Punya Uang, Jadi "Enggak" Sekolah


MURID SDN Karyasakti di Desa Salam Nunggal, Kec. Cibeber, Cianjur belum bersepatu. Sebagian besar warga sekitar sekolah hanya buruh tani yang hidupnya pas-pasan, untuk sekadar membeli sepatu anak-anaknya saja mereka tidak mampu.* LUKI MUHARAM/GALURA

(Pikiran Rakyat)
WAJAHNYA berkerut ketika ditanya pendidikan anaknya. Hanya keluar desahan nafas panjang. "Udah pernah sekolah juga udah untung Neng," katanya lirih. Bi Oon--demikian ia biasa dipanggil oleh orang-orang di kampungnya-- hanya tersenyum getir menceritakan beban berat hidupnya. Usianya belum 50 tahun, guratan-guratan tua jelas terlihat di mukanya. Sejak suaminya meninggal 12 tahun lalu, ia mengambil alih semua urusan keluarga.

Dulu suaminya hanya seorang tukang becak. Tidak banyak yang ditinggalkan suaminya. Hanya sepetak rumah mungil di Jalan Sadang, Sayati, Kab. Bandung, dan empat buah hatinya. Dengan penghasilan sebagai pembantu rumah tangga, Bi Oon menghidupi keempat anaknya. "Sekitar dua ratus ribuan lah sebulannya. Lumayan buat makan mah Neng," katanya. Anak pertamanya, Lilis (25) hanya menamatkan sekolah hingga SD. Kini, Lilis telah berkeluarga dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Mungkin, Lilis lebih beruntung dibandingkan dengan adiknya, Siti (22) yang hanya bisa bersekolah hingga kelas IV SD. "Enggak punya uang. Jadi ya enggak dilanjutkan," kata Bi Oon. Kini Siti bekerja di sebuah pabrik sepatu.

Saat anak ketiganya, Iis (kini 14 tahun) lahir, kehidupan Bi Oon dan suaminya belum banyak berubah. Beruntung, Iis bisa bersekolah berkat bantuan dari donatur. Meskipun hanya sampai kelas VI SD, Iis merasa senang bisa mengecap pendidikan. Ia juga diberikan bantuan ikut les keterampilan menjahit.

Sementara itu, anak keempatnya, Ayi (12) seharusnya sedang mempersiapkan diri untuk ujian nasional (UN) SD. Namun, sejak beberapa bulan lalu, Ayi sudah tidak bisa menikmati bangku sekolah.

Bi Oon yang kini bekerja sebagi tukang urut merasa tidak sanggup lagi membiayai sekolah anak bungsunya itu. Meskipun sudah dibebaskan dari biaya sekolah, bahkan gurunya sampai menyusul ke rumahnya, Bi Oon tetap pada pendiriannya untuk tidak melanjutkan pendidikan si bungsu. "Biar udah gratis sekolahnya, tapi biaya sehari-hari tetep ada Neng. ," kata Bi Oon. Penghasilannya sebagai tukang urut memang tidak pasti. Sekali urut, Bi Oon biasanya dapat Rp 20.000,00.

Ayi adalah salah seorang dari sekian banyak anak di Indonesia yang memimpikan sekolah. Di kawasan Bandung, wilayah terdekat ke pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat, ribuan anak usia sekolah tidak bisa menikmati pendidikan karena keterbatasan ekonomi.

Sebut saja Ani Rosasi, anak seorang buruh di Kampung Pagersari, Desa Pagerwangi, Kec. Lembang, Kab. Bandung. Meski berkeinginan besar untuk menyekolahkan Ani, sang ayah Ade Karna tidak mampu memberikan biaya karena berpenghasilan tidak tetap.

Meski lebih beruntung, pendidikan Barkah Priyana (17) dan Desi Lestari (16) juga nyaristerhenti karena terbentur masalah biaya. Keduanya masih duduk di kelas tiga SMP Al Falah Kota Bandung. Padahal, berdasarkan usia mereka seharusnya sudah memasuki jenjang SMA. Meski mendapat bantuan dana pendidikan, Barkah dan Desi juga sempat tidak bisa meneruskan sekolah karena tidak ada biaya untuk ongkos sehari-hari dari rumah masing-masing ke sekolah. Namun satu hal yang perlu dicontoh, Barkah dan Desi mendapat bantuan dana untuk ongkos dari guru-guru mereka. Suatu tindakan terpuji dari seorang guru yang ingin anak didik mereka terus maju meski di tengah kesulitan ekonomi.

Biaya pendidikan saat ini tidak lagi ramah pada masyarakat, apalagi bagi mereka yang berada di garis kemiskinan. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) belum menuntaskan masalah. Kalaupun biaya sekolahnya gratis, mereka masih harus memikirkan biaya sehari-harinya. Untuk beli seragam, alat tulis, sepatu, dan ongkos ke sekolah. Itu semua perlu biaya. "Lebih baik uangnya buat beli beras," kata mereka lirih. (Fitri /Handri)***

                                                                               ***


Jangan (Dulu) Bicara Kualitas!

MURID SDN 2 Cimarel, Kp. Babakan Jampang, Desa Cibitung, Kec. Rongga, Kab. Bandung Barat tengah mengikuti pelajaran di kelas darurat, Januari lalu. Sejak Agustus 2007, mereka tak bisa lagi menikmati pelajaran secara layak karena gedung sekolah ambruk.* HAZMIRULLAH/"PR

(Pikiran Rakyat)
BERAPA sesungguhnya standar biaya pendidikan yang harus dikeluarkan seorang anak setiap tahunnya untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu? Berapa pula standar biaya yang dibutuhkan di setiap jenjang pendidikan?

Pakar manajemen pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Prof. Dr. Nanang Fattah menuturkan, untuk tingkat pendidikan dasar yakni SD dan SMP, standar biaya pendidikan yang diperlukan sekitar Rp 2 juta untuk sebuah pendidikan bermutu. Biaya ini dibutuhkan bagi satu orang anak setiap tahunnya.

"Sementara kondisi sekarang, biaya untuk pendidikan dasar itu baru mencapai Rp 500.000 per anak per tahun. Itu untuk bahan dan alat pembelajaran saja. Bisa dibayangkan, untuk mencapai kata ’mutu’, berarti harus ada peningkatan empat kali lipat dari biaya sekarang. Itu baru minimalnya. Itulah sebabnya kenapa pendidikan dasar kita rusak," kata Nanang.

Sementara untuk SMA, kata dia, angkanya jauh lebih tinggi dari tingkat SD. Biaya keseluruhan (total cost) untuk pendidikan bermutu tingkat SMA setidaknya Rp 4 juta per siswa per tahun. Sementara yang baru terpenuhi sekarang Rp 1 juta per siswa per tahun. "Jadi, jangankan bisa sampai pada kata ’pendidikan bermutu’. Untuk akses pemerataan pendidikan saja belum," ungkapnya.

Nanang mengakui kalau sampai saat ini belum ada penetapan standar minimal pendidikan bermutu. Namun, dengan pemenuhan yang baru dicapai sekarang, siswa belum mendapatkan pendidikan standar apalagi bermutu.

"Dengan biaya seperempatnya dari standar minimal, apa yang bisa dilakukan. Peralatan belajar tidak lengkap, tidak ada perpustakaan yang memadai, laboratorium, bahkan buku pelajaran pun harus dipakai bersama-sama. Seharusnya setiap anak memegang beberapa buku pegangan untuk satu mata pelajaran. Baru dia bisa mendapatkan bahan ajar yang maksimal. Belum lagi kualitas dari SDM pengajar dan tenaga kependidikan," ujarnya.

Terlebih, kata Nanang, nyaris semua biaya pendidikan siswa saat ini masih harus ditanggung oleh orang tua dan masyarakat. Dia memperkirakan lebih dari 70 persen biaya pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah masih harus ditanggung oleh orang tua. Bahkan, untuk madrasah angkanya jauh lebih tinggi lagi yakni mencapai 80 persen karena mayoritas berstatus swasta.

"Bila kita merujuk UUD 45 pasal 31, sangat jelas kalau setiap warga berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayai pendidikan. Termasuk di pasal 34 UU NO. 20 tahun 2003 ."

Gratis berkeadilan
Menurut Nanang, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menghindar dari ketentuan tersebut. Kalau saja pemerintah mau memprioritaskan pendidikan sebagai hal utama dan mengalokasikan 20 persen anggaran pendidikan di luar gaji guru, pendidikan dasar yang terjangkau bisa dilaksanakan. "Gratis yang berkeadilan, yakni gratis bagi mereka yang tidak mampu."

Ketua Lembaga Advokasi Pendidikan, Dan Satriana, mengungkapkan besarnya beban biaya pendidikan bagi masyarakat merupakan gambaran dari paradigma pembangunan dan politik kita. Pemerintah melepaskan pendidikan kepada pasar.

Berdasarkan sebuah penelitian, Dan menuturkan untuk tingkat SD setidaknya dibutuhkan dana sebasar Rp 1,1 juta per siswa per tahun untuk biaya operasional dan personal di luar uang transpor. Sementara kebutuhan untuk SMP dan SMA masing-masing adalah Rp 1,6 juta dan Rp 2,2 juta per siswa per tahun. Hampir 80 persen biaya ditanggung oleh orang tua dan masyarakat.

Kebijakan perencanaan dan anggaran yang tertutup, menurut Dan, menjadi salah satu permasalahan paradigma pendidikan kita. Di tingkat sekolah dan masyarakat, informasi mengenai kucuran biaya dari pemerintah sulit dibuka. Hal ini berpotensi menimbulkan penyelewengan, mark up, dan pembebanan biaya ganda (kepada pemerintah dan masyarakat untuk satu kegiatan/barang yang sama).

Pemerintah tidak dapat memberikan pelayanan ini kepada mekanisme pasar. Khususnya bagi sekolah negeri. Sekolah negeri merupakan kepanjangan tangan bagi pemerintah untuk menunaikan kewajiban memenuhi standar minimal pelayanan pendidikan. "Terutama bagi yang tidak mampu. Biarkan yang mampu mencari alternatif sesuai kemampuannya," katanya.

Selain efisiensi APBD dari sektor dan aspek yang tidak krusial, pemerintah bertanggung jawab mengontrol dan menghentikan kebocoran bantuan. Pemerintah maupun sekolah dapat melakukan terobosan untuk memangkas komponen biaya yang tidak berkaitan langsung dengan proses belajar mengajar. "Terobosan dari Bupati Gowa misalnya yang menghilangkan seragam, atau terobosan untuk menyediakan buku di perpustakaan sekolah merupakan upaya yang baik. Bahkan, di Jembrana Bali, dengan APBD yang jumlahnya setengah dari APBD Kota Bandung, mampu menggratiskan pendidikan dasar bagi warganya," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji mengungkapkan, standar biaya pendidikan saat ini belum mencapai kata ideal. Untuk tingkat SD, baru mencapai Rp 1,1 juta dari angka ideal Rp 1,8 juta per siswa per tahun. Tingkat SMP baru mencapai Rp 1,7 juta dari angka ideal Rp 2,9 juta per siswa per tahun. Tingkat SMA/MA baru Rp 2,6 juta dari angka ideal Rp 3,7 juta per siswa per tahun. "Sementara untuk SMK angkanya lebih tinggi yakni Rp 4,1 dari angka ideal Rp 5,2 juta per siswa per tahun," katanya.

Oji mengakui, dari jumlah biaya tersebut, hampir 70 persen biaya ditanggung oleh orang tua dan masyarakat. Bahkan, di sekolah favorit angkanya lebih tinggi lagi yakni mencapai 80 persen. "Memang harus ada kearifan dari semua pihak, sebab saat ini kewajiban pemerintah masih belum terpenuhi," ungkapnya. (Nuryani/"PR")***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar