Senin, 05 Mei 2008

Nama Tempat Bandung "Baheula"

"Golodogpanto" pun Dimakan
Oleh T. BACHTIAR

Pikiran Rakyat
Ada dua tempat di Bandung yang menggunakan nama satu jenis pohon dengan dua nama yang berbeda, yaitu jawura (Cijawura di selatan Bandung) dan baros (Baros di Cimahi). Nama pohon itu kini sudah tidak dikenali lagi di Bandung dan tak menyisakan kenangan pada masyarakatnya. Mungkin karena pohon ini sudah menghilang terlalu lama sehingga ada saja yang iseng mengartikan jawura itu jawara. Walau hanya beda satu huruf, yaitu u dan a, namun artinya sangat berlainan. Jawura adalah nama pohon, sedangkan jawara ubahan dari kata juara, namun mempunyai konotasi kurang baik (Kamus Basa Sunda - R. Satjadibrata, 2005).

Pohon ini populer disebut mundu (Garcinia dulcis Kurz.) dan masih satu keluarga dengan manggis/manggu (Garcinia mangostana L.). Mundu merupakan nama buah yang paling umum digunakan dalam bahasa Indonesia, Sunda, Jawa, dan Madura. Namun di Tatar Sunda, mundu disebut juga jawura, golodogpanto (teras pintu), dan di beberapa tempat disebut baros. Sementara masyarakat Jawa menyebutnya mundu, baros, atau klendeng, sedangkan orang Minahasa menyebutnya mamundung.

Jawura, baros, atau mundu pernah tumbuh dengan baik di Tatar Sunda sehingga nama pohon ini diabadikan menjadi nama tempat, seperti Cijawura di Bandung, Baros di Cimahi, Kampung Mundu di Ciamis, Kecamatan Mundu di Cirebon, Desa Mundu di Indramayu, dan banyak nama tempat yang menggunakan nama buah ini. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, bahkan nama Desa Mundu dijadikan nama formasi, formasi mundu, untuk menggambarkan pemerian lapisan-lapisan batuan, hubungan, dan kejadian macam-macam batuan di alam dalam ruang dan waktu.

**

Ketika Bupati Bandung R.A. Wiranatakusumah II beserta sejumlah warganya berencana untuk memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung dari Karapyak di sekitar muara Cikapundung dengan Citarum ke pinggir Jalan Raya Pos yang menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa dari Anyer hingga Panarukan, lahan yang akan dijadikan ibu kota itu masih berupa hutan. Permukiman saat itu berada di Kampung Cikapundungkolot, Kampung Cikalintu, dan Kampung Bagor (R. Moech A. Affandie, 1969). Kalau pada saat pemindahan ibu kota itu calon lokasi masih berupa hutan, dapat dipastikan pohon jawura/golodogpanto atau mundu itu masih tumbuh subur di sini. Adanya nama tempat Cijawura dan Baros adalah salah satu bukti bahwa di Cekungan Bandung pernah tumbuh buah mundu.

Saat ini, masih adakah buah jawura atau golodogpanto? Di manakah pohon mundu atau baros itu dapat dilihat? Setahun yang lalu, di Lapangan Gajah Mada, Taman Rekreasi Wiladatika, Cibubur, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanam pohon mundu pada peringatan Hari Pramuka ke-46, Selasa 14 Agustus 2007, juga terdapat di Kebun Percobaan Subang. Terdapat 41 pohon mundu di kebun seluas 146,55 hektare.

Dalam kamus-kamus bahasa Sunda, pohon jawura tidak dideskripsikan dengan jelas, malah lemanya dipisahkan dengan mundu, seolah merupakan pohon yang berbeda.

Entah mengapa, jawura atau mundu di Tatar Sunda disebut juga golodogpanto. Golodogpanto dalam arti yang sesungguhnya adalah "tangga paranti turun ti atawa unggah ka imah panggung" (Kamus Basa Sunda - R. Satjadibrata, 2005), tangga untuk turun atau naik ke dalam rumah panggung.

Jonathan Rigg (1862) menuliskan tentang mundu adalah nama pohon yang buahnya menyerupai manggu/manggis. Dalam Kamus Basa Sunda R. Satjadibrata (PT Kiblat, 2005, cetakan pertama tahun 1948 oleh Balai Pustaka), menuliskan jawura itu "ngaran sarupa tangkal" (hlm. 170), nama sejenis pohon, dan dalam lema mundu tertulis, "ngaran sarupa tangkal, buahna ngeunah, bangsa gandaria" (hlm. 23), nama sejenis pohon, buahnya enak, sejenis gandaria. Sementara dalam Kamus Umum Basa Sunda - LBSS (Tarate Bandung, 1980) menuliskan bahwa jawura itu "ngaran tangkal kai di Banten Kidul, buahna haseum, sok didahar" (hlm. 191), nama pohon di Banten Selatan, buahnya masam, suka dimakan. Sementara mundu dituliskan golodogpanto (hlm. 320) yang deskripsinya terdapat di hlm. 151, "ngaran tangkal jeung buahna nu beunang didahar, ngan teu sabaraha ngeunahna" nama pohon dan buahnya dapat dimakan, hanya tidak begitu enak.

Uraian yang bisa membingungkan terdapat pada Kamus Basa Sunda R.A. Danadibrata (2006). Pada lema mundu dituliskan, "ngaran tangkal" (hlm. 448), nama pohon, dan pada lema jawura dituliskan, "basa Banten: sentul" (hlm. 1285). Bila diikuti keterangan tentang sentul, dituliskan: "ngaran bubuahan di leuweung, bangunna buleud, gedena saluhureun manggah gedong, dagingna haseum semu amis. Sentul loba ngaranna, di antarana aya nu nyebut burahol, turalak atawa buah kacapi" (hlm. 629), "nama pohon buah di hutan, bentuknya bundar, lebih besar dari mangga gedong, dagingnya masam agak manis. Banyak nama untuk sentul, di antaranya ada yang menyebut burahol, turalak atau buah kecapi. Padahal kita tahu, ada nama pohon yang disebutkan dalam lema ini berbeda jenisnya.

**

Dalam buku Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III yang disusun K. Heyne (1927, 1987), dilengkapi data dari buku Flora untuk Sekolah di Indonesia yang disusun oleh Dr. C.G.G.J. van Steenis dkk., dan tulisan P.C.M. Jansen, Edible Fruits and Nuts, seperti yang dimuat dalam Prosea, serta berbagai sumber lainnya, diuraikan ciri-ciri pohon golodogpanto ini sebagai berikut: tinggi pohon antara 5-12 meter, berbatang pendek, besar batang 20 cm, ranting tebal, kayunya kurang awet. Kulit batang berwarna cokelat, bergetah putih, dan berubah menjadi cokelat pucat bila kering.

Daunnya bulat telur yang memanjang, namun kerap meruncing, panjangnya 10-30 cm dengan lebar 3-10 cm. Warna daun hijau pucat bila muda, dan hijau tua yang mengkilat bila tua. Pada bagian bawah daun, tulang tengah menonjol dan keras, urat-urat daun banyak dan paralel, panjang tangkai daun sampai 2 cm.

Bunga berkelamin satu, berumah satu atau dua, bunga berwarna putih kuning atau putih hijau. Daun kelopak bulat, tidak sama, dan berdaging. Daun mahkota bulat atau bulat telur terbalik, panjang lebih kurang 1 cm, dan berdaging dengan tepinya yang tipis.

Bunga jantan dengan tonjolan dasar bunga yang tebal, berlekuk, warna kuning, mengelompok kecil, lebar bunga sekitar 6 cm. Bunga jantan terdiri dari 6-10 benangsari, sedangkan bunga betina dengan lebar 12 mm, panjang gagang bunga 1,5-3 cm. Kepala putik berberkas 5 dengan lukuk tonjolan tebal di antara benangsari. Bakal buah beruang 5, dengan kepala putik berlekuk 5.

Buahnya bulat, hijau saat mudan, dan kuning/oranye bila matang. Panjang buah sekitar 2,5 cmdengan garis tengahnya 3-4 cm. Bijinya 1-4 dengan selaput biji berwarna hijau kekuningan.

Tumbuh di hutan tropis basah, tersebar di seluruh Pulau Jawa dan di beberapa tempat di Nusantara. Pohon ini ada yang ditanam di kebun. Perbanyakan dengan menyemaikan biji. Pohon ini tumbuh dengan baik di daerah dengan ketinggian tempat 500 meter dpl ke bawah.

Buah ini dapat dimakan dengan rasa asam-manis, dagingnya tipis, rasa asamnya mirip kedondong. Dagingnya dapat diolah menjadi selai. Menurut Cucu, pemandu di Kebun Percobaan Subang, daging buahnya dapat digunakan sebagai obat pencuci perut bila dimakan empat buah. Biji mundu sudah lama digunakan sebagai bahan dalam pembuatan jamu. Tumbukan bijinya yang dicampur cuka digunakan untuk mengobati otot yang bengkak.

Papagan, tumbukan kulitnya dapat digunakan untuk mewarnai tikar. Untuk mendapatkan warna hijau tua alami, masyarakat di sekitar Gresik menggunakan campuran kayu mundu, kayu laban, pandan, atal, tawas, prusi dan sendawa. Di Madura, warna hijau alami dihasilkan dari campuran kayu mundu, gula, tawas dan jeruk. Masih di Madura, untuk mendapatkan warna kuning pucat, getah mundu yang berwarna kuning dicampur dengan temulawak menghasilkan warna kuning pandan. Sementara di Pacitan, warna hijau alami diperoleh dari campuran papagan mundu, papagan mangga, tegeran, perusi, dan tanjung.

Perlu adanya gerakan menanam berbagai jenis pohon langka, mengingat banyak nama tempat yang menggunakan nama-nama pohon, namun pohonnya sudah sangat langka, bahkan sudah tidak dikenali lagi. Akankah di kawasan Cijawura, Baros, Mundu, ditanam kembali Garcinia dulcis Kurz. sehingga orang Bandung masih tetap dapat memakan golodogpanto? Mudah-mudahan saja!***

Penulis, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar