Jumat, 16 Mei 2008

Jakarta Perlu Meniru Kearifan Bandung soal Kuda...

Kompas, Jumat, 16 Mei 2008 | 11:13 WIB


KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Meski berbagai angkutan modern sudah banyak tersedia di Ibu Kota, ternyata masih ada orang yang menggunakan gerobak kuda untuk mengirim barang, seperti yang terlihat di kawasan Jembatan Tiga, Jakarta Barat. Meskipun lambat, angkutan jenis ini lebih murah dan bebas polusi. Foto diambil Februari 2005.



Nasib komunitas kuda di Bandung ternyata lebih baik ketimbang di Jakarta. Warga Kota Kembang memberi tempat pemilik kuda untuk
beroperasi di tengah kota, dengan syarat tertentu. Hasilnya, Bandung makin memiliki daya tarik wisata, pemilik kuda pun mendapat penghasilan. Dampak positif selanjutnya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bandung pun bertambah dari sektor wisata karena banyak orang berwisata ke Bandung.

Ingin melihat dan merasakan? Pergilah ke Taman Lansia, dekat Gedung Sate atau Tamansari (kawasan kampus Institut Teknologi Bandung). Jangan heran, sebagian besar konsumen penunggang kuda adalah warga Jakarta. Selain belanja di factory outlet, wisatawan Jakarta juga ingin merasakan tarikan kuda.

Delman (warga Bandung menyebutnya kereteg) hanya boleh beroperasi di Tamansari dan Taman Lansia tiap Sabtu, Minggu, dan libur nasional. "Kami hanya boleh beroperasi di perempatan Jalan Cisangkuy-Cimanuk hingga bagian belakang Taman Lansia," jelas Wawan, pengurus Wisata Kuda Cisangkuy, Bandung.


KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Dua pelajar sekolah melintasi rindangnya pepohonan Taman Lanjut Usia, Kota Bandung.


Jadilah kawasan seluas 2.000-an meter persegi tersebut arena berkuda. Seperti yang berlangsung Sabtu dan Minggu (26-27 April), suasana gembira terpancar dari taman tersebut. Gelak tawa ditingkahi derap langkah kuda mencerminkan keceriaan anak-anak generasi ini. Anak-anak menunggang kuda dengan riang. Di antara mereka ada Prita (6), warga Matraman, Jakarta Timur.

Di tepi taman, Raharja, ayah Prita mengawasi putrinya. "Jatah dia lima putaran," ujar Raharja. Semula Prita takut naik kuda, tetapi sekarang ia justru ingin berkuda sendirian.
Keluarga muda lain dari Jakarta juga terlihat di taman itu. "Di Jakarta sulit cari rekreasi begini," tutur Andi, warga Tomang, Jakarta Barat, yang mengajak anaknya, Sherina (9).

Di Taman Lansia dan Tamansari terdapat lebih dari 145 kuda tunggang dan kereteg. Di Tamansari setiap akhir pekan beroperasi sekitar 50 kuda tunggang dan 10-an kereteg. Adapun di Taman Lansia ada 90 kuda tunggang, lima kereteg dan empat becak mini. Pemilik kuda sepakat membagi waktu operasi kuda menjadi dua.


KOMPAS/YULIA SEPTHIANI
Ketika berlibur ke Bandung, orang-orang yang datang dari luar kota maupun dalam kota mencoba menikmati jasa kuda untuk keliling jalan seputar kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, kata pemilik kuda, orang dari luar kota Bandung biasanya tak puas bila hanya keliling tiga atau empat kali putaran.



Separuh kuda pada hari Sabtu, separuh lagi pada hari Minggu. Inilah salah satu bentuk kearifan pemilik kuda dan delman dalam berbagi rezeki di antara mereka. Dan, itu juga merupakan buah kearifan Pemerintah Kota Bandung yang tetap memberi toleransi bagi kuda-kuda dan pemiliknya untuk tetap bisa mengisi bagian ruang Kota Bandung.

Keadaan demikian belakangan ini dirindukan oleh pemilik delman Jakarta yang sekarang dipaksa minggir dari kawasan wisata Monas Jakarta lantaran kotoran dan kencing kuda yang tidak boleh menetes di Jakarta, kota metropolitan.Praktis pemilik kuda dan delman yang selama ini menggantungkan nafkah dari Monas kelimpungan membiayai keluarga mereka. Mereka nganggur.

Pemilik kuda di Bandung umumnya petani sayur. Dari mengoperasikan kuda mereka mendapat penghasilan sampai Rp 200.000 per hari.

Kuda bercelana
Untuk menjaga kebersihan, semua kuda tunggang di Taman Lansia dan Tamansari harus ber-"celana" dari ban bekas.Benda ini dipasang di ujung dubur hewan itu untuk menampung kotoran kuda. Ihwal pemakaian celana kuda itu menurut dosen Institut Teknologi Nasional Bandung, Jamaludin Wiartakusumah, berawal dari ide mencegah kotoran kuda agar tidak berserakan di jalan.

Sejumlah mahasiswa ITB angkatan 1986-1987 yang biasa berkumpul di Masjid Salman membuat lomba celana kuda. "Pemenang pertama Nedina Sari yang membuat celana kuda murah meriah dari ban bekas. Juara kedua, Goy Gautama," kata Jamal, alumnus ITB angkatan 1988. Nedina kini menjadi dosen di ITB.

Kini setiap kuda tunggang pasti bercelana seharga sekitar Rp 30.000. Upaya itu membuat Bandung relatif bersih dari kotoran kuda. Ini bisa dilihat di Taman Lansia, sementara di Tamansari ceceran kotoran kuda masih tampak karena karung penampung kotoran di kereteg sering sudah berlubang sehingga kotoran di dalamnya tumpah ke jalan.

Joyce Tamzil, pengelola Cafe Sweet Corner di Jalan Cisangkuy mengakui tamunya sering memprotes bau kencing kuda. "Tapi soal itu bisa dirundingkan dengan pemilik kuda. Misalnya, kencing kuda langsung disiram air dan kalau bisa ditambah karbol," katanya. Joyce mendukung pemberdayaan kuda karena di negara tujuan wisatawan seperti Venezia dan Italia, naik kereteg menjadi favorit.

Mestinya Jakarta belajar ke Bandung, bila perlu ke Italia.

Soelastri Soekirno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar