Kamis, 22 Mei 2008

"Hutanku Sayang, Hutanku Malang"

Penjarahan, Sebuah Ironi


KAWASAN hutan jati Perum Perhutani Unit III KPH Ciamis, RPH Cigugur, Kec. Cijulang, Kab. Ciamis, yang sebagian lahannya gundul akibat terkena penjarahan oleh sekelompok massa * DOK. KODAR SOLIHAT/"PR"

PEMBANGUNAN sektor agroindustri menjadi salah satu janji pasangan Gubernur Jabar terpilih, Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf. Ini sebagai salah satu upaya menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Jabar, sesuai apa yang mereka kampanyekan.

Adalah eksistensi lahan kehutanan dan perkebunan merupakan suatu kesatuan yang ikut menentukan pembangunan agroindustri, selaku penyedia bahan baku dan sumber investasi. Eksistensinya ikut menentukan pembukaan peluang usaha baru bersifat kerakyatan, seperti industri kecil-menengah agro berbasis kehutanan dan perkebunan.

Di lingkungan hutan negara, Perum Perhutani sudah menerapkan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM), melalui pembudidayaan komoditas perkebunan di sela-sela tanaman inti kehutanan, misalnya kopi, kakao, teh, sampai bagi hasil pohon kayu-kayuan. Sedangkan di subsektor perkebunan, beberapa unit perkebunan bermitra dengan masyarakat sekitar, mengusahakan sejumlah komoditas dengan pola inti plasma.

Hanya, ganjalan masih terjadi akibat belum terselesaikannya kasus penjarahan 20.000-an hektare lahan kehutanan dan perkebunan di Jabar. Pada subsektor kehutanan negara saja (Perum Perhutani) sampai kini sekitar 4.000 hektare lahan masih dalam kondisi terjarah, sedangkan subsektor perkebunan 15.000-an hektare lahan perkebunan besar negara (PBN/PTPN VIII) dan perkebunan besar swasta (PBS).

Wakil Ketua Kadin Jabar Bidang Pertanian, Kehutanan , Perkebunan, Pertambangan, Energi,dan Migas, R.H. Slamet Bangsadikusumah, mengatakan, kondisi ini menjadi salah satu penyebab menurunnya minat investor bidang agroindustri, terutama berbasis kehutanan dan perkebunan. Ini berdampak menghambat pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat perdesaan, terutama mengatasi kemiskinan.

Sejak tahun 1999-2007, jika berbagai areal kehutanan dan perkebunan selamat dari penjarahan, triliunan rupiah uang masih dapat berputar. Ini bukan hanya dari perputaran modal, laba, juga pajak bagi pemasukan negara dan kontribusi pemerintah daerah.

"Manfaatnya pun dirasakan masyarakat pedesaan karena ikut berkesempatan memperoleh tambahan pendapatan. Apalagi, jika dikaitkan dengan biaya hidup yang terus meninggi akibat efek kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)," kata Slamet.

Keterangan serupa dilontarkan Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan (GPP) Jabar-Banten, Dede Suganda Adiwinata. Disebutkan pula, pemulihan sektor kehutanan dan perkebunan saat ini waktunya tepat, jika dikaitkan dengan kampanye populis pemerintah untuk mengatasi kemiskinan. Dibiarkan berlarutnya kondisi terjarahnya perkebunan dan kehutanan, dikhawatirkan berefek menambah penduduk miskin di perdesaan, apalagi berkaitan efek rencana kenaikan kembali harga BBM.

"Alasan perut lapar dan miskin, adalah provokasi yang sering dijadikan pembenaran dan ampuh untuk mengerahkan massa menjarah perkebunan dan kehutanan. Apalagi, ada indikasi ada kesamaan modus politis menjarah penjarahan kehutanan dan perkebunan, misalnya menjelang pemilihan kepala daerah," ujarnya.

Situasi ini dinilai Dede, sebagai ironi, karena oknum-oknum yang ingin manggung di pentas politik, tak berupaya membangun kepercayaan publik dengan menjaga aset negara, namun "mengadu domba" masyarakat sehingga menimbulkan kerusakan kehutanan dan perkebunan.

Eksistensi hutan dan perkebunan bukan hanya berperan ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya, namun juga kepentingan pertahanan negara. Itu sebabnya, Kodim Garut pada tahun 2006-2007, pernah meminta berbagai unit kehutanan dan perkebunan di wilayahnya yang mengalami penjarahan, agar segera melakukan penanaman kembali agar fungsi dan perannya pulih. (Kodar S./"PR")

                                                                                ***

300 Hektare Hutan Jati Raib


LAHAN bekas areal tanaman kelapa sawit Perkebunan Condong, Kec. Cikelet, Kab. Garut, yang mengalami penjarahan. Lahan tadah hujan tersebut kurang optimal untuk ditanami padi dan palawija. * KODAR SOLIHAT/"PR"


SETELAH mengalami situasi dingin selama beberapa waktu terakhir, ulah penjarahan lahan negara kembali terjadi, yang korbannya kali ini Perum Perhutani Unit III di KPH Ciamis. Sekitar 300 hektare lahan hutan negara di Resort Polisi Hutan (RPH) Cigugur, BKPH Cijulang, kondisinya kini kini gundul karena berbagai tegakan yang ada dijarah massa.

Ini di antaranya dialami pada petak 83 Resort Polisi Hutan (RPH) Cigugur. Pendapatan negara sebesar hampir Rp 3 miliar gagal diperoleh karena target produksi 1.975 m3 kayu jati rencana tebangan A pada tahun 2008 dari lahan seluas 15,20 hektare tersebut, keburu ludes digasak para penjarah.

Kawasan hutan di Cigugur yang sampai setahun lalu masih terlihat hijau dan memesona karena rimbunan pohon kehutanan, kini berubah menjadi ajang penebangan liar. Seolah-olah ada yang mengomandoi dan melindungi, para penjarah dengan menggunakan chainsaw (gergaji mesin) sampai kini masih melangsungkan aksinya.

Para personel Perum Perhutani belum dapat berbuat banyak mengatasi kejadian tersebut. Selain keterbatasan personel pengamanan, birokrasi dari pemerintah juga belum memungkinkan personel Perhutani untuk menghalau para penjarah.

Kejadian penjarahan di kawasan hutan negara, bukan hanya mengganggu perekonomian dari industri kehutanan, juga dapat menjadi langkah mundur upaya rehabilitasi lingkungan di Jabar. Ironisnya, ini kembali terjadi saat pemerintah tengah menggalakkan rehabilitasi kehutanan, berkaitan isu efek pemanasan global (global warming), di mana Indonesia menjadi salah satu sorotan dunia.

Tak urung, sebagian masyarakat sekitar Cigugur pun was-was dan khawatir terkena imbasnya. Pasalnya, mereka terancam tak memperoleh pembagian hasil tebangan hutan berpola PHBM yang sudah dijadwalkan Perum Perhutani karena sebagian jatah mereka sudah dijarah sekelompok massa.

Pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Cigugur, Ade, mengatakan, kejadian penjarahan hutan juga banyak disesalkan masyarakat setempat. Apalagi, banyak pelaku penjarah ternyata bukan warga setempat.

Dikatakan, banyak masyarakat berharap situasi di sekitar tetap terjaga aman karena menyangkut kenyamanan masyarakat sekitar. Agar dapat dihindari penjarahan hutan merambat ke bagian lain, apalagi ke sekitar mereka, karena lingkungan hutan merupakan bagian kehidupan masyarakat desa hutan.

Menurut dia, masyarakat setempat sudah banyak melihat contoh dari wilayah lain, efek rusaknya lingkungan kehutanan bagi masyarakat sekitar. Ini terutama bagi ketersediaan pasokan air, apalagi sekarang sudah memasuki kemarau, di mana lokasi sekitar tak diingini menjadi daerah gersang yang baru.

Soal rencana bagi hasil tebangan kayu dari Perum Perhutani yang dijadwalkan bulan Juni-Juli, dikatakan Ade, waktunya sangat membantu bagi masyarakat sekitar. Setidaknya jika dikaitkan membantu pendapatan akibat efek meningginya kebutuhan pokok akibat rencana kenaikan lagi harga BBM, serta pasokan kayu bakar karena pasokan minyak tanah semakin berkurang.

"Oleh karena itu, diharapkan keamanan hutan di sekitar tempat tinggal kami dapat terjaga dan tak ikut menjadi korban penjarahan. Ulah tersebut hanya menguntungkan pihak tak bertanggung jawab, namun menimbulkan kerugian bagi masyarakat lainnya," katanya.

Kepala Biro Hukum, Keamanan, dan Humas Perum Perhutani Unit III, Andrie Suyatman, membenarkan, rencana tebangan pohon jati di lokasi tersebut, sebagian sudah masuk kelompok pembagian hasil tebangan melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Namun, karena pohon-pohon jatinya dihabisi oleh massa yang diduga terorganisasi sebagian masyarakat setempat terancam tak akan kebagian uang hasil penjualan.

Ia juga melontarkan kekecewaan, karena sejauh ini aparat keamanan hanya terkesan menjadi penonton, tanpa berbuat sesuatu yang berarti untuk menghentikannya. Diduga ada kekuatan besar yang melindungi ulah para oknum penjarah hutan tersebut.

"Jika kejadian penjarahan dibiarkan, negara akan mengalami kerugian lebih besar lagi. Untuk kawasan lokal BKPH Cijulang saja, harus diantisipasi kejadiannya merembet ke kawasan hutan sekitarnya yang potensinya masih bagus," ujarnya.

Dikatakan, pengamanan lahan akan terus dilakukan Perum Perhutani demi kelestarian sumber daya hutan dan penyelamatan aset negara. Perum Perhutani memerlukan dukungan berbagai pihak, menyikapi permasalahan bidang kehutanan ini, yang tak dapat diselesaikan sendirian karena konflik melibatkan kepentingan sejumlah pihak lain yang tak bertanggung jawab. (Kodar S./"PR")

                                                                      ***


Lahan Bekas Jarahan Terbengkalai

HAMPARAN lahan tak terurus berserakan di sepanjang jalur Jabar Selatan, misalnya di Kec. Cibalong Kab. Tasikmalaya, Kec. Cikelet Kab. Garut, dan Kec. Cijulang Kab. Ciamis. Lahan-lahan tersebut aslinya areal kehutanan dan perkebunan yang dijarah sejak tahun 2000.

Sebelum dijarah, pada areal-areal bersangkutan dibudidayaan pohon jati (kehutanan), karet, kakao, kelapa sawit (perkebunan), serta jenis-jenis tanaman kehutanan pelindung serangan bencana alam dari laut seperti tsunami, misalnya pohon bakau.

Sejumlah petani penggarap lahan jarahan menanaminya dengan komoditas pangan dan palawija, terutama padi gogo, ketela pohon, jagung, dan pisang. Namun karena kondisi, iklim, ketinggian lahan, curah hujan, dll., lebih cocok ditanami komoditas kehutanan dan perkebunan, tanaman pangan dan palawija tak tumbuh optimal.

Di antara mereka mengakui, lahan yang diduduki ternyata kurang mampu bermanfaat optimal dari usaha tanaman pangan dan palawija. Dalam setahun, hanya mampu menghasilkan selama semusim (3-4 bulan), sisanya yang delapan bulan tak dapat dikelola secara baik.

Petani penggarap lahan di Kec. Cikelet Kab. Garut, Onih dan Neni, yang "menguasai" lahan perkebunan eks tanaman kelapa sawit mengaku bingung mengusahakan karena lahannya tadah hujan. Apalagi, sekarang sudah musim kemarau, tak mungkin memaksakan bertani di lahan tersebut.

"Sadidinten mah kanggo tuang koreh-koreh cok. Ningali kondisi taneuh anu siga kieu, teu peryogi maksakeun tatani, upami gaduh modal mah mendingan usaha tinu sanes anu lancar. (Biaya untuk makan sehari-hari, kami mencarinya secara serabutan. Melihat kondisi lahan seperti ini tak perlu memaksakan bertani, kalau punya modal lebih baik usaha lain yang lancar)," kata Onih.

Beberapa penggarap mengatakan, sejak lama sebenarnya meminati usaha bersifat lancar mendatangkan pendapatan setiap bulan. Apalagi, di daerah di pinggiran laut seperti di Kec. Cikelet dan Kec. Pameungpeuk, ada potensi perekonomian masyarakat dari usaha pengolahan hasil laut, misalnya produksi kerupuk ikan, baso ikan, dll.

Banyak masyarakat setempat telah lama menanti pelatihan dan bantuan modal usaha olahan hasil laut. Mereka "iri" melihat masyarakat tetangganya, di Desa Batukaras Kec. Pangandaran Kab. Ciamis, pernah dibantu Pemprov Jabar mengembangkan usaha sejenis.

"Namun, yang kami tunggu tersebut belum juga kunjung datang. Yang datang duluan malahan mereka yang mengajak merebut lahan hutan dan perkebunan, akhirnya kami tergiur ikut-ikutan, walau ini tak dibenarkan menurut hukum dan agama," katanya. (Kodar S./"PR")***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar